Orientalisme, Islamic Studies dan Pengaruhnya di Indonesia
Oleh : Muhammad Jamaluddin, Lc.
Abstrak
Semenjak akhir abad ke-18 telah terjadi arus yang sangat besar, cukup disiplin bahkan sangat teratur antara dua peradaban yakni Barat dan Timur, Islam dan Kristen. Kajian Orientalisme yang selama ini dijadikan sebagai “lembaga hukum” untuk berurusan dengan dunia Timur telah didominasi oleh kekuatan Barat. Mereka yang datang ketika melihat dunia Timur kemudian menata dengan gayanya dan menguasainya. Orientalisme sebagai suatu discourse memang menjadikan sebagian kita tidak bisa memahami disiplin yang sangat sistematis. Hal ini diakui oleh Edward W Said. 'Kemenangan' Barat yang puncaknya pada Abd Ke 18 merupakan sebuah tragedi perubahan paradigma baru dalam sejarah kehidupan manusia, setelah mengalami kesulitan selama seribu tahun (1000 tahun). Rentan waktu yang cukup panjang.
Cengkraman Barat terhadap dunia Timur semakin nyata bukan saja dalam tataran wacana, akan tetapi dalam bentuk kebijakan politik, ekonomi, militer, bahkan unsur pemaksaan dan kekerasan. Dengan slogan demokrasi misalnya dalam kebijakan politik, sistem kapitalis dalam ekonomi, liberal dan sekular dalam idiologi dst. Indonesia adalah salah satu sasaran orientalis Barat, disamaping karena penduduknya mayoritas Muslim, ketundukan dan kepatuhannya pun terhadap ajaran Islam sangat menkhawatirkan mereka. Sehingga perhatiannya terhadap perkembangan Islam di Indonesia di mulai sejak dini, sebelum menjadi mekar dan berkembang besar.
Definisi Dan sejarah Orientalisme
Secara etimologi orientalisme berasal dari bahasa latin orient yang artinya mempelajari dan mencari sesuatu, kemudian digunakan dalam bahasa Prancis menjadi orienter yang bermakna menunjukan atau mengarahkan dan dalam bahasa jerman menjadi Sich Orientiern yang bermaksud mengumpulkan maklumat dan pengetahuan,
. Dalam bahasa Inggris kata orient tidak dirubah dari asal katanya yang asli tapi maknanya berubah menjadi lebih spesifik kepada letak geografis yaitu Asia Timur
.
Kata orient ini berubah menjadi istilah Orientalisme di dunia Eropa sebagai studi kajian tentang dunia Timur. Menurut Al Berry salah satu anggota gereja Yunani bahwa istilah orientalisme ini muncul pada tahun 1638 M. Kemudia pada tahun 1691 Antony Wood dan Samuel Clarke mengistilahkan orientalisme sebagai pengetahuan tentang keTimuran. Kemudian istilah ini mencul di Prancis Orienter pada tahun 1799, di ikuti inggris menjadi Orientalism pada tahun 1838
. Sehingga istilah orientalisme ini menjadi istilah yang mapan dan berkembang di Di dunia Barat-Eropa pada abad ke-18 M.
Secara terminology, orientalisme adalah suatu istilah yang artinya mengetahui segala yang berhubungan dengan bangsa Timur. Kata orientalisme ini digunakan bagi setiap cendikawan Barat yang bekerja untuk mempelajari masalah keTimuran, baik di bidang bahasa, etika, peradaban, dan agamanya.
Ilmuwan yang khusus mengkaji dunia Timur dalam istilah Barat disebut Orientalis yang artinya A person Who Studies the language, Art, Etc. of oriental Countries.
Dalam definisi Edward Said tentang orientalisme memiliki beberapa fase definisi yang berbeda beda sesuai dengan perkembangan gerakan orientalisme itu sendiri. Pada fase pertama orintalisme mislanya, Edward mendefinisikannya sebagai, "Suatu cara untuk memehami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa.”
Definisi ini masih sangat global dan luas, dimana orang-orang Barat masih dalam tahap pencarian dan pemahaman tentang dunia Timur. Pada fase kedua Edward mendifinisikan oreintalisme sebagai "Suatu gaya berfikir yang berdasar pada perbedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara 'Timur' (the Orient) dan 'Barat' (the Occident)
. Perbedaan ontologis dan epistemolois yang di maksud dalam definisi Edward meliputi seluruh bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, budaya, etika, gaya hudup dan lainnya, dengan memakai metode akademis dan gaya ilmiah. Pada tahap ini orientalisme dengan gaya ilmiahnya mencari titik-titik kelemahan dunia Timur untuk dijadikan acuan perbedaan antara dunia Timur dan Barat, kemudian mengambil yang bermanfaat dari dunia Timur untuk perkembangan dunia Barat. Pada giliranya kajian yang berlabel akademik dan ilmiah itu bermuara pada tuduhan dan penghinaan bahwa dunia Timur adalah primitif dan tidak berperadaban dan harus mengikuti Barat yang berperadaban.
Pada fase ketiga menurut Edward, oreintalisme adalah suatu yang didefinisikan lebih historis dan material dari kedua arti yang telah di terangkan sebelumnya. Di mulai pada akhir abad ke-18 M. dimana orientalisme dapat dibahas dan dianalisa sebagai lembaga hukum untuk berurusan dengan dunia Timur, dengan membuat pernyataan-pernyantan tentangnya, mengajarinya, menjadikannya sebagai tempat pemukiman, dan memerinthanya. Pendeknya, orientalisme sebagai gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai Timur.
Kemudian fase keempat yaitu sekitar abad ke-19 sampai abad ke-20, telah dibuat asumsi bahwa dunia Timur dengan segala isinya, jika bukan secara paten inferior terhadap Barat, maka ia memerlukan kajian koreksif oleh Barat. Dunia Timur dipandang sekan-akan berada dalam wadah berupa ruang kelas, pengadilan pidana, penjara dan manual bergambar. Jadi orientalisme adalah pengetahuan mengenai dunia Timur yang menempatkan segala sesuatu yang besifat Timur dalam mata pelajaran sekolah, mahkamah, penjara, atau buku-buku pegangan untuk tujuan penelitian, pengkajian, pengadilan, pendisiplinan, atau pemerintahan atasnya.
Empat fase definisi orientalisme yang di lakukan oleh Edward W. Said diperjelas lagi oleh Dr. Musthafa Ibrahim Al Damiry bahwa fase pertama adalah proses pengenalan serta pemahan Barat Eropa terhadap dunia Timur. Kedua, proses perencanaan (apa yang mesti di lakukan terhadap dunia Tumur) Barat-Eropa terhadap dunia Timur. Ketiga adalah tahapan aplikasi pemahaman, pengalaman dan perencanaan Barat-Eropa terhadap dunia Timur dan fase keempat adalah pemaksaan dan kekrasan terhadap dunia Timur.
Kalau dalam definisi yang dilakuakan oleh Edward W. Said Oriental masih dalam makna dunia Timur secara global, baik itu Timur jauh (the Far Orient) yang meliputi wilayah China, India, Jepang, Korea dan wilayah Asia Tengggara maupun wilayah Timur dekat (The near Orient) yang meliputi wilayah Irak, Iran, Syiria, Lebanon, Arab Saudi, atau yang mencakup seluruh wilayah Arab, belum di pertegas dengan dunia Timur (Islam). Maka Dr. Musthafa al Damiry memperjelas bahwa kajian orientalisme yang dimaksud adalah oriental Islam (dunia Timur Islam). Dalam bukunya Al Tabsyir Wal Istisyroq beliau menulis, "Pemahaman dan definisi orientlisme itu adalah, kegiatan yang berlabelkan akademis yang dilakukan oleh orang-orang Barat kafir tentang Islam dan Umatnya dari seluruh aspek, baik yang berhubungan dengan akidah, syariah, budaya, peradaban, sejarah, undang-undang, dengan tujuan ingin mengaburkan (tasywih) makna-makna Islam yang benar, membuat keraguan serta menyesatkan Umat Islam."
Dari definisi-definisi di atas dapat kita fahami bahwa orientalisme dari maknanya yang sangat gelobal kepada makna yang khusus, lalu mengkerucut menuju pemehaman Barat terhadap dunia Islam. Sehingga tidak heran pada perkembangan gerakan orientalisme selanjutnya terfokus pada acuan mendeskreditkan, menghina, menuduh Islam sebagai fundamentalis, teroris dsb, dengan memakai kedok akademis dan ilmiah. Bahkan menggunakan pemaksaan dan kekerasan dengan tujuan ingin menghancurkan sendi-sendi Islam agar peradaban Barat tetap eksis. Hal ini diakaui sendiri oleh salah seorang di antara mereka Geberdeno Ganit, ia berkata bahwa ia tidak pernah berpegang kepada referensi-referensi tertulis apapun dalam karangannya tentang Islam. Akan tetapi ia hanya menyalin pendapat umum dan ia tidak memiliki alat apapun untuk membedakan antara sesuatu yang salah dan yang benar. Kemudian ia berkata dalam karangan yang tidak mengandung nilai ilmiah itu, sebagai berikut, "Seorang yang jahat tidaklah berdosa apabila mencaci orang lain yang melakukan perbuatan lebih jahat daripadanya"
. Atau seperti yang dikatakan oleh orientalis Inggris George sale (1697–1736), Ia menulis, “Selama bertahun- tahun bahkan berabad-abad berbagai informasi yang diperoleh masyarakat Eropa tentang Islam dan Al-Quran, bersumber dari kelompok-kelompok Kristen Fanatik. Dengan dasar tendensi dan dendam. Mereka mengetengahkan berbagai alasan yang dibuat-buat. Sifat dan tindak-tanduk kaum Muslimin yang baik di lupakan Sama sekali, namun apabila mereka membicarakan kejelekan kaum Muslimin, mereka justru menampilkan kekurangan itu sebesar gunung.
Dari kesaksian di atas sudah tentu kajian orientalisme berdasarkan sebab dan memiliki motif serta orientasi yang ingin dicapai. Untuk lebih memudahkan kita memahami kajian orientalisme dan framework apa yang dipakai dalam mengakaji dunia Timur. Bagaimana perjalan perkembanan orientalisme hingga mencapai masa kejayaan dan keemasannya. Apa motif serta tujuan yang ingin di capai. Alangkah baiknya terlebih dalu kita mengkaji faktor pendorong dan tujuan orientalime mengkaji dunia Timur.
Motivasi dan Tujuan gerakan Orientalisme
Banyak kalangan yang berpandangan bahwa kajian para orientalis itu tidak sepenuhnya bermotif ilmiah. Sebab apabila motivasinya adalah demi kepentingan keilmuan semata, semestinya kajian mereka obyektif, bersih, jujur, dan dapat dipertanggung jawabkan; tidak memanipulasi data, memutar balikkan fakta, serta bebas dari prakonsepsi buruk tentang Islam. Seharusnya mereka menggunakan metode dan paradigma yang benar, tidak disetir oleh pengaruh negatif yang diciptakan oleh lingkungan, atau warisan dendam sejarah masa lalu yang kelam, di masa permusuhan berdarah ketika perang salib. Dengan demikian semuanya dapat kembali kepada fenomena umum mengenai sikap serta prinsip Barat terhadap Islam.
Sikap anti-pati Kristen Barat terhadap Islam bukan tidak beralasan. Kemarahan yang dilontarkan terhadap Islam adalah ekspresi dendam kesumat yang telah lama bergejolak, ingin menghancurkan Islam. Gejolak itu sebenarnya sudah ada semenjak nabi Muhammad lahir, bahkan semenjak Abrahah menentang Millah Ibrahim. Kemarahan itu didasari oleh kebencian yang mengakar kuat dan fanatisme yang berlebihan. Kebencian ini juga tidak hanya terdapat pada pikiran mereka saja, akan tetapi kebencian ini tersimpan di lubuk hati mereka yang paling dalam.
Bangsa Eropa terkadang tidak bisa menerima pendidikan Falsafah Hindu, Budha, koghucu, dan agama-agama lain, akan tetapi tetap menjaga hubungan baik antara mereka. Dengan mengedepankan akal fikiran yang netral, seimbang dan sehat. Lain halnya ketika mereka menilai Islam, mereka selalu menggunakan pikiran yang tidak waras dan curang, mereka lebih mengedepankan emosi, dendam dan sikap biadab untuk merusak Islam dan menghancurkan umatnya. Hal itu terlihat dari sikap dan cara pandang mereka terhadap Islam, dimana Islam bukan hanya dipandang sebagai agama yang menjadi obyek riset untuk dipelajari, namun juga sebagai tertuduh di depan mahkamah untuk di adili dan di hukum. Dalam Hal ini Edward Said berkata :
Jika diperhatikan, sesungguhnya yang menjadi pendorong gerakan orientalisme tidak lain adalah perasaan superioritas dan hegemonitas Barat terhadap bangsa Timur (Islam) dalam segala lini kehidupan. Dr. Mustafa Ad Damiry dalam bukunya Al Tabsyir Wal Istisyroq, Dr. Hasanai Bath dalam bukunya Anotomi Orientalisme dan Dr. Muhammad Ahmad Syahatah dalam Bukunya Al-istisyroq menjelaskan secara rinci motivasi orientlisme itu sebagai Berikut :
Pertama, Faktor Agama. Ketika Agama Islam datang dengan membawa konsep akidah yang menentang keyakinan Nasrani, diikuti dengan membentuk paradigma baru dalam panggung sejarah peradaban Manusia. Peradaban yang sangat menakjubkan, peradaban yang membuat masyarkat Eropa tercengang, sehingga banyak dari mereka yang memberanikan diri untuk segera melegitimasi kebenaran Islam dan kemudian memeluk Islam. Ketika mereka melihat kemajuan peradaban dan kekuatan militer Islam, timbullah rasa jengkel, hasad, dengki mereka. Akumulasi dari perasaan itu semuanya bermuara pada pandangan bahwa Islam sebagai musuh satu-satunya bagi agama Nasrani.
Perseteruan pun mulai bergejolak. Berbagai siasat buruk dilakukan untuk menghancurkan Islam. Namun perseteruan itu selalu saja di menangkan oleh Islam. Sehingga menimbulkan kemarahan dan dendam terhadap Islam. Berbagai setrategi inovatif pun dilakukan, diantaranya dengan melemparkan tuduhan-tuduhan non argumentatif terhadap Islam seperti menggambarkan Islam sebagai agama yang apatis, tidak mampu mengikuti perkembangan Zaman, bodoh, dan tidak berperadaban. Seperti yang di ungkapkan Cromer tentang kearifan Orientalis : “Sir Alferd Lyall pernah berkata pada saya : “keakuratan adalah hal yang paling menjijikan bagi pikiran Timur. Setiap orang Timur Indo-India harus selalu mengingat kebenaran umum ini.” Tiadanya keakuratan, yang dengan mudah menjadi ketidakbenaran. Dalam kenyataanya, begitulah pikiran orang Timur. Orang Eropa adalah penalar yang cermat, semua pernyataanya menunukkan fakta, bebas dari bentuk kekaburan. Ia adalah logikawan alami. sedangkan orang Timur atau Arab ditampilkan sebagai makhluk yang mudah dikecoh, tidak mempunyai energi dan inisiatif, suka menjilat, berpura-pura, licik tidak penyayang kepada binatang, pembohong, malas, selalu bertentangan dengan pikiran yang logis."
Padahal jika mereka mau jujur, berdasarkan fakta sejarah murni, sesungguhnya yang bodoh, tolol, dan primitif selama seribu Tahun (1000) lamanya adalah bangsa Eropa. Tetapi karena perasaan mereka dipenuhi oleh sikap apriori, kebencian dan dendam, maka fakta sejarah keemasan peradaban Islam (The Golden Age Of Islamic Sivilization) tidak diungkapkan bahkan dikubur dalam-dalam. Inilah sikap obyektif ala Eropa, obyektif menerut kesesuian hawa nafsu dan keinginan mereka.
Diantara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keinginan dari upaya Kristenisasi untuk melawan Islam seperti, Louis Mansinion, Job,
Leo III ( 717-741), Johannes dari Damaskus (± 652-750 ), Abdul Masih al-Kindi ( ± 873 ), Petrus Venerabilis (Peter the Venerable 1094-1156) ,
dan lain-lain, kemudian dikuti oleh pemikir orientalis kontemporer seperti Bernad Lewis, Samuel P. Huntington.
Dan kebencian mereka terhadap Islam sebagai agama terus berlajut hingga saat ini. Bahkan sebuah kesimpulan menarik dari yusuf Al Qordowi tentang hubungan Barat dan Timur seperti ini sudah diketahui jauh sebelumnya. Pertentangan antara Islam Dan Barat, merupakan pertentangan (tanaqhud) epistemologi dan aksiologis. Adapun untuk mendekatkan keduanya adalah Mustahil, hal ini disebabkan karena perbedaan framework, termonolgi, metode dan epistemolgi yang dipegang oleh keduanya. Tidak ada manfaatnya untuk melakuakan dialog (hiwar) antara keduanya antara Timur (Islam) dan Barat sebab jika salah satu di antara keduanya mendekat maka yang satunya akan menjauh”
kesimpulan ini bukan berarti tidak mungin untuk melakukan hubungan kemanusiaan, dan kemasyarakatan, karena interaksi dalam hidup bermasyarakat tidak mungkin kita hindari. Tapi pertentangan akidah dan idiolegi yang dituangkan dalam bentuk agama tidak akan pernah berakhir. hal ini selaras dengan Firman Allah. Qs. Al-Baqarah: 120 denga Qs. As-Shoff: 8
Kedua, motif Politik. Islam bagi Barat adalah peradaban di masa lalu yang telah tersebar dan menguasai peradaban dunia dengan begitu cepat. Barat yang baru bangkit dari kegelapan melihat Islam sebagai ancaman langsung yang besar bagi kekuatan politik dan agama mereka. Sebab itu harus di selesaikan segera. Barat sadar bahwa Islam bukan hanya memiliki istina-istana megah, bangunan-bangunan monumental, tapi Islam juga adalah ilmu pengetahuan, politik, ekonomi dan peradaban. Merekan pun segera merebut khazanah ini untuk kepentingan mereka, sekaligus untuk menaklukan Islam. Kemudian motif politik ini menjadi motif bisnis atau perdagangan yang kemudian menjadi kolonialisme.
Perkembangan gerakan Orientalisme
Kegiatan orientalisme adalah hasil dari pengalaman Barat setelah berabad-abad lamanya mereka mengahadapi Timur, khususya dunia Islam. Sebagaian sejarawan menulis bahwa orang-orang Barat mulai berkecimpung dalam studi tentang dunia Timur adalah pada permulaan abad ke 7 H. 628 M dimana terjadi perang yang berkecamuk antara kaum Muslimin dan Kristen Romawi yang dikenal dengan perang Mu`tah.
Bahkan lebih ekstrim lagi kalau perseteruan yang dimaksudkan antara Barat (Kristen) dan Timur (Islam)--menurut Thomas Right penulis Buku Early Christianity in Arabia—bermula semenjak tentara Kristen pimpinan Raja Abrahah menyerang Ka`bah dua bulan sebelum Nabi Muhammad lahir. Di situ tentara Abrahah kalah telak bahkan tewas. Kalau saja tentara itu tidak kalah mungkin seluruh jazirah itu berada di tangan Kristen dan tanda salib sudah terpampang di Ka`bah. Muhammad pun mungkin mati sebagai pendeta.
Hamid fahmi Zarkasyi mengomentari analisa Thomas Right ini sebagai berikut, "Jika Right benar, berarti orang Kristen sendiri telah lama menentang millah ibrahim bapak agama tauhid itu. Jadi motif orientalisme adalah keagamaan dan berkaitan dengan Kristen dan misionarisme.
Sebagian sejarawan lagi mengatakan bahwa orang-orang Barat mulai berkecimpung dalam studi tentang dunia Timur adalah pada permulaan abad ke-10 M, yaitu ketika beberapa orang pendeta Barat khususnya di Andalusia (spanyol) ingin memperlihatkan kebolehan dan kemampuanya setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah-sekolah studi ketimuran. Mereka menerjemahkan Al-Quran dan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa mereka. Selain itu mereka juga menuntut ilmu dari intelektualis muslim dalam berabagai disiplin keilmuaan, khususny filsafat, kedokteran,dan ilmu-ilmu matematika. Diantara sekain banyak pendeta yang berkecimpung dalam bidang ini adalah seorang pendeta Prancis yang benama Gerbert. Dia terpilih sebagai Paus gereja Roma pada tahun 999 M, yaitu setelah ia menyelesaikan studinya diberbagai sekolah di Andalusia dan kembali ketanah airnya. Kemudian langkah ini diikuti oleh Butros (1092/1165 M), serta Geerand de Cremon (1114-1107M)
Menurut Gustave Lebon (sejarawan prancis), ahli-ahli Barat seperti Roger bacon, Leonardo da Vinci, Al Bertus Magnus dll, dibesarkan dalam era keemasan perpustakaan pengetahuan Islam dan Arab. Paus Gerbert (bergelar Sylverstre – II) mengajar ilmu-ilmu alam pada tahun 1552–1562 yang kesemuanya dipelajarinya dari Universitas Islam di Adalusia. Kemudian Gherardo dan Cremona, adalah dua orang ahli astronomi Barat asal Italia yang menerjemahkan buku ilmu Astronomi dari kitab As-Syarh karangan Jabir Ibnu Hayyan. Raja Friederich-II dari Prancis meminta putra–putra Ibnu Rusyd (Averoes dalam ejaan Barat) untuk tinggal di istananya, guna mengajari Ilmu Botani dan Zoologi. Kemudia Apotik dan Ilmu kedoteran, kimia dan Botani. sebelum Abad ke 15 Islam sudah sangat maju dibanding Barat, Ilmuwan Islam telah menemukan 2000 jenis tanaman Thiflorida untuk obat-obatan.
Dan barangkali puncak motivasi kajian orientalime ini menjadi lebih serius menurut beberapa sejarawan setelah kekalahan Kristen pada perang salib kedelapan.
Dengan kekalahan itu, mereka beralih ke perang dingin yang didasari oleh "nasehat tulus" yang di utarakan oleh Saint Louis kepada Umat Kristen yang tidak berdaya setelah mereka menderita kekalahan besar pada perang salib kedelapan. Bahkan ia sendiri menjadi tawanan perang di kota Manshuroh (Mesir), namun ia menebus dirinya dengan denda yang sangat besar agar dapat terbebas sebagai Tawanan.
Setelah kembali ke Prancis, ia yakin bahwa tidak mungkin memperoleh kemenangan dan mengalahkan umat Islam dengan kekuatan perang. Menurutnya, hal ini karena keteguhan umat Islam dalam menjalankan ajaran Agamanya, semagat Jihad dan keikhlasan yang tinggi, serta semangat mengorbankan jiwa di jalan Allah demi mempertahankan Negara Islam dan menjaga kehormatan dan harga diri.
Umat Islam dengan akidahnya yang kokoh selalu siap sedia untuk berjihad dan berperang. Oleh karena itu Louis berpikir bahwa ia harus mencari jalan lain untuk mengalahkan ummat Islam. Caranya yaitu menggantikan pemikiran yang Islami dengan cara melancarkan perang pemikiran (Gozwul Fikr). Disamping itu juga ia menyakini bahwa cendikiawan-cendikiawan Eropa dengan disiplin Ilmu pengetahuan mereka tentang kebudayaan Islam akan menjadi senjata Baru yang ampuh untuk memerangi umat Islam.
Begitulah, akhirnya strategi peperangan berubah menjadi peperangan di bidang akidah dan pemikiran. Tujuannya adalah mengaburkan Akidah umat Islam yang berakar kokoh, berisi jiwa Jihad serta mendorong semangat orang yang beriman untuk rela mati di jalan Allah. Nasehat Louis inilah yang merupakan asas dalam merubah kiat bangsa Eropa dalam mengahadapi Islam dan umatnya; dari genjatan senjata menjadi perang dingin. Serangan-serangan mereka akan dilancarkan dari dalam negara Islam Itu sendiri.
Nasehat tersebut telah terwujud dalam dua Tahap: Pertama, terjun lansungnya prajurit-prajurit Kristenisasi dan orientalisme untuk beraktivitas sebagai penyampai pemikiran yang mapan, melancarkan Kristenisasi dengan mengacaukan situasi komunitas Islam, aktif membuat tulisan dan karangan-karangan. Kemudian hasil karya mereka dipublikasikan di tengah-tengah lembaga pendidikan suatu masyarakat Islam. Inilah fase pertama pelaksanaan nasehat Louis sang panglima perang Salib itu.
Kedua, mengerhakan sebagian umat Islam dari golongan pemerintah dan pemikir, serta mencelupkan akidah dan moral mereka dengan aroma Barat. Kemudian memuluskan kenaikan Pangkat yang berpengaruh dalam memutuskan kebijakan-kebijakan Negara yang berhubungan dengan politik, pemikiran, penerangan dan pendidikan. Hal ini ditujukkan agar mereka menjadi agen-agen pelaksana metode Barat yang patuh di negeri Islam yang merupakan tanah airnya dan Negara yang dianutnya. Hal ini dikatakan oleh Cromer ketika ia akan meninggalkan Mesir: "kami akan pergi meninggalkan Mesir dan kami akan memerintahnya dengan mengunakan pemimpin pemimpin asal Mesir Tapi berfikir Barat"
Maksudnya adalah penjajahan materi akan berangkat dari Mesir sedangkan pengaruh pemikirannya akan kekal pada diri orang-orang Mesir dan mereka akan memerintah Mesir dengan pemikiran kami yang menentang Islam sebagai pengganti kami.
Terlepas dari perbedaan sejarawan dalam menentukan awal mula mulainya gerakan orientalisme, yang jelas jika dikaji secara serius orientalisme bisa di bagi empat Fase penting :
Fase pertama, dimulai pada abad abad ke-16 M. Pada fase ini orientalisme dapat dikatakan simbol gerakan anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen, seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa akar gerakan ini jika di telususri merupkan reaksi substansi ajaran Islam yang sejak dini sekali telah menetang Kristen dan Yahudi, Al-Quran jelas sekali membeberkan kerancuan akidah dan pemikiran mereka. Selain itu kekalahan bangsa Eropa-Kristen dalam perang salib juga memicu semangat anti-Islam ini. Islam dalam pandangan orang Kristen merupakan simbol teror, perusak dan barbarian. Balfour dan Cromer secara khas mengemukakan beberapa istilah seperti orang Timur Irrasional, bejad Moral, kekanak-kanakan, "berbeda" jadi orang Eropa adalah Rasional, berbudi luhur, dewasa dan Normal.
Bagi orang Eropa, Islam adalah trauma yang tak pernah berakhir. Southern dalam bukunya Western Views Of Islam In the Middle Ages, menulis bahwa "Orang Kristen berharap agar Timur dan Barat-Eropa bersepakat bahwa Islam itu adalah Kristen yang sesat (Misguided version Of Christianty). Bahkan tidak sedikit yang menulis Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi, dan sebagainya, yang kesemuanya itu diambil dari doktrin keagamaan yang dibawanya.
Fase kedua, orientalisme pada abad ke-17 dan ke-18 M. fase kedua ini adalah fase penting orientalisme, sebab ia merupakan gerakan yang bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Pada periode inilah Raja-Raja dan Ratu-Ratu di Eropa sepakat untuk mendukung pengumpulan segala macam informasi tentang ketimuran. Untuk menyebut beberapa nama seperti, Erpernius (1584-1624) menerbitkan pertama kali tata bahasa Arab, yang diikuti muridnya Jacob Goluis (1595-1667) dan oleh Lorriunuer Franz Meurnski dari Australia tahun 1680, selain itu Bedwell W (1561-1632) mengedit tujuh jilid Kamus Bahasa Arab dan menulis tentang sejarah Nabi Muhammad.
Meskipun Barat memerlukan Islam, tapi perseteruan tetap membara. Oleh karena itu selain mengumpulkan informasi tentang Timur, mereka juga menyebarkan informasi negatif tentang Timur kepada Masyarakat Barat. Pada periode ini Alexander Ross misalnya, menerbitkan buku-buku yang banyak menghujat Islam tanpa memilikidasar apa-apa. Ia menulis buku berjudul the prophet of turk and author of the al-Qoran. Dalam buku-bukunya ia sering kali mengunakan kata-kat kasar seperti the great arabian imposter, the litle horn in the danial, arabia swine, goliat, grand, hypocrite, great thief terhadap Al-Quran. Ia juga menuduh Nabi Muhammad seperti, corrupted pudlleof mohammets invention, mis-shapen issue of muhamets brain, atau a gallimaufry of error dan sebagainya. Pada tahun 1679 Humphey Predeaux menulis sejarah hidup Nabi Muhammad, tapi buku itu berusaha membuktikan asumsi bahwa Nabi Muhammad itu pandai berpura-pua, pandai mengelabui orang, penipu dan cerdik. Buku seperti ini dijadikan referensi standar oleh orientalis selama seabad lebih. Singkat kata, jika pada fase pertama diwarnai oleh semangat anti Islam, maka priode ini adalah priode caci maki orientalis terhadap Islam dalam bentuk tulisan.
Fase ketiga oreantalisme adalah abad ke-19 dan seperempat pertama abad ke 20. Fase ini adalah fase terpenting bagi orentalisme dan umat Islam sendiri. Sebab pada fase ini Barat telah benar-benar menguasai negara-negara Islam secara politik, militer, kultural dan ekonomi. Pada fase ini banyak orientalis yang menyumbangkan karyanya dalam banyak bidang studi Islam. Tidak sedikit pula dari karya-karya berbahasa arab dan persia diedit, diterjemahkan dan diterbitkan. Mungkin karena orang Barat telah masuk dan menguasai negri-negri Islam sehingga dengan mudah mereka mendapatkan bahan-bahan tentang Islam.
Oleh sebab itu pada waktu yang hampir berasamaan lembaga-lembaga studi keislaman dan ketimuran didirikan dimana-mana. Tahun 1822 diparis didrikan Society Asiatic of Paris, Royal Asiatic of Great Bretain dan Ireland didirikan tahun 1823 di inggris. Tahun 1842 di Amerika juga didirikan American Oriental Socaity. Tahun 1916 di Universitas London didirkan School of Oriental Studies sekarang jadi SOAS (School of Orintal and African Studies). Diantara tokoh orientalis yang terkenal pada masa ini adalah Goldziher(1850-1908). Dengan berdirinya pusat-pusat studi keislaman tersebut, framework kajian orientalis mengalami pergeseran yang signifikan dari fase caci maki menjadi serangan sistematis dan ilmiah. Namun demikian serangan sistematis dan ilmiah itu tidak berarti tanpa kesalahan dan bias. para oreantalis di abad pertengahan memang memiliki informasi yang kurang valid tentang nabi muhammad, sehingga tulisan mereka bernada negatif. Namun para orientalis di zaman modern yang dianggap telah memiliki pengetahuan Islam yang relatif lebih banayk, masih saja bersikap negatif dengan cara yang lebih akademis. Yang jelas mereka tidak mengekspos misi yang dibawa Nabi, dan menjelaskan nilai-nilai universal Islam yang disumbangkan kepada dunia.
Fase keempat orientalisme ditandai dengan perang dunia ke II. Khusus di Amerika, Islam dan umat Islam menjadi obyek kajian populer. Kajian itu bukan saja dilalakukan untuk kepentingan akademis, tetapi juga untuk kepentingan perancang kebijakan politik dan bisnis. Namun pada fase ini kajian orientalis berubah dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut. Cantwell Smith terang terangan mengatakan "Pencarian ilmu selalu siap mengubah hipotesanya. Faktanya memang orang-orang Barat non muslim baru saja memperlembut sikapnya terhadap Islam dan bahakan menarik kata tidaknya" (lihat on understanding Islam-selected studies,the hague, 1981, 296). Sir Hamilton Gibb secara diplomatis mengatakan, ia menerima pendapat bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman pribadi Nabi Muhammad, tapi Islam perlu menafsirkan ulang konsep yang tidak bisa dipertahankan lagi itu. (Pre-Islam monotheism in arabia, harvard thelogical review, 55, 1962, 269). Perubahan sikapnya begitu kentara berubah dari menuduh nabi sebagai penipu, mereka kemudian mempersoalkan konsep wahyunya, dan kini mereka mulai mempersoalkan interpeatasinya.
Methode serta fremowork yang dipakai Barat dalam mengakaji dunia Islam senantiasa berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi perkembangan zaman, perbedaan tempat dan waktu, serta daya berfikir rasional manusia. Label akademis, Ilmiah dan obyektifitas merupakan senjata utama dalam memutarbalikan fakta sehingga terkesan obyektif dan ilmiah. Padahal dalam obyektifitasnya itu tersimpan banyak pertanyaan-pertanyaan yang justru tidak menunjukkan sikap ilmiah dan obyektif. Hal itu terlihat mislanya dalam kajian mereka tengatang Al-Quran yang menggunakan metode kritik Bible (Bible Criticsm). Mereka mengklaim penggunaan metodologi kritik Bible sebagai metode Ilmiah.
Dalam kajian teologi Islam kalangan orientalis menggunakan tiga pendekatan dan metode pertama, filologi, yang meliputi penelitian nilai naskah (textual criticms), penelitian bentuk karya Tulis (Form criticisn), dan penelitian terhadap sumber karya (source criticism). Kedua, menggunakan metode kritik sejarah (Historical Criticism). Pendekatan ini bertujuan memilih berita, cerita atau laporan mana yang benar dan mana yang palsu, membedakan antara sejarah dan legenda, antara fiksi dan fakta, antara mitos dan realitas, memilah “antara konon terjadi” dan “yang sebenarnya terjadi”, berkenaan dengan riwayat hidup atau karir seorang tokoh atau mengenai karya yang disandarkan kepadanya.
Ketiga, melalui pendekatan filsafat, lebih menekankan pada aspek kesinambungan pendekatan tentang berbagai tema dalam konteks sejarah pemikiran manusia (history of ideas). Yang diperhatikan dalam pendekatan ini ialah isi dan sistem pemikiran seorang tokoh serta sumbangannya dalam bidang yang digelutinya. Seperti pandangan teologi manusia Barat sebelum abad modern masih dalam tahap animisme dan pandangan Aristotel, teologi metafisika. Kemudian pada abad modern membuka jalan bagi filsafat sekularis dan mekanika. Membuktikan eksistensi Tuhan dengan berdasarkan pada ide tantang wujud sempurna dalam pikirannya. Descartes, Kepler, Galileo, Boyle, dan para filosof mekanika lainnya membedakan antara kualitas primer dan kualitas sekunder untuk mencopot animisme dari Alam. Yang pada gilirannya menjadikan teologi hanya hal yang skunder, atau hanya sebuah perasaan atau sesuatu yang muncul dari pikiran manusia (Human mind). Seprti halnya, warna, kekerasan, rangangan dan rasa pahit. Dengan berkembangnya pemikiran teology modern ini, orang Barat sampai kepada tahap pertanyaan, “apakah Tuhan itu ada atau tidak?”
Perkembangan sains modren ini mempengaruhi wilayah teology dan agama, dan pada saat itulah pandangan hidup orang Barat berubah secara fundamental, yang disebut sebagai akal modoren (modern mind). Pada abad post-modernisme pandangan teologi Barat berubah menjadi apa yang disebut dengan teologi post-modernisme. Pada abad ini munculnya eksistensialisme (pemehaman tentang kewujudan) dan filsafat analitik yang merupakan dua gerakan yang sangat dominan. Dan pemahaman ini hasil dari pikiran Pos-Modernisme (post-Modern mind).
Munculnya pemahaman post-modernisme ini bukan saja menghapuskan realitas serta metafisika yang objektif dengan sistem baru, tapi juga meremehkan serta mengsampingkan doktrin agama yang berdasarkan pada metafisika. Dimana agama pada abad post-modernisme didekati dengan pemikiran yang bersifat ateistik, (tidak adanya sebuah agama) atau sebuah penggugatan terhadap agama, pandangan ini tercermin dari pandangan mereka tentang nilai (value). Dimana sebuah nilai menurut mereka adalah suatu yang absolut, artinya, nilai adalah suatu yang harus diikuti oleh agama dan masyarakat. Agama tidak lagi dijadikan sebagai satandar nilai dalam kehidupan manusia. Karena itu dalam pandangan Nietzsche proses nihilisme (tidak adanya sebuah nilai) adalah devaluasi nilai tertinggi yang membawa kepada kesimpulan doktrin “Kematian Tuhan”.
Artinya standar nilai untuk menilai sesuatu tidak lagi berdasarkan kepada sesuatu yang metafisis, realistis, relijus ataupun yang mengandung ketuhanan.
Kemudian pada era globalisasi pandangan Barat tentang ketuhanan bergeser kepada paham globalisme agama, yang di pelopori oleh Jhon Hick. Dimana manusia ahrus mengubah (revise) atau merombak (deconstruct) pemikiran-pemikian dan keyakinan-keyakinan agama tradisional agar seirama denga semangat Zaman, dan nilai-nilai yang diyakini “universal”.... Teori baru yang sangat krusial dewasa ini dikenal dengan “Pluralisme Agama”.
Dalam kajian mereka tentang Hadist, orientalis Barat memulainya dengan meragukan kejujuran (tsiqoh) para sahabat, kemudian Isnad, Rawi dan matan dari Hadist tersebut. Sehingga dengan gaya kritik yang dipakainya memungkinkan mereka meregukan kesohihan hadis-hadis Bukhari dan Muslim. Inilah gaya orientalis Barat dalam mengakji Islam yang sebagian intelektual Muslim kadang tidak menyadari hal itu sehingga tidak sedikit di antara mereka yang amat apreseatif terhadap kajian Islam para orientalis ini, dan kemudian mengadopsinya untuk kajian Islam. Malah akhir-akhir ini, kritik-kritik para orientalis yang tendensius dan bias itu disuguhkan kepada umat Islam, dengan maksud agar umat Islam berfikir kritis. Tapi anehnya, justru para cendikiawan itu sendiri tidak kritis terhadap kritik para orientalis. Tidak sedikit yang Mengamini dan bertaqlid buta terhadap kritikan orientalis dan berbalik mengkritik Islam dengan menggunakan bahasa dan metode orientalis. Padahal sikap ilmiah orientalis yang konon obyektif itu menyisakan banyak pertanyaan-pertanyaan dan menyuguhkan pendekatan yang penuh bias. Kajian edward Said yag tidak kalah ilmiahnya menggabarkan dan menyimpulakan bahwa "Apa saja yang dikatakan oleh orang-orang Eropa tentang Timur tetap saja Rasial, Imperialis dan Etnocentris.
Sebab dalam karya-karya Barat tentang Timur, Barat Memandang Timur dengan rasa superioritas yang tinggi.
Snouck Hurgronje dan pengaruhnya di Indonesia
Snouck Hurgronje yang datang ke Indonesia pada tahu 1889 sebagai penasehat pemerintah kolonial belanda, sesungguhnya meiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan dan undang-undang serta kebijakan politik bangsa Indonesia. Snouck Hurgronje lah peletak dasar kebijakan "Islam Politiek". Ia merupakan tokoh penting peletak pembaratan Islam pribumi yang kini diteruskan oleh para pewarisnya di Indonesia. Snouck lahir tanggal 8 Februari 1857 di Oosterhout Belanda, merupakan anak keempat dari pasangan Pendeta JJ Snouck Hurgronje dan Anna Maria. Nama depannya diambilkan dari nama kakeknya, pendeta D Christiaan de Visser.
Pada tahun 1874 selepas dari pendidikan HBS di Breda, ia melanjutkan ke Fakultas Teologi Universitas Leiden. Tahun 1878 ia lulus kandidat examen (sarjana muda) kemudian ia meneruskan ke Fakultas Sastra Universitas Leiden. Semasa di Universitas Leiden, Snouck dibimbing oleh para tokoh aliran ? modernis Leiden?, seperti CP Tieles, LWE Rauwenhoff, Abraham Kuenen, MJ de Goeje. Tahun 1884 --atas prakarsa JA Kruyt Konsul Belanda di Jeddah-- Snouck dikirim ke Makkah untuk melakukan penelitian tentang Islam. Untuk mendapatkan ijin tinggal di Makkah, Snouck mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar, ia juga mengerjakan Shalat dan ritual agama Islam lainnya. Dengan sikap tersebut, Snouck dapat mengenal lebih dekat kehidupan sehari-hari umat Muslim di Makkah serta dengan mudah bergaul erat dengan para pelajar dan ulama, terutama yang berasal dari Hindia Belanda.
Modernis Leiden ini berpandangan liberal dan rasional. Menurutnya agama hanyalah sekedar kesadaran etis yang ada pada setiap manusia dan budaya Eropa memiliki superioritas kebudayaan sehingga interaksi antara agama Kristen dengan budaya Eropa adalah proses puncak perkembangan kebudayaan, sedangkan kebudayaan lain Islam dan budaya dunia Timur merupakan suatu bentuk degenerasi kebudayaan. Dalam penelitiannya, Snouck memusatkan perhatiannya pada tiga hal. Pertama, dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan. Kedua, apa arti Islam di dalam kehidupan sehari-hari dari pengikut-pengikutnya yang beriman. Ketiga, bagaimana cara memerintah orang Islam sehingga melapangkan jalan untuk mengajak orang Islam bekerjasama guna membangun suatu peradaban yang universal.
Snouck memformulasikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian, yaitu; bidang agama murni, bidang sosial kemasyarakatan dan bidang Politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep Splitsingstheori. Ketiga bidang tersebut oleh Snouck diusahakan agar umat Islam Indonesia terus menjauh dan berangsur-angsur memisahkan agama dari segi sosial kemasyarakatan dan politik. Melalui Politik Asosiasi diprogramkan agar lewat jalur pendidikan bercorak Barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa diciptakan kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa. Dengan demikian hilanglah kekuatan cita-cita Pan Islam dan akan mempermudah penyebaran agama Kristen.
Dalam bidang politik haruslah ditumpas bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam, penumpasan itu jika perlukan dilakukan dengan kekerasan dan kekuatan senjata. Setelah diperoleh ketenangan, pemerintah kolonial harus menyediakan pendidikan, kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud baik pemerintah kolonial dan akhirnya rela diperintah oleh orang-orang kafir. Dalam bidang agama murni dan ibadah, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan, maka pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan, serta memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji. Sedangkan dibidang Sosial Kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada adat tersebut yang telah dipilih agar sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa. Snouck menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam, terutama dalam hukum dan peraturan. Konsep untuk membendung dan mematikan pertumbuhan pengaruh hukum Islam adalah dengan Theorie Resptie?. Snouck berupaya agar hukum Islam menyesuaikan dengan adat istiadat dan kenyataan politik yang menguasai kehidupan pemeluknya. Islam jangan sampai mengalahkan adat istiadat, hukum Islam akan dilegitimasi serta diakui eksistensi dan kekuatan hukumnya jika sudah diadopsi menjadi hukum adat.
Pengaruh pemikiran Snouck Hurgronje ini tenyata bukan saja dalam tataran wacana, kana tetapi sudah menjadi kebijakan politik dan landasan dasar idiologi undang pemeritahan Indonesia. Hal itu bisa kita lihat pada rezim orde lama yang memisahkan antara Islam sebagai Agama dan Islam sebagai doktrin Politik. Makin Jauh jarak kedua Hal tersebut kata Snouck akan mempercepat proses kehancurkan Islam.
Pikiran Snouck ini bahkan menjadi dasar bagi strtegi melumpuhkan dan memarjinalkan kekuatan Islam yang di lakukan oleh kekuatan-kekuatan politik anti Islam. Sikap ini terus-menerus mereka lakukan sejak awal kemerdekaan (18 Agustus 1945) yaitu di coretnya 7 kata (Sayariat Islam dari UUD 45). Hingga reaksi keras mereka menolak RUU sintem pendidikan Nasinal (sisdiknas) 2003.
Pemikiran Harun Nasution dan pengaruhnya di Universitas Tinggi Islam Indonesia
Pembaruan Islam di IAIN, yang kemudian di lanjutkan ke UIN, STAIN dan berbagai perguruan tinggi Islam Lainya-memang tidak bisa terlepas dari peran Harun Nasution. Adalah menarik membaca pengakuan Harun Nasution tentang sosok pribadi dan pemikiran tentang Islam. Sebagaimana di tulis dalam"refleksi pembaharuan pemikiran Islam:70 tahun Harun Nasution". Menyimak riwayat hidupnya, harun Nasution terkesan sebagai orang yang gigih dalam memperjuangakan Hidup dan menuntut ilmu. Is mampu eksis di tengah kesulitan hidup yang dialaminya. Sehingga dengan kegigihannya itu dapat melanjut studinya keMc. Gill University atas jasa HM Rosyidi pada 20 september 1962. Ketika proses menimba ilmu di Barat Harus terkesan kurang kritis kepada pemikiran Orientalis Barat. Karena itu tidak terlalu aneh, jika Harun kemudia terjebak dalam pemikiran Orientalis. Dan Ia memang mengakui hal itu. Ia mengerti Islam dari Orientalis. Ia tidak puas dengan kondisi Islam di tempatnya menuntut Ilmu di mesir. Tentang hal ini harun menuturkan:
"Sewaktu di belgia setiap ada uang aku pergi ke took buku. Aku membeli lalu ku baca. Aku tahu di belanda banyak buku mengenai Islam. Karena Belanda dekat, akupun pergi kesana. Kemudian ada temanku di kedutaan Indonesia di Hagg. Dia yang membawa ku ke took Buku. Aku mencari buku-buku mengenai Islam. Banyak Buku-buku Islam yang di tuli oleh orientalis, itu ku baca, baru aku mengerti: Oh ini Islam! Aku semakin tertarik. Aku membaca buku-buku itu dan mempelajarinya, kemudian aku mencari majalah-majalah yang berbahas inggris, yang di karang oleh orang Islam. Yang ku dapatkan adalah surat kabar ahmadiyah terbitan London. Nah disana aku menemukan Islam yang rasional. Disitu aku mulai tertarik dengan Islam"
Tahun 1968 Harun Nasution Menyelesaikan gelar Ph.D-nya. Cita-citanya ingin merombak pendidikan Islam, melalui pendidikan tinggi, sesuai gagasan pembaruan al mu`tazial. Dan kesempatan itu ada ketika ia menginjakkan kakinya di IAIN Jakarta. Dengan di dukung oleh Ali Martopo sebagi menteri Agama saat itu naiklah pangkat Harun menjadi Rektor IAIN Jakarta pada saat itu, maka Ia lebih leluasa menerapkan ide-idenya. Harus Nasutian melkuakn gerakan perubahan dari dari dalam. Ia menuturkan tentang maslah ini; "Langkah pertama kami di IAIN adalah mengubah kurikulum. Kami para rector IAIN mengadakan pertemua diCiumbuleut. Pengantar ilmu Agam di Masukkan dengan ahrapan akan mengubah pandangan mahasiswa. Filsafat, Tasauf, ilmu Kalam, Tauhid, sosiologi,metodologi riset kita masukan…
Walaupun banyak yang menolak Ide Harus nasution ini, seperti H. Ismail Ya`kub, KH. Bafaddol, tapi tetap saja pemikirannya itu diterapkan di IAIN dengan dukungan dari menteri Agama Mukti Ali yang sejalan dengan pemerintah orde Baru pada saat itu. Sebuah keberhasilan besar bagi Nasution dan kekecewaan berat bagi HM Rasyidi dan ummat Islam Indonesia, berdasarkan hasil rapat rector IAIN se-Indonesia pada agustus 1973 di Ciumbuleut Bandung, departeman Agam RI memutuskan, Buku "Islam di tinjau dari berbagai Aspeknya" (IDBA) karya Prof.Dr. Harun Nasution di rekomendsikan sebagai buku yang akan bermanfaat, terutama untuk mata kuliah pengantar Agama Islam-mata kuliah komponen yang wajib di ambil oleh setiap mahasiswa IAIN, apapun Fakultas dan jurusanya.
Buku harus ini di kritik habis-habisan oleh HM Rasyidi. Pernyataan Prof. Rasjidi bahwa buku IDBA SANGAT BERBAHAYA perlu digaris bawahi dengan tebal, rasjidi memberi kritik-kritik yang sangat tajam, terhadap buku Harun tersebut. Kritikannya itu di sampaikannya ke Depag Agama agar Buku IDBA milik Harus itu perlu di kaji ulang karena akan membahayakan pemikiran para mahasiswa, tapi menteri Agama tetap saja tidak menggubris kitikan yang di sampaikan oleh Prof Rasjidi. Karena Depag tidak menanggapi kritikan Prof, Rasjidi, maka pada tahun 1977, lahirlah buku Koreksi terhadap Dr. Harus Nasution.
Perubahan kurikulum yang bermula pada Harun Nasution, sangat membri pengaruh besar dalam berfikir dan sudut pandang mereka terhadap Islam. Bahkan kurikulum IAIN semakin nampak hegemoni Kristen Orientalis Barat. Kurikulum seperti yang ditulis oleh pak adiyan Husaini "Beberapa waktu lalu saya mendapatkan satuan mata kuliah bertajuk “Kajian Orientalisme terhadap Al-Quran dan Hadits” di Program Studi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Mata kuliah ini diberikan untuk mahasiswa semester VIII.
Yang menarik untuk ditelaah adalah tujuan diberikannya mata kuliah ini kepada mahasiswa, yakni, agar ‘’Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap Al-Quran dan hadits.’’ Ada empat buku referensi yang dianjurkan untuk dibaca yaitu (1) buku karya Mohammed Arkoun, Rethinking Islam; (2) buku Norman Calder berjudul ‘Studies in Early Muslim Jurisprudence’ (3) buku Kenneth Cragg, ‘The Event of the Quran: Islam in Its Scripture’ ; (4) buku Farid Essac, berjudul Qur’an Liberalism and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity againts Oppression).
Kurikulum di sebuah perguruan Tinggi Islam terbesar ini sangat penting untuk ditelaah, mengingat kurikulum adalah panduan untuk mengarahkan jenis mahasiswa macam apakah yang diinginkan untuk dibentuk pemikirannya, khususnya terhadap Al-Quran dan hadits. Apalagi, kurikulum ini diberikan di jurusan tafsir dan hadits. Dari tujuan dan daftar referensi yang dianjurkan sudah terlihat dengan nyata, bahwa UIN Jakarta—khususnya jurusan tafsir hadits—ingin membentuk sarjana agama yang berpikiran model orientalis, khususnya dalam bidang Al-Quran dan hadits. Tentu saja ini sangat menyedihkan. Dari referensi yang dianjurkan, misalnya, tidak terdapat karya-karya Edward Said yang dikenal sangat kritis terhadap orientalisme. Mengutip pendapat Prof. Dr. Ali Husny al-Kharbuthly (Guru Besar di ‘Ain Syams, Mesir), Prof. Hamka menyebutkan, bahwa ada tiga tujuan orientalisme di dunia Islam, yaitu (1) Untuk penyebaran agama Kristen ke negeri-negeri Islam, (2) Untuk kepentingan penjajahan, (3) Untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata. (Hamka, Studi Islam, 1985:12)
Nurkholis Madjid Dan pemikiran Sekularnya
Pemikiran orientalis tetap saja berkembang subur di Indonesia dengan munculnya pemikira sekularisme atau sekularis nurkholis pada tahun 1970-an. Yang mengusung ide"menolak partai politik sebagai wahana perjuangan Islam"
Pemikran Nurholius Madjid ini sebenarnya sama dengan kebijakan Islam Politik pada orla (suekarno) dan orba (Sueharto), yaitu mempersempit ruang lingkup gerak partai Islam dan secara tegas menetang gagasan negara Islam. Bedanya, suekarna dan Sueharto beroprasi dalam kebijakan poltik pemerintahan Indonesia, sedang Nurkholis lebih pada tataran teori, wacana yang di kembangkan di tenganh masyarakat intelektual khususnya mahasiswa.namun keduanya memiliki akar idioligi serta orientasi yang bergandeng mesra dengan Zionis, orientalis Barat, untuk menghancurkan Islam.
Dalam perspektif cak Nur, kekuatan politik Islam tidak identik dengan partai Islam. Apalagi bila lembaga atau intitusi politik itu di jangkiti, korupsi, koncoisme, nepotisme dan konflik sesame elit partai yang tidak berkesudahan. Selain itu Cak Nur sama dengan suekarno dalam menilai, bahwa konsep Negara Islam itu tida ada dalam sejarah Islam, tidak di dukung dengan nas-nas Al Quran serta sebuah bentuk Apologia ummat Islam terhadap ekspansi pemikiran dan politik Barat terhadap dunia Islam selama berabad-abad. Kelompok pembaharu ini sering di sebut juga dengan Istilah "new Modernism" yang di pelopori oleh Fazlurrahman
dari Pakistan. Dan di usir dari negaranya karena pemikiranya yang di anngap sesat oleh para ulama. Sebab Nurkholis membuat stetment yang mengagetkan Ummat Islam Indonesia dengan "Islam Yes Partai Islam No".
Konflik tentang partai Islam ini Selama dua hari (14-16/4/2004), koran Pikiran Rakyat memuat polemik tentang: apakah Tuhan berpartai? Polemik ini dimulai oleh tulisan Yesmil Anwar yang berjudul "Tuhan Tidak Berpartai". Judul di atas sangat provakatif. Namun, sepertinya isi dan substansi yang tersimpan tidak sebesar judul yang diusung. Satu hari kemudian, M. Iman Indrakusumah menanggapinya dengan tulisan berjudul "Dalam Islam, Tuhan Itu Berpartai". Sebuah tanggapan, yang menurut saya, tidak lebih baik dari tulisan Yesmil.
Sederhana sekali ide dan kesimpulan akhir yang diambil Iman Indra kusumah dalam tanggapan itu. Ia memulai paparannya dengan merujuk pada akar kata dari bahasa Arab "hizb" yang bermakna 'partai' juga. Dalam Alquran, kata itu seringkali disandingkan dengan kata "Allah". Artinya, partai Tuhan itu ada. Maka jelas-jelas Tuhan berpartai. Ia menulis kesimpulannya sebagai berikut: Jadi, partai yang termasuk hizb Allah adalah partai yang berasaskan akidah Islam; yang mengambil dan menetapkan ide-ide hukum-hukum dan pemecahan yang Islami; metode operasionalnya adalah metode Rasulullah saw. Merekalah yang akan mendapat keberuntungan.
Di Indoseia muncul Nurcholis Madjid (lahir 1939, murid dari Fadzlur Rahman di Chicago) yang mempelopori gerakan Sekularisasi dan Liberalisasi pandangan terhadap ajaran Islam bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid.
Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaharuannya sejak tahun 1970-an. Pada saat itu ia telah menyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: "Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh di atas dasar paham kenisbian (relatifisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama akan memutlakkan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama"
Kemudian lahirlah apa yang disebut Jaringan Islam Liberal (JIL). Lahir di Jl. Utan Kayu 68 H Jakarta. Bermula dari diskusi maya di mailing list yang didirikan 8 maret 2001. Pemrakarsanya, sejumlah peneliti atau jurnalis, anak-anak muda. Mereka aktif di Paramadina, NU, dan IAIN Ciputat, semisal Ulil Abshar Abdalla, Ichan Loulemba, AE. Priyono, Luthfie Asysaukanie, A. Rumadi, Sugeng, A. Bakir Ikhsan, Nirwan Akhmad Arsuka. Komunitas di lapis duanya, banyak pula yang mantan aktifis kelompok studi tahun 1980-an, yang kemudian sekolah sampai S3 di AS. Komunitas tersebut makin mengkristal, mereka kemudian mengorganisasikan diri dalam wadah JIL, dengan semboyan, "Menuju Islam yng membebaskan".
latar belakang berdirinya, karena kecemasan berlebihan atas maraknya gerakan Islam militan. Seperti tertulis dalam "Profile" www.Islamlib.com , dinyatakan bahwa lahirnya JIL sebagai reaksi atas bangkitnya apa yang ia namakan "ekstrimisme, fundamentalisme dan Radikalisme". Istilah dan wacana Islam Liberal sendiri tidak lebih merupakan hasil "copy paste" dari Islamic Liberalism (Cicago 1988) karya Leonard Binder, dan Liberal Islam (Oxford 1998). Hasil editan Charles Kurzman. Buku-buku dari dua Islamolog ini, sempat menjadi bahan diskusi di sederetan kampus di Indonesia. Ketika yayasan Paramadina menerbitkan edisi buku terjemahan Kurzman Tahun 1999 (sebagai hasil kerjasama dengan Yayasan Adi Karya Ikapi dan The Ford Foundation), semakin menjamurlah perbincangan seputar "Islam" gaya baru ini. istilah "Islam" Liberal dipopulerkan oleh Ali Asghar Fyzzee, intelektual muslim India pada 1950-an. Kurzman sendiri mengaku mengambil istilah itu dari Fyzzee .
Meletakkan istilah "Liberal" terhadap Islam adalah perang tendensius secara Teologis, Idiologis maupun Metodologis. Sebab Liberalisme sendiri muncul pada masa Renaisance yang menjadi pemicu terjadinya revolusi Perancis dan Amerika. Yang menjadi fokus dalam Liberalisme adalah kebebasan individual. Kekuasaan negara harus dipisahkan dari intervensi agama Nashrani (Gereja). Liberalisme mencetuskan Liberalisasi Politik (John Locke), ekonomi (Adam Smith, David Ricardo), dan pemikiran (Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Thomas Paine). Pada kutub yang sama kebebasan beragama (Liberal religius) mendudukkan para pemeluk dan individu-individunya sebagai pemegang otoritas final dalam menilai teks-teks sumber suci agama .
Ulil Absar Abdallah Cs dan JIL
Jaringan Islam liberal (the Liberal Islam Network) adalah perpanjangan tangan dari gerakan orientalisme Barat di Indonesia. Hal itu terlihat dengan pemikiran serta idiologi yang diususng yang tidak jauh beda dengan pemikiran orientalis Barat seperti Jhon Hick, Harvey Cox, Snousk Hugronje uyang sebelumya sudah di wacanakan oleh Dr. Harus Nasution dan Nurkholis Madjid pada tahun1970-an. hanya saja JIL lebih canggih dengan mengatasnamakan Islam, sehingga lebih terkesan Islami dan lebih familier di negeri Indonesia yang bermayoritaskan muslim. Padahal pemikiran yang di usung adalah kebebasan berfikir, sekularisme, Pluralisme, dekontruksi Syariat Islam, yang juga persis sama dengan apa yang di koarkan oleh orientalis barta Untuk mengahncurkan Islam, Cuma mungkin mereka (JIL) tidak menyadari hal itu. Atau mungkin juga menyadarinya tapi melakukannya dengan beberapa alasan secara konteks syar`i dan realitas individu.
Semenjak berdirinya JIL pada tahun 2001, kecendrungan sebagian intelektual Muslim untuk mengkritisi Islam semakin gencar dengan litelatur warisan intelektum Muslim sebelumya seperti, Nasr Abu Zaid, Al Arkoun, Ali Harb, Abid Al Jabiry, Thoha Husain, Hasan Hanafi, Nurkholis, Harun Nasution dan lain-lain. Yang mana sebagai besar intelektulis-intelektulis ini tidak di terima pemikirannya oleh ulama-ulama di negaranya bahkan di usir karena dianggap kafir karena pemikirannya itu jelas-jelas bersebrangan dengan syar`Im bahkan menyerang sendi-sendi Islam itu sendiri.
Sangat menarik untuk dikaji kegiatan yang di lakukan oleh JIL untuk mencapai visi dan missi mereka. Kegiatan itu seperti diskusi intensif, menulis, menerbitkan buku-buku, sebagai reaksi terhadap munculnya Islam radikal, Islam Fundamentalis, Islam teroris di Indonesia. Seperti yang di tulis dalam Wikipedia Bahwa: "Jaringan Islam Liberal (JIL) or the Liberal Islam Network is a loose forum for discussing and disseminating the concept of
HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Liberal_Islam" \o "Liberal Islam"
Islamic liberalism
HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Indonesia" \o "Indonesia"
Indonesia
, the largest
HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Muslim" \o "Muslim"
Muslim
country in the world. One raison d’etre of its establishment is to counter the growing influence and activism of
HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Militant" \o "Militant"
militant
HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Radicalism" \o "Radicalism"
radical
Islam in Indonesia. The "official" description of JIL is "a community which is studying and bringing forth a discourse on Islamic vision that is tolerant, open and supportive for the strengthening of Indonesian democratization."
Dari tujuan JIL ini bisa di pahami bahwa Islam radikal, Islam Fundamentalis, adalah Musuh besar JIl di dalam memperjuangan kebebasan berfikir menuju teologi pembebasan, sekularisme, dan pluralisme agama, samapi kepada pembenaran homoseksual. Padahal Islam radikal, Islam Fundamentalis yang dituduhnya itu belum didefinisikan secara benar dan jelas. Jhon L. Esposito (ilmuwan Politik) mengartikan Fundamentalis kepada Tiga bentuk dan definisi. Pertama, fundamentalis adalah orang-orang yang menghendaki agar kembali ke-kepercayaan dasar, atau dasar-dasar suatu agama. Dalam yang terbatas, hal itu dapat mencakup semua orang Islam yang menerima Al-Quran sebagai Firman Tuhan dan sunnah sebagai sebagai model hidup yang normative. Kedua, Fundamentalis (me) yang pengertiannya dipengaruhi oleh protetanisme Amerika. Dalam Webster`s Ninth New Collegiate Dictionary, fundamentalisme diartikan sebagai sebuah gerakan protetanisme abad ke duapuluh yang menafsirkan Injil secara literal sebagai hal yang fundamental bagi kehidupan dan ajaran Kristen. Disini Istilah Fundamentalis adalah mengandung hinaan dan bermakna statis, kemunduran dan eksrim. Ketiga, kata Esposito, kata fundamentalis kerap di sejajarkan dengan aktifitas politik, ekstrimisme, fanatisme, terorisme, dan anti Amerikanisme.
Tiga arti dan defini Esposito tentang Fundamentalis (me), jariangan Islam Liberal (JIL) belum mengambil sikap yang tegas dan jelas, Fundamentalis Mana yang di tentangnya? . sikap ambigu JIL ini dimaanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menghancurkan Islam Dari dalam diri ummat Islam itu sendiri. Sehingga tidak heran jika arti dan dfinisi Fundamentalis Menurut JIOL adalah pada definisi yang ketiga. Hal itu telihat jelas dari missi JIL yang mendukung matia-matian modernisasi dan demokrasi, kebebasan, Ala Barat, bahkan dalam salah satu Artikel Ulil Absar, Ia berkata "kita perlumeniru Barat"
. Didalam artikelnya itu Ulil tidak mengklasifikasi apa saja yang perlu ditiru dari Barat, bagi Ulil semua yang datangnya dari Barat adalah baik dan benar dan perlu ditiru, modrnisasi Barat adalah solusi untuk kemajuan Islam, demokrasi Barat adalah sistem pemerintahan terbaik, plurlisme agama adalah teologi yang mesti diyakini, hermeneutika adalah interpretasi alternatif pengganti kejumudan tafsir klasik. Bagi Ulil Pemisahan Agama dan politik (sekularisme) adalah jalan keluar yang terbaik di tengah pluralitas masyarakat Indonesia yang heterogen, sebab itu Ulil menentang habis-habisan slogan Ikhwanul muslimin di mesir "Al Islam Huwal Hall" atau "Al Islam Huwal Badil" (Islam adalah solusi, Islam adalah alternative). Bagi Ulil Slogan itu hanya sebuah tipuan.
Ormas mana?
Selain kami ada juga ormas Islam yang menerima dana dari TAF program Islam and Civil Society. Mereka itu adalah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Solo, dan Departemen Agama. Dana yang diterima JIL jauh lebih kecil daripada mereka.
Ormas-ormas tersebut dipandang menggulirkan isu yang sejalan dengan JIL?
Tidak juga, justru bermacam-macam. Ada isu toleransi, kesetaraan gender, demokrasi dan pluralisme. TAF menjalin kerjasama dengan Yahudi dan CIA. BerartiJILsesungguhnya menjalankan agenda mereka?
Ini cara berpikir orang yang dibingkai dalam kerangka berpikir teori konspirasi. Seolah ada agenda besar yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Perlu Anda tahu bahwa orang-orang kaya, baik Yahudi maupun non-Yahudi, punya tradisi yang sama, yaitu menyumbangkan sebagian kekayaannya kepada kegiatan sosial. Mereka akan dibebaskan dari pajak dan memperoleh reputasi lebih tinggi karena telah berbuat baik untuk masyarakat. Hal ini sangat menakjubkan dibanding dunia Islam. Apa yang dilakukan TAF dan Yahudinya itu tidak akan bermasalah?
Saya tidak keberatan mendapatkan dana dari Yahudi atau CIA. Memangnya kenapa? Sepanjang mereka tidak mempengaruhi kebijakan internal organisasi saya dan selamasaya tidak diintervensi, tak masalah buat saya.Tetapi tentu saja merekatidakakan memberi bantuan secara cuma-cuma kan? Sudah tentu mereka akan mendanai kegiatan-kegiatan yang punya satu visi dengan mereka. Tidak mungkin mereka mendanai kegiatan organisasi yang bersifat fanatisme agama. Kami, seperti JIL, NU, IAIN, Muhamammadiyah, juga tidak mungkin mencetak buku-buku Wahabi walau diiming-imingi oleh, misalnya, Arab Saudi. Kami punya ideologi tertentu, dan kami tidak bisa menerima uang dari orang yang tidak seideologi dengan kami. Kalau Pemerintah Arab Saudi akan membiayai kegiatan JIL, fine (baik). Tapi kalau mereka menyuruh saya untuk mengadakan kegiatan yang anti Islam liberal, anti Islam progresif, menyebarkan Islam yang konservatif, ya saya tidak mau. Pendapat Anda seringkali kontroversial dan berbeda dengan para ulama. Kenapa begitu?
Kontroversi itu bukan tujuan saya. Kontroversi itu akibat yang tak terelakkan. Saya mengemukakan pendapat tentang Islam yang berbeda dengan orang banyak. Otomatis, kalau pendapat Anda berbeda dan perbedaan itu sangat prinsip, yaitu agama, maka sudah tentu akan menimbulkan kontroversi. Jadi, kontroversi itu akibat, bukan sebab. Secara jujur saya katakan, pandangan-pandangan saya itulah iman saya tentang Islam. Saya merasa tenteram dengan pemahaman saya itu. Kalau boleh tahu, bagaimana dengan kehidupan keagamaan Anda sehari-hari?
Soal shalat, saya tetap shalat dengan cara seperti orang Islam yang lain. Soal puasa, saya tetap puasa seperti orang Islam lain. Karena bagi saya, soal ritual itu sudah selesai. Itu saya anggap bagian dari agama yang tidak perlu dipersoalkan. Saya merumuskan pandangangan yang liberal berkaitan dengan hal-hal di luar ritual.Pandangan tentang nikah beda agama, bagi saya, itu bukan ritual. Anda setuju dengan pernikahan beda agama. Bagaimana jika suatu saat pernikahan beda agama ituterjadi pada anak Anda? Saya harus menanggung, karena itu pandangan saya. Meskipun berat. Jadi, kalau saya ditantang seperti itu, secara rasional saya akan menyatakan boleh. Tetapi secara hati saya tidak mau munafik, saya mengatakan berat. Tetapi itu manusiawi. Ada beberapa lembaga yang punya visi yang sama dengan JIL, seperti MajalahSyir'ah, ICRP, Radio 68H, dan lainnya. Ada hubungan apa? Mereka teman seperjuangan kami. Dalam LSM itu ada yang disebut culture network (budaya jaringan). Jaringan ini bukan hanya di Indonesia, tapi global. Kami punya teman-teman di luar negeri yang punya visi yang sama, dan kami saling share (berbagi).* (AhmadDamanik/Hidayatullah)
Inilah pengakuan tokoh utama JIL. Penganakuan Ulil ini memang terkesan Berani dan bangga, karena ia menganggap JIL itu sebuah kebenaran, kebenaran yang tumbuh dari keyakinnanya tantang Islam. Dan ia menganggap itu sebagai khazanah intelektual dan keyakinan setiap orang. Setiap orang bebas menafsirkan Islam itu sesuai dengan kehendak dirinya. Bahkan di luar Islampun bebas menginterpretasikan Islam sesuai dengan cara pandang mereka.
Masalah dana, ulil sebenarnya bukan tidak tahu di balik dana yang di sodorkan oleh TAF, bukan tidak mengerti konsekwensi logis dari sumbangan Barat terhadap JIL dan organisasi-organisasi yang lain yang telah di sebutkanya di atas. Tapi ada unsure kesengajaan bahkan mungkin keterpaksaan di balik konspirasi Barat. Hal itu bias kita lihat ketika ulil menjawab pertanyaan tentang pernikahan beda agama, dan jika hal itu terjadi pada anaknya. Secara hati nurari Ulil sebenarnya merasa keberatan tapi karena konsekwensi logis dari pemahamn Pluralisme agama yang di usungnya, maka dengan berat hati ia menerima resiko itu. Ini membuktikan bahwa Islam Yang dibawa oleh Ulil Dan JILnya hanya sebuah wacana pemikiran yang tidak sejalan dengan hati Nurani mereka sendiri. Lalu Apakah konsekuensi sebagai muslim hanya dalam tataran wacana dan pemikiran? Hal ini perlu kembali kepada kalimat Tauhid lailaha Ilaha Illah, pengakuan Allah sebagi Tuhan, dan Allah hanya mengakui satu agama yang benar yaitu Islam.
Barangkali sebagian orang belum percaya bahwa Ulil dan JIL-nya asalah mata rantai dari pemikiran orientalis Barat, dengan bukti-bukti yang telah disebutkan di atas. Karena itu mereka tetap saja mendukungnya dengan mengusng pemikiran yang diperjuangankan oleh JIL. Ironisnya, mereka menganggap pemikiran yang di perjuangankan oleh JIL sebagai sebuah keyakinan yang diikuti oleh Ummat Islam, kayakinan bahwa agama itu sama karena menuju yang satu (pluralisme Agama), maka umat Islam tidak boleh menganggap bahwa agamanya yang paling benar. Dalam keimanan orang-orang JIL nikah beda agama tidak dilarang dalam syariat Islam, larangan kawin beda agama, antara perempuan Islam dengan Laki-laki non-Islam sudah tidak relevan lagi. Bagi Ulil Dan JIL-nya, politik dan agama tidak ada kaitannya dalam struktul sosial dan ketatanegaraan. harus di bedakan mana urusan Politk dan mana urusan agama. Bagi Ulil dan JIL-nya Hermeneutika adalah alternatif dalam penafsiran Al-Quran di era globalisasi dan kefakuman tafsir ulama klasik.
Pandangan JIL ini di buat dalam bentuk formulasi teologi Negara sekular seperti yang di rumuskan oleh Denny JA. Katanya "Saya menyusun empat prinsip dasar bagi landasan dari teologi negara sekular. Prinsip itu adalah sebagai berikut:
1). Negara nasional adalah evolusi tertinggi dari komunitas politik.
2). Dalam negara nasional, warga negara berasal dari agama yang beragam.
3). Ilmu pengetahuan dan manajemen modern lebih mendominasi day to day politics.
4). Islam hanya terlibat sebagai sumber moralitas bagi aktor pemerintahan (bukan sistem pemerintahan) dan moralitas bagi dunia publik.
Dalam rumusan Teologi Negara secular yang di buat oleh Denny JA ini tentu saja sangat merugikan kedudukan Islam, bahkan melumpuhkan Islam itu sendiri dalam beraktivitas, karena Islam menurutnya hanya pada tataran Moralitas pemerintahan bukan pada system pemerintahan, bukan dalam system politik kenegaraan, atau hukun Negara. Bagi Denny JA, system modern ala Barat perlu dikuti walau Ia bertentangan dengan Islam, karena Islam baginya tidak bias mengatur hal-hal yang berhubungan dengan social dan kenegaraan. Sungguh aneh memang, seorang yang mengaku Islam tapi justru tidak mengakui intergralitas Islam itu sendiri, (syumulitul Islam). Muslim gaya apa itu..?
Dalam anlisa Ulil Absar tentang kemunduran Islam saat adalah disebabkan karena ikut campurnya Agama dalam urusan politik dan Negara, engganya ummat Islam mengikuti modernisasi Barat. Lalu Ulil pun merumuskan jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersolkan cara kita menafsirkan Agama. untuk menuju ke arah itu, katanya, kita perlukan beberapa hal. Pertama, penapsiran Islam yang non literal, substansial, kontekstual, dan sesui dengan denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah. Kedua, penapseiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat dan mana yang merupakan nilai fundamental. Ketiga, ummat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai masyarakat atau ummat yang terisah dari golongan yang lain. Ummat manusia adalah keluarga universal yang di persatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan bukan berawanan dengan Islam. Larangan kawin beda agama,dalama hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non Islam, sudan tidak relevan lagi. Al –qur an sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu. Keempat, kita membutuhkan struktur social yang denagn jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi sementara pengaturan keidupan public adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi.
Penutup
Gaya berfikir seperti ulil ini sebenaranya, cara befikir yang tidak percaya diri (PeDe) dan tidak kritis. Terhegemoni, terkontaminasi dengan pandangan hidup Barat, perasaan inferior dengan superioritas Barat. Kegamunnya terhadap Barat, membuat kehilngan jati dirinya sendiri. Sehingga dengan ketidakberdayaanya menhadapai dominasi Barat ini, yang paling gampang adalah menyalahkan Islam dan dirinya sendiri. Wal hasil, pijakan berfikirnya adalah ketidak pastian, senantiasa berubah, sesuai dengan keperluan manusia dan perkembangan Zaman. Yang ujung-unjungnya sampai pada sebuah kebingungan yang tidak dapat lagi membedakan antara benar dan salah, sehingga muncullah teori "relativitas kebenaran" , tidak ada standar kebenaran.
Islam sebagai agama yang dianutnya tidak lagi memberikan petunjuk hidup baginya, Al-Quran bukan lagi sebagai way Of life, Nabi ddi sejajarkan dengan pemikir-pemikir Barat yang lain. Begit pula interpretasi Islam menurut Islam liberal di Indonesia yang di pelopori oleh Ulil Absar Abdallah, Luthfi Assyaukani, Denny JA. Dan rekan-rekannya yang bermula pada tahun 2001 di utan kayu jati sebagai tempat dialog intesif. Wallahua’lam
Dr Muhammad sayyid Ahammad Syahatah, Al Istisyraoq, Fakultas Usuluddin dan Dakwah Al Azahar University 2003 Hlm 13
Lihat Jhon M. Echol dan hasan Sadhili, kamus Inggris Indonesia
Ibid, Dr. Muhammad Sayyid Ahmad Syhatah, …..
Dr Hussai Bathh, Anotomi orientalime, menara Kudus Jakarta, 2004 Halm 19
Oxford Advanced learner Dictionary, Oxford University press 1995 hlm 818
Edaward W. Said, Orientalisme, penerbit pustaka, Bandung. 2001, hlm 1
Ibid edawar W. Said Orientalisme...
Musthafa Ibrahim al Damiry, Al Tabsyir wal Istiyroq, kulliyah usuluddin wa Al Dakwah Zagazig 2004 hlm 102
Ibid, Anotomi orientalisme…… hlm 36
http:/www.irib.ir/worldservice/melayuRADIO/01misionaris.htm#provinsi%20BUSHER
Edward W. Said…… Hlm 48
Husain Bathh, Anotomi Orientalisme Hlm 48
Adnin Armas M.A, metodologi Bible dalam Studi Al-Quran, pt. Gema Insani, 1426 H. / 2005
Baca pemikiran mereka, Adiyan Husaini, Wajah peradaban Barat
Dr. Yusuf Al Qordhowi, Al Islam Wal Ilmaniyah, maktabah Wahbah Kairo Mesir, 1997, hlm- 22
Ibid Dr. Muhammad Ahmad Syahath…..
Majalah ISLAMIA, Vol II No. 3 Desember 2005 Hlm 5
Ibid anotomi oreintalisme…….. hlm 28
Lihat AL IKHWAN. NET, Rabu, 07 Desember, 2005
Ibid, Anotomi Orientalisme……. Hlm 20
Ibid Anotomi orientalisme…… Hlm 22, dan utnuk lebih mengetahi ungkapan-ungkapan Cromer terhadap Mesir khusunya dan Arab (Islam) umumnya bisa di baca Edwar W. Said, Orientalism.. Hlm 49-60
Ibid Edawr W. Said, Orientalisme,….. Hlm 51
Ibid Majalah ISLAMIA……… Hlm 5
Ibid ISLAMIA…….
Ibid Islamia……..
Op-set, hlm 42
ISLAMIA, THN I NO. 4 / JANUARI-MARET 2005, hlm 48
Edwrad W. Said………hlm 204
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1521&Itemid=60
Majalah Sabili, No, 9 Th. X 2003 hlm 83
Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat, gema Insani, Jakarta 2006, hlm 73-74
Ibid hlm 88
Ibid hlm 63
Firdaus Syam, MA, Amien Rais,pustaka Al Kautshar, 2003, hlm 171
http://ahmadshiddiq.blogspot.com/2004_11_01_ahmadshiddiq_archive.html
Cengkraman Barat terhadap dunia Timur semakin nyata bukan saja dalam tataran wacana, akan tetapi dalam bentuk kebijakan politik, ekonomi, militer, bahkan unsur pemaksaan dan kekerasan. Dengan slogan demokrasi misalnya dalam kebijakan politik, sistem kapitalis dalam ekonomi, liberal dan sekular dalam idiologi dst. Indonesia adalah salah satu sasaran orientalis Barat, disamaping karena penduduknya mayoritas Muslim, ketundukan dan kepatuhannya pun terhadap ajaran Islam sangat menkhawatirkan mereka. Sehingga perhatiannya terhadap perkembangan Islam di Indonesia di mulai sejak dini, sebelum menjadi mekar dan berkembang besar.
Definisi Dan sejarah Orientalisme
Secara etimologi orientalisme berasal dari bahasa latin orient yang artinya mempelajari dan mencari sesuatu, kemudian digunakan dalam bahasa Prancis menjadi orienter yang bermakna menunjukan atau mengarahkan dan dalam bahasa jerman menjadi Sich Orientiern yang bermaksud mengumpulkan maklumat dan pengetahuan,
. Dalam bahasa Inggris kata orient tidak dirubah dari asal katanya yang asli tapi maknanya berubah menjadi lebih spesifik kepada letak geografis yaitu Asia Timur
.
Kata orient ini berubah menjadi istilah Orientalisme di dunia Eropa sebagai studi kajian tentang dunia Timur. Menurut Al Berry salah satu anggota gereja Yunani bahwa istilah orientalisme ini muncul pada tahun 1638 M. Kemudia pada tahun 1691 Antony Wood dan Samuel Clarke mengistilahkan orientalisme sebagai pengetahuan tentang keTimuran. Kemudian istilah ini mencul di Prancis Orienter pada tahun 1799, di ikuti inggris menjadi Orientalism pada tahun 1838
. Sehingga istilah orientalisme ini menjadi istilah yang mapan dan berkembang di Di dunia Barat-Eropa pada abad ke-18 M.
Secara terminology, orientalisme adalah suatu istilah yang artinya mengetahui segala yang berhubungan dengan bangsa Timur. Kata orientalisme ini digunakan bagi setiap cendikawan Barat yang bekerja untuk mempelajari masalah keTimuran, baik di bidang bahasa, etika, peradaban, dan agamanya.
Ilmuwan yang khusus mengkaji dunia Timur dalam istilah Barat disebut Orientalis yang artinya A person Who Studies the language, Art, Etc. of oriental Countries.
Dalam definisi Edward Said tentang orientalisme memiliki beberapa fase definisi yang berbeda beda sesuai dengan perkembangan gerakan orientalisme itu sendiri. Pada fase pertama orintalisme mislanya, Edward mendefinisikannya sebagai, "Suatu cara untuk memehami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa.”
Definisi ini masih sangat global dan luas, dimana orang-orang Barat masih dalam tahap pencarian dan pemahaman tentang dunia Timur. Pada fase kedua Edward mendifinisikan oreintalisme sebagai "Suatu gaya berfikir yang berdasar pada perbedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara 'Timur' (the Orient) dan 'Barat' (the Occident)
. Perbedaan ontologis dan epistemolois yang di maksud dalam definisi Edward meliputi seluruh bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, budaya, etika, gaya hudup dan lainnya, dengan memakai metode akademis dan gaya ilmiah. Pada tahap ini orientalisme dengan gaya ilmiahnya mencari titik-titik kelemahan dunia Timur untuk dijadikan acuan perbedaan antara dunia Timur dan Barat, kemudian mengambil yang bermanfaat dari dunia Timur untuk perkembangan dunia Barat. Pada giliranya kajian yang berlabel akademik dan ilmiah itu bermuara pada tuduhan dan penghinaan bahwa dunia Timur adalah primitif dan tidak berperadaban dan harus mengikuti Barat yang berperadaban.
Pada fase ketiga menurut Edward, oreintalisme adalah suatu yang didefinisikan lebih historis dan material dari kedua arti yang telah di terangkan sebelumnya. Di mulai pada akhir abad ke-18 M. dimana orientalisme dapat dibahas dan dianalisa sebagai lembaga hukum untuk berurusan dengan dunia Timur, dengan membuat pernyataan-pernyantan tentangnya, mengajarinya, menjadikannya sebagai tempat pemukiman, dan memerinthanya. Pendeknya, orientalisme sebagai gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai Timur.
Kemudian fase keempat yaitu sekitar abad ke-19 sampai abad ke-20, telah dibuat asumsi bahwa dunia Timur dengan segala isinya, jika bukan secara paten inferior terhadap Barat, maka ia memerlukan kajian koreksif oleh Barat. Dunia Timur dipandang sekan-akan berada dalam wadah berupa ruang kelas, pengadilan pidana, penjara dan manual bergambar. Jadi orientalisme adalah pengetahuan mengenai dunia Timur yang menempatkan segala sesuatu yang besifat Timur dalam mata pelajaran sekolah, mahkamah, penjara, atau buku-buku pegangan untuk tujuan penelitian, pengkajian, pengadilan, pendisiplinan, atau pemerintahan atasnya.
Empat fase definisi orientalisme yang di lakukan oleh Edward W. Said diperjelas lagi oleh Dr. Musthafa Ibrahim Al Damiry bahwa fase pertama adalah proses pengenalan serta pemahan Barat Eropa terhadap dunia Timur. Kedua, proses perencanaan (apa yang mesti di lakukan terhadap dunia Tumur) Barat-Eropa terhadap dunia Timur. Ketiga adalah tahapan aplikasi pemahaman, pengalaman dan perencanaan Barat-Eropa terhadap dunia Timur dan fase keempat adalah pemaksaan dan kekrasan terhadap dunia Timur.
Kalau dalam definisi yang dilakuakan oleh Edward W. Said Oriental masih dalam makna dunia Timur secara global, baik itu Timur jauh (the Far Orient) yang meliputi wilayah China, India, Jepang, Korea dan wilayah Asia Tengggara maupun wilayah Timur dekat (The near Orient) yang meliputi wilayah Irak, Iran, Syiria, Lebanon, Arab Saudi, atau yang mencakup seluruh wilayah Arab, belum di pertegas dengan dunia Timur (Islam). Maka Dr. Musthafa al Damiry memperjelas bahwa kajian orientalisme yang dimaksud adalah oriental Islam (dunia Timur Islam). Dalam bukunya Al Tabsyir Wal Istisyroq beliau menulis, "Pemahaman dan definisi orientlisme itu adalah, kegiatan yang berlabelkan akademis yang dilakukan oleh orang-orang Barat kafir tentang Islam dan Umatnya dari seluruh aspek, baik yang berhubungan dengan akidah, syariah, budaya, peradaban, sejarah, undang-undang, dengan tujuan ingin mengaburkan (tasywih) makna-makna Islam yang benar, membuat keraguan serta menyesatkan Umat Islam."
Dari definisi-definisi di atas dapat kita fahami bahwa orientalisme dari maknanya yang sangat gelobal kepada makna yang khusus, lalu mengkerucut menuju pemehaman Barat terhadap dunia Islam. Sehingga tidak heran pada perkembangan gerakan orientalisme selanjutnya terfokus pada acuan mendeskreditkan, menghina, menuduh Islam sebagai fundamentalis, teroris dsb, dengan memakai kedok akademis dan ilmiah. Bahkan menggunakan pemaksaan dan kekerasan dengan tujuan ingin menghancurkan sendi-sendi Islam agar peradaban Barat tetap eksis. Hal ini diakaui sendiri oleh salah seorang di antara mereka Geberdeno Ganit, ia berkata bahwa ia tidak pernah berpegang kepada referensi-referensi tertulis apapun dalam karangannya tentang Islam. Akan tetapi ia hanya menyalin pendapat umum dan ia tidak memiliki alat apapun untuk membedakan antara sesuatu yang salah dan yang benar. Kemudian ia berkata dalam karangan yang tidak mengandung nilai ilmiah itu, sebagai berikut, "Seorang yang jahat tidaklah berdosa apabila mencaci orang lain yang melakukan perbuatan lebih jahat daripadanya"
. Atau seperti yang dikatakan oleh orientalis Inggris George sale (1697–1736), Ia menulis, “Selama bertahun- tahun bahkan berabad-abad berbagai informasi yang diperoleh masyarakat Eropa tentang Islam dan Al-Quran, bersumber dari kelompok-kelompok Kristen Fanatik. Dengan dasar tendensi dan dendam. Mereka mengetengahkan berbagai alasan yang dibuat-buat. Sifat dan tindak-tanduk kaum Muslimin yang baik di lupakan Sama sekali, namun apabila mereka membicarakan kejelekan kaum Muslimin, mereka justru menampilkan kekurangan itu sebesar gunung.
Dari kesaksian di atas sudah tentu kajian orientalisme berdasarkan sebab dan memiliki motif serta orientasi yang ingin dicapai. Untuk lebih memudahkan kita memahami kajian orientalisme dan framework apa yang dipakai dalam mengakaji dunia Timur. Bagaimana perjalan perkembanan orientalisme hingga mencapai masa kejayaan dan keemasannya. Apa motif serta tujuan yang ingin di capai. Alangkah baiknya terlebih dalu kita mengkaji faktor pendorong dan tujuan orientalime mengkaji dunia Timur.
Motivasi dan Tujuan gerakan Orientalisme
Banyak kalangan yang berpandangan bahwa kajian para orientalis itu tidak sepenuhnya bermotif ilmiah. Sebab apabila motivasinya adalah demi kepentingan keilmuan semata, semestinya kajian mereka obyektif, bersih, jujur, dan dapat dipertanggung jawabkan; tidak memanipulasi data, memutar balikkan fakta, serta bebas dari prakonsepsi buruk tentang Islam. Seharusnya mereka menggunakan metode dan paradigma yang benar, tidak disetir oleh pengaruh negatif yang diciptakan oleh lingkungan, atau warisan dendam sejarah masa lalu yang kelam, di masa permusuhan berdarah ketika perang salib. Dengan demikian semuanya dapat kembali kepada fenomena umum mengenai sikap serta prinsip Barat terhadap Islam.
Sikap anti-pati Kristen Barat terhadap Islam bukan tidak beralasan. Kemarahan yang dilontarkan terhadap Islam adalah ekspresi dendam kesumat yang telah lama bergejolak, ingin menghancurkan Islam. Gejolak itu sebenarnya sudah ada semenjak nabi Muhammad lahir, bahkan semenjak Abrahah menentang Millah Ibrahim. Kemarahan itu didasari oleh kebencian yang mengakar kuat dan fanatisme yang berlebihan. Kebencian ini juga tidak hanya terdapat pada pikiran mereka saja, akan tetapi kebencian ini tersimpan di lubuk hati mereka yang paling dalam.
Bangsa Eropa terkadang tidak bisa menerima pendidikan Falsafah Hindu, Budha, koghucu, dan agama-agama lain, akan tetapi tetap menjaga hubungan baik antara mereka. Dengan mengedepankan akal fikiran yang netral, seimbang dan sehat. Lain halnya ketika mereka menilai Islam, mereka selalu menggunakan pikiran yang tidak waras dan curang, mereka lebih mengedepankan emosi, dendam dan sikap biadab untuk merusak Islam dan menghancurkan umatnya. Hal itu terlihat dari sikap dan cara pandang mereka terhadap Islam, dimana Islam bukan hanya dipandang sebagai agama yang menjadi obyek riset untuk dipelajari, namun juga sebagai tertuduh di depan mahkamah untuk di adili dan di hukum. Dalam Hal ini Edward Said berkata :
Jika diperhatikan, sesungguhnya yang menjadi pendorong gerakan orientalisme tidak lain adalah perasaan superioritas dan hegemonitas Barat terhadap bangsa Timur (Islam) dalam segala lini kehidupan. Dr. Mustafa Ad Damiry dalam bukunya Al Tabsyir Wal Istisyroq, Dr. Hasanai Bath dalam bukunya Anotomi Orientalisme dan Dr. Muhammad Ahmad Syahatah dalam Bukunya Al-istisyroq menjelaskan secara rinci motivasi orientlisme itu sebagai Berikut :
Pertama, Faktor Agama. Ketika Agama Islam datang dengan membawa konsep akidah yang menentang keyakinan Nasrani, diikuti dengan membentuk paradigma baru dalam panggung sejarah peradaban Manusia. Peradaban yang sangat menakjubkan, peradaban yang membuat masyarkat Eropa tercengang, sehingga banyak dari mereka yang memberanikan diri untuk segera melegitimasi kebenaran Islam dan kemudian memeluk Islam. Ketika mereka melihat kemajuan peradaban dan kekuatan militer Islam, timbullah rasa jengkel, hasad, dengki mereka. Akumulasi dari perasaan itu semuanya bermuara pada pandangan bahwa Islam sebagai musuh satu-satunya bagi agama Nasrani.
Perseteruan pun mulai bergejolak. Berbagai siasat buruk dilakukan untuk menghancurkan Islam. Namun perseteruan itu selalu saja di menangkan oleh Islam. Sehingga menimbulkan kemarahan dan dendam terhadap Islam. Berbagai setrategi inovatif pun dilakukan, diantaranya dengan melemparkan tuduhan-tuduhan non argumentatif terhadap Islam seperti menggambarkan Islam sebagai agama yang apatis, tidak mampu mengikuti perkembangan Zaman, bodoh, dan tidak berperadaban. Seperti yang di ungkapkan Cromer tentang kearifan Orientalis : “Sir Alferd Lyall pernah berkata pada saya : “keakuratan adalah hal yang paling menjijikan bagi pikiran Timur. Setiap orang Timur Indo-India harus selalu mengingat kebenaran umum ini.” Tiadanya keakuratan, yang dengan mudah menjadi ketidakbenaran. Dalam kenyataanya, begitulah pikiran orang Timur. Orang Eropa adalah penalar yang cermat, semua pernyataanya menunukkan fakta, bebas dari bentuk kekaburan. Ia adalah logikawan alami. sedangkan orang Timur atau Arab ditampilkan sebagai makhluk yang mudah dikecoh, tidak mempunyai energi dan inisiatif, suka menjilat, berpura-pura, licik tidak penyayang kepada binatang, pembohong, malas, selalu bertentangan dengan pikiran yang logis."
Padahal jika mereka mau jujur, berdasarkan fakta sejarah murni, sesungguhnya yang bodoh, tolol, dan primitif selama seribu Tahun (1000) lamanya adalah bangsa Eropa. Tetapi karena perasaan mereka dipenuhi oleh sikap apriori, kebencian dan dendam, maka fakta sejarah keemasan peradaban Islam (The Golden Age Of Islamic Sivilization) tidak diungkapkan bahkan dikubur dalam-dalam. Inilah sikap obyektif ala Eropa, obyektif menerut kesesuian hawa nafsu dan keinginan mereka.
Diantara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keinginan dari upaya Kristenisasi untuk melawan Islam seperti, Louis Mansinion, Job,
Leo III ( 717-741), Johannes dari Damaskus (± 652-750 ), Abdul Masih al-Kindi ( ± 873 ), Petrus Venerabilis (Peter the Venerable 1094-1156) ,
dan lain-lain, kemudian dikuti oleh pemikir orientalis kontemporer seperti Bernad Lewis, Samuel P. Huntington.
Dan kebencian mereka terhadap Islam sebagai agama terus berlajut hingga saat ini. Bahkan sebuah kesimpulan menarik dari yusuf Al Qordowi tentang hubungan Barat dan Timur seperti ini sudah diketahui jauh sebelumnya. Pertentangan antara Islam Dan Barat, merupakan pertentangan (tanaqhud) epistemologi dan aksiologis. Adapun untuk mendekatkan keduanya adalah Mustahil, hal ini disebabkan karena perbedaan framework, termonolgi, metode dan epistemolgi yang dipegang oleh keduanya. Tidak ada manfaatnya untuk melakuakan dialog (hiwar) antara keduanya antara Timur (Islam) dan Barat sebab jika salah satu di antara keduanya mendekat maka yang satunya akan menjauh”
kesimpulan ini bukan berarti tidak mungin untuk melakukan hubungan kemanusiaan, dan kemasyarakatan, karena interaksi dalam hidup bermasyarakat tidak mungkin kita hindari. Tapi pertentangan akidah dan idiolegi yang dituangkan dalam bentuk agama tidak akan pernah berakhir. hal ini selaras dengan Firman Allah. Qs. Al-Baqarah: 120 denga Qs. As-Shoff: 8
Kedua, motif Politik. Islam bagi Barat adalah peradaban di masa lalu yang telah tersebar dan menguasai peradaban dunia dengan begitu cepat. Barat yang baru bangkit dari kegelapan melihat Islam sebagai ancaman langsung yang besar bagi kekuatan politik dan agama mereka. Sebab itu harus di selesaikan segera. Barat sadar bahwa Islam bukan hanya memiliki istina-istana megah, bangunan-bangunan monumental, tapi Islam juga adalah ilmu pengetahuan, politik, ekonomi dan peradaban. Merekan pun segera merebut khazanah ini untuk kepentingan mereka, sekaligus untuk menaklukan Islam. Kemudian motif politik ini menjadi motif bisnis atau perdagangan yang kemudian menjadi kolonialisme.
Perkembangan gerakan Orientalisme
Kegiatan orientalisme adalah hasil dari pengalaman Barat setelah berabad-abad lamanya mereka mengahadapi Timur, khususya dunia Islam. Sebagaian sejarawan menulis bahwa orang-orang Barat mulai berkecimpung dalam studi tentang dunia Timur adalah pada permulaan abad ke 7 H. 628 M dimana terjadi perang yang berkecamuk antara kaum Muslimin dan Kristen Romawi yang dikenal dengan perang Mu`tah.
Bahkan lebih ekstrim lagi kalau perseteruan yang dimaksudkan antara Barat (Kristen) dan Timur (Islam)--menurut Thomas Right penulis Buku Early Christianity in Arabia—bermula semenjak tentara Kristen pimpinan Raja Abrahah menyerang Ka`bah dua bulan sebelum Nabi Muhammad lahir. Di situ tentara Abrahah kalah telak bahkan tewas. Kalau saja tentara itu tidak kalah mungkin seluruh jazirah itu berada di tangan Kristen dan tanda salib sudah terpampang di Ka`bah. Muhammad pun mungkin mati sebagai pendeta.
Hamid fahmi Zarkasyi mengomentari analisa Thomas Right ini sebagai berikut, "Jika Right benar, berarti orang Kristen sendiri telah lama menentang millah ibrahim bapak agama tauhid itu. Jadi motif orientalisme adalah keagamaan dan berkaitan dengan Kristen dan misionarisme.
Sebagian sejarawan lagi mengatakan bahwa orang-orang Barat mulai berkecimpung dalam studi tentang dunia Timur adalah pada permulaan abad ke-10 M, yaitu ketika beberapa orang pendeta Barat khususnya di Andalusia (spanyol) ingin memperlihatkan kebolehan dan kemampuanya setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah-sekolah studi ketimuran. Mereka menerjemahkan Al-Quran dan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa mereka. Selain itu mereka juga menuntut ilmu dari intelektualis muslim dalam berabagai disiplin keilmuaan, khususny filsafat, kedokteran,dan ilmu-ilmu matematika. Diantara sekain banyak pendeta yang berkecimpung dalam bidang ini adalah seorang pendeta Prancis yang benama Gerbert. Dia terpilih sebagai Paus gereja Roma pada tahun 999 M, yaitu setelah ia menyelesaikan studinya diberbagai sekolah di Andalusia dan kembali ketanah airnya. Kemudian langkah ini diikuti oleh Butros (1092/1165 M), serta Geerand de Cremon (1114-1107M)
Menurut Gustave Lebon (sejarawan prancis), ahli-ahli Barat seperti Roger bacon, Leonardo da Vinci, Al Bertus Magnus dll, dibesarkan dalam era keemasan perpustakaan pengetahuan Islam dan Arab. Paus Gerbert (bergelar Sylverstre – II) mengajar ilmu-ilmu alam pada tahun 1552–1562 yang kesemuanya dipelajarinya dari Universitas Islam di Adalusia. Kemudian Gherardo dan Cremona, adalah dua orang ahli astronomi Barat asal Italia yang menerjemahkan buku ilmu Astronomi dari kitab As-Syarh karangan Jabir Ibnu Hayyan. Raja Friederich-II dari Prancis meminta putra–putra Ibnu Rusyd (Averoes dalam ejaan Barat) untuk tinggal di istananya, guna mengajari Ilmu Botani dan Zoologi. Kemudia Apotik dan Ilmu kedoteran, kimia dan Botani. sebelum Abad ke 15 Islam sudah sangat maju dibanding Barat, Ilmuwan Islam telah menemukan 2000 jenis tanaman Thiflorida untuk obat-obatan.
Dan barangkali puncak motivasi kajian orientalime ini menjadi lebih serius menurut beberapa sejarawan setelah kekalahan Kristen pada perang salib kedelapan.
Dengan kekalahan itu, mereka beralih ke perang dingin yang didasari oleh "nasehat tulus" yang di utarakan oleh Saint Louis kepada Umat Kristen yang tidak berdaya setelah mereka menderita kekalahan besar pada perang salib kedelapan. Bahkan ia sendiri menjadi tawanan perang di kota Manshuroh (Mesir), namun ia menebus dirinya dengan denda yang sangat besar agar dapat terbebas sebagai Tawanan.
Setelah kembali ke Prancis, ia yakin bahwa tidak mungkin memperoleh kemenangan dan mengalahkan umat Islam dengan kekuatan perang. Menurutnya, hal ini karena keteguhan umat Islam dalam menjalankan ajaran Agamanya, semagat Jihad dan keikhlasan yang tinggi, serta semangat mengorbankan jiwa di jalan Allah demi mempertahankan Negara Islam dan menjaga kehormatan dan harga diri.
Umat Islam dengan akidahnya yang kokoh selalu siap sedia untuk berjihad dan berperang. Oleh karena itu Louis berpikir bahwa ia harus mencari jalan lain untuk mengalahkan ummat Islam. Caranya yaitu menggantikan pemikiran yang Islami dengan cara melancarkan perang pemikiran (Gozwul Fikr). Disamping itu juga ia menyakini bahwa cendikiawan-cendikiawan Eropa dengan disiplin Ilmu pengetahuan mereka tentang kebudayaan Islam akan menjadi senjata Baru yang ampuh untuk memerangi umat Islam.
Begitulah, akhirnya strategi peperangan berubah menjadi peperangan di bidang akidah dan pemikiran. Tujuannya adalah mengaburkan Akidah umat Islam yang berakar kokoh, berisi jiwa Jihad serta mendorong semangat orang yang beriman untuk rela mati di jalan Allah. Nasehat Louis inilah yang merupakan asas dalam merubah kiat bangsa Eropa dalam mengahadapi Islam dan umatnya; dari genjatan senjata menjadi perang dingin. Serangan-serangan mereka akan dilancarkan dari dalam negara Islam Itu sendiri.
Nasehat tersebut telah terwujud dalam dua Tahap: Pertama, terjun lansungnya prajurit-prajurit Kristenisasi dan orientalisme untuk beraktivitas sebagai penyampai pemikiran yang mapan, melancarkan Kristenisasi dengan mengacaukan situasi komunitas Islam, aktif membuat tulisan dan karangan-karangan. Kemudian hasil karya mereka dipublikasikan di tengah-tengah lembaga pendidikan suatu masyarakat Islam. Inilah fase pertama pelaksanaan nasehat Louis sang panglima perang Salib itu.
Kedua, mengerhakan sebagian umat Islam dari golongan pemerintah dan pemikir, serta mencelupkan akidah dan moral mereka dengan aroma Barat. Kemudian memuluskan kenaikan Pangkat yang berpengaruh dalam memutuskan kebijakan-kebijakan Negara yang berhubungan dengan politik, pemikiran, penerangan dan pendidikan. Hal ini ditujukkan agar mereka menjadi agen-agen pelaksana metode Barat yang patuh di negeri Islam yang merupakan tanah airnya dan Negara yang dianutnya. Hal ini dikatakan oleh Cromer ketika ia akan meninggalkan Mesir: "kami akan pergi meninggalkan Mesir dan kami akan memerintahnya dengan mengunakan pemimpin pemimpin asal Mesir Tapi berfikir Barat"
Maksudnya adalah penjajahan materi akan berangkat dari Mesir sedangkan pengaruh pemikirannya akan kekal pada diri orang-orang Mesir dan mereka akan memerintah Mesir dengan pemikiran kami yang menentang Islam sebagai pengganti kami.
Terlepas dari perbedaan sejarawan dalam menentukan awal mula mulainya gerakan orientalisme, yang jelas jika dikaji secara serius orientalisme bisa di bagi empat Fase penting :
Fase pertama, dimulai pada abad abad ke-16 M. Pada fase ini orientalisme dapat dikatakan simbol gerakan anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen, seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa akar gerakan ini jika di telususri merupkan reaksi substansi ajaran Islam yang sejak dini sekali telah menetang Kristen dan Yahudi, Al-Quran jelas sekali membeberkan kerancuan akidah dan pemikiran mereka. Selain itu kekalahan bangsa Eropa-Kristen dalam perang salib juga memicu semangat anti-Islam ini. Islam dalam pandangan orang Kristen merupakan simbol teror, perusak dan barbarian. Balfour dan Cromer secara khas mengemukakan beberapa istilah seperti orang Timur Irrasional, bejad Moral, kekanak-kanakan, "berbeda" jadi orang Eropa adalah Rasional, berbudi luhur, dewasa dan Normal.
Bagi orang Eropa, Islam adalah trauma yang tak pernah berakhir. Southern dalam bukunya Western Views Of Islam In the Middle Ages, menulis bahwa "Orang Kristen berharap agar Timur dan Barat-Eropa bersepakat bahwa Islam itu adalah Kristen yang sesat (Misguided version Of Christianty). Bahkan tidak sedikit yang menulis Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi, dan sebagainya, yang kesemuanya itu diambil dari doktrin keagamaan yang dibawanya.
Fase kedua, orientalisme pada abad ke-17 dan ke-18 M. fase kedua ini adalah fase penting orientalisme, sebab ia merupakan gerakan yang bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Pada periode inilah Raja-Raja dan Ratu-Ratu di Eropa sepakat untuk mendukung pengumpulan segala macam informasi tentang ketimuran. Untuk menyebut beberapa nama seperti, Erpernius (1584-1624) menerbitkan pertama kali tata bahasa Arab, yang diikuti muridnya Jacob Goluis (1595-1667) dan oleh Lorriunuer Franz Meurnski dari Australia tahun 1680, selain itu Bedwell W (1561-1632) mengedit tujuh jilid Kamus Bahasa Arab dan menulis tentang sejarah Nabi Muhammad.
Meskipun Barat memerlukan Islam, tapi perseteruan tetap membara. Oleh karena itu selain mengumpulkan informasi tentang Timur, mereka juga menyebarkan informasi negatif tentang Timur kepada Masyarakat Barat. Pada periode ini Alexander Ross misalnya, menerbitkan buku-buku yang banyak menghujat Islam tanpa memilikidasar apa-apa. Ia menulis buku berjudul the prophet of turk and author of the al-Qoran. Dalam buku-bukunya ia sering kali mengunakan kata-kat kasar seperti the great arabian imposter, the litle horn in the danial, arabia swine, goliat, grand, hypocrite, great thief terhadap Al-Quran. Ia juga menuduh Nabi Muhammad seperti, corrupted pudlleof mohammets invention, mis-shapen issue of muhamets brain, atau a gallimaufry of error dan sebagainya. Pada tahun 1679 Humphey Predeaux menulis sejarah hidup Nabi Muhammad, tapi buku itu berusaha membuktikan asumsi bahwa Nabi Muhammad itu pandai berpura-pua, pandai mengelabui orang, penipu dan cerdik. Buku seperti ini dijadikan referensi standar oleh orientalis selama seabad lebih. Singkat kata, jika pada fase pertama diwarnai oleh semangat anti Islam, maka priode ini adalah priode caci maki orientalis terhadap Islam dalam bentuk tulisan.
Fase ketiga oreantalisme adalah abad ke-19 dan seperempat pertama abad ke 20. Fase ini adalah fase terpenting bagi orentalisme dan umat Islam sendiri. Sebab pada fase ini Barat telah benar-benar menguasai negara-negara Islam secara politik, militer, kultural dan ekonomi. Pada fase ini banyak orientalis yang menyumbangkan karyanya dalam banyak bidang studi Islam. Tidak sedikit pula dari karya-karya berbahasa arab dan persia diedit, diterjemahkan dan diterbitkan. Mungkin karena orang Barat telah masuk dan menguasai negri-negri Islam sehingga dengan mudah mereka mendapatkan bahan-bahan tentang Islam.
Oleh sebab itu pada waktu yang hampir berasamaan lembaga-lembaga studi keislaman dan ketimuran didirikan dimana-mana. Tahun 1822 diparis didrikan Society Asiatic of Paris, Royal Asiatic of Great Bretain dan Ireland didirikan tahun 1823 di inggris. Tahun 1842 di Amerika juga didirikan American Oriental Socaity. Tahun 1916 di Universitas London didirkan School of Oriental Studies sekarang jadi SOAS (School of Orintal and African Studies). Diantara tokoh orientalis yang terkenal pada masa ini adalah Goldziher(1850-1908). Dengan berdirinya pusat-pusat studi keislaman tersebut, framework kajian orientalis mengalami pergeseran yang signifikan dari fase caci maki menjadi serangan sistematis dan ilmiah. Namun demikian serangan sistematis dan ilmiah itu tidak berarti tanpa kesalahan dan bias. para oreantalis di abad pertengahan memang memiliki informasi yang kurang valid tentang nabi muhammad, sehingga tulisan mereka bernada negatif. Namun para orientalis di zaman modern yang dianggap telah memiliki pengetahuan Islam yang relatif lebih banayk, masih saja bersikap negatif dengan cara yang lebih akademis. Yang jelas mereka tidak mengekspos misi yang dibawa Nabi, dan menjelaskan nilai-nilai universal Islam yang disumbangkan kepada dunia.
Fase keempat orientalisme ditandai dengan perang dunia ke II. Khusus di Amerika, Islam dan umat Islam menjadi obyek kajian populer. Kajian itu bukan saja dilalakukan untuk kepentingan akademis, tetapi juga untuk kepentingan perancang kebijakan politik dan bisnis. Namun pada fase ini kajian orientalis berubah dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut. Cantwell Smith terang terangan mengatakan "Pencarian ilmu selalu siap mengubah hipotesanya. Faktanya memang orang-orang Barat non muslim baru saja memperlembut sikapnya terhadap Islam dan bahakan menarik kata tidaknya" (lihat on understanding Islam-selected studies,the hague, 1981, 296). Sir Hamilton Gibb secara diplomatis mengatakan, ia menerima pendapat bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman pribadi Nabi Muhammad, tapi Islam perlu menafsirkan ulang konsep yang tidak bisa dipertahankan lagi itu. (Pre-Islam monotheism in arabia, harvard thelogical review, 55, 1962, 269). Perubahan sikapnya begitu kentara berubah dari menuduh nabi sebagai penipu, mereka kemudian mempersoalkan konsep wahyunya, dan kini mereka mulai mempersoalkan interpeatasinya.
Methode serta fremowork yang dipakai Barat dalam mengakaji dunia Islam senantiasa berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi perkembangan zaman, perbedaan tempat dan waktu, serta daya berfikir rasional manusia. Label akademis, Ilmiah dan obyektifitas merupakan senjata utama dalam memutarbalikan fakta sehingga terkesan obyektif dan ilmiah. Padahal dalam obyektifitasnya itu tersimpan banyak pertanyaan-pertanyaan yang justru tidak menunjukkan sikap ilmiah dan obyektif. Hal itu terlihat mislanya dalam kajian mereka tengatang Al-Quran yang menggunakan metode kritik Bible (Bible Criticsm). Mereka mengklaim penggunaan metodologi kritik Bible sebagai metode Ilmiah.
Dalam kajian teologi Islam kalangan orientalis menggunakan tiga pendekatan dan metode pertama, filologi, yang meliputi penelitian nilai naskah (textual criticms), penelitian bentuk karya Tulis (Form criticisn), dan penelitian terhadap sumber karya (source criticism). Kedua, menggunakan metode kritik sejarah (Historical Criticism). Pendekatan ini bertujuan memilih berita, cerita atau laporan mana yang benar dan mana yang palsu, membedakan antara sejarah dan legenda, antara fiksi dan fakta, antara mitos dan realitas, memilah “antara konon terjadi” dan “yang sebenarnya terjadi”, berkenaan dengan riwayat hidup atau karir seorang tokoh atau mengenai karya yang disandarkan kepadanya.
Ketiga, melalui pendekatan filsafat, lebih menekankan pada aspek kesinambungan pendekatan tentang berbagai tema dalam konteks sejarah pemikiran manusia (history of ideas). Yang diperhatikan dalam pendekatan ini ialah isi dan sistem pemikiran seorang tokoh serta sumbangannya dalam bidang yang digelutinya. Seperti pandangan teologi manusia Barat sebelum abad modern masih dalam tahap animisme dan pandangan Aristotel, teologi metafisika. Kemudian pada abad modern membuka jalan bagi filsafat sekularis dan mekanika. Membuktikan eksistensi Tuhan dengan berdasarkan pada ide tantang wujud sempurna dalam pikirannya. Descartes, Kepler, Galileo, Boyle, dan para filosof mekanika lainnya membedakan antara kualitas primer dan kualitas sekunder untuk mencopot animisme dari Alam. Yang pada gilirannya menjadikan teologi hanya hal yang skunder, atau hanya sebuah perasaan atau sesuatu yang muncul dari pikiran manusia (Human mind). Seprti halnya, warna, kekerasan, rangangan dan rasa pahit. Dengan berkembangnya pemikiran teology modern ini, orang Barat sampai kepada tahap pertanyaan, “apakah Tuhan itu ada atau tidak?”
Perkembangan sains modren ini mempengaruhi wilayah teology dan agama, dan pada saat itulah pandangan hidup orang Barat berubah secara fundamental, yang disebut sebagai akal modoren (modern mind). Pada abad post-modernisme pandangan teologi Barat berubah menjadi apa yang disebut dengan teologi post-modernisme. Pada abad ini munculnya eksistensialisme (pemehaman tentang kewujudan) dan filsafat analitik yang merupakan dua gerakan yang sangat dominan. Dan pemahaman ini hasil dari pikiran Pos-Modernisme (post-Modern mind).
Munculnya pemahaman post-modernisme ini bukan saja menghapuskan realitas serta metafisika yang objektif dengan sistem baru, tapi juga meremehkan serta mengsampingkan doktrin agama yang berdasarkan pada metafisika. Dimana agama pada abad post-modernisme didekati dengan pemikiran yang bersifat ateistik, (tidak adanya sebuah agama) atau sebuah penggugatan terhadap agama, pandangan ini tercermin dari pandangan mereka tentang nilai (value). Dimana sebuah nilai menurut mereka adalah suatu yang absolut, artinya, nilai adalah suatu yang harus diikuti oleh agama dan masyarakat. Agama tidak lagi dijadikan sebagai satandar nilai dalam kehidupan manusia. Karena itu dalam pandangan Nietzsche proses nihilisme (tidak adanya sebuah nilai) adalah devaluasi nilai tertinggi yang membawa kepada kesimpulan doktrin “Kematian Tuhan”.
Artinya standar nilai untuk menilai sesuatu tidak lagi berdasarkan kepada sesuatu yang metafisis, realistis, relijus ataupun yang mengandung ketuhanan.
Kemudian pada era globalisasi pandangan Barat tentang ketuhanan bergeser kepada paham globalisme agama, yang di pelopori oleh Jhon Hick. Dimana manusia ahrus mengubah (revise) atau merombak (deconstruct) pemikiran-pemikian dan keyakinan-keyakinan agama tradisional agar seirama denga semangat Zaman, dan nilai-nilai yang diyakini “universal”.... Teori baru yang sangat krusial dewasa ini dikenal dengan “Pluralisme Agama”.
Dalam kajian mereka tentang Hadist, orientalis Barat memulainya dengan meragukan kejujuran (tsiqoh) para sahabat, kemudian Isnad, Rawi dan matan dari Hadist tersebut. Sehingga dengan gaya kritik yang dipakainya memungkinkan mereka meregukan kesohihan hadis-hadis Bukhari dan Muslim. Inilah gaya orientalis Barat dalam mengakji Islam yang sebagian intelektual Muslim kadang tidak menyadari hal itu sehingga tidak sedikit di antara mereka yang amat apreseatif terhadap kajian Islam para orientalis ini, dan kemudian mengadopsinya untuk kajian Islam. Malah akhir-akhir ini, kritik-kritik para orientalis yang tendensius dan bias itu disuguhkan kepada umat Islam, dengan maksud agar umat Islam berfikir kritis. Tapi anehnya, justru para cendikiawan itu sendiri tidak kritis terhadap kritik para orientalis. Tidak sedikit yang Mengamini dan bertaqlid buta terhadap kritikan orientalis dan berbalik mengkritik Islam dengan menggunakan bahasa dan metode orientalis. Padahal sikap ilmiah orientalis yang konon obyektif itu menyisakan banyak pertanyaan-pertanyaan dan menyuguhkan pendekatan yang penuh bias. Kajian edward Said yag tidak kalah ilmiahnya menggabarkan dan menyimpulakan bahwa "Apa saja yang dikatakan oleh orang-orang Eropa tentang Timur tetap saja Rasial, Imperialis dan Etnocentris.
Sebab dalam karya-karya Barat tentang Timur, Barat Memandang Timur dengan rasa superioritas yang tinggi.
Snouck Hurgronje dan pengaruhnya di Indonesia
Snouck Hurgronje yang datang ke Indonesia pada tahu 1889 sebagai penasehat pemerintah kolonial belanda, sesungguhnya meiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan dan undang-undang serta kebijakan politik bangsa Indonesia. Snouck Hurgronje lah peletak dasar kebijakan "Islam Politiek". Ia merupakan tokoh penting peletak pembaratan Islam pribumi yang kini diteruskan oleh para pewarisnya di Indonesia. Snouck lahir tanggal 8 Februari 1857 di Oosterhout Belanda, merupakan anak keempat dari pasangan Pendeta JJ Snouck Hurgronje dan Anna Maria. Nama depannya diambilkan dari nama kakeknya, pendeta D Christiaan de Visser.
Pada tahun 1874 selepas dari pendidikan HBS di Breda, ia melanjutkan ke Fakultas Teologi Universitas Leiden. Tahun 1878 ia lulus kandidat examen (sarjana muda) kemudian ia meneruskan ke Fakultas Sastra Universitas Leiden. Semasa di Universitas Leiden, Snouck dibimbing oleh para tokoh aliran ? modernis Leiden?, seperti CP Tieles, LWE Rauwenhoff, Abraham Kuenen, MJ de Goeje. Tahun 1884 --atas prakarsa JA Kruyt Konsul Belanda di Jeddah-- Snouck dikirim ke Makkah untuk melakukan penelitian tentang Islam. Untuk mendapatkan ijin tinggal di Makkah, Snouck mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar, ia juga mengerjakan Shalat dan ritual agama Islam lainnya. Dengan sikap tersebut, Snouck dapat mengenal lebih dekat kehidupan sehari-hari umat Muslim di Makkah serta dengan mudah bergaul erat dengan para pelajar dan ulama, terutama yang berasal dari Hindia Belanda.
Modernis Leiden ini berpandangan liberal dan rasional. Menurutnya agama hanyalah sekedar kesadaran etis yang ada pada setiap manusia dan budaya Eropa memiliki superioritas kebudayaan sehingga interaksi antara agama Kristen dengan budaya Eropa adalah proses puncak perkembangan kebudayaan, sedangkan kebudayaan lain Islam dan budaya dunia Timur merupakan suatu bentuk degenerasi kebudayaan. Dalam penelitiannya, Snouck memusatkan perhatiannya pada tiga hal. Pertama, dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan. Kedua, apa arti Islam di dalam kehidupan sehari-hari dari pengikut-pengikutnya yang beriman. Ketiga, bagaimana cara memerintah orang Islam sehingga melapangkan jalan untuk mengajak orang Islam bekerjasama guna membangun suatu peradaban yang universal.
Snouck memformulasikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian, yaitu; bidang agama murni, bidang sosial kemasyarakatan dan bidang Politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep Splitsingstheori. Ketiga bidang tersebut oleh Snouck diusahakan agar umat Islam Indonesia terus menjauh dan berangsur-angsur memisahkan agama dari segi sosial kemasyarakatan dan politik. Melalui Politik Asosiasi diprogramkan agar lewat jalur pendidikan bercorak Barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa diciptakan kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa. Dengan demikian hilanglah kekuatan cita-cita Pan Islam dan akan mempermudah penyebaran agama Kristen.
Dalam bidang politik haruslah ditumpas bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam, penumpasan itu jika perlukan dilakukan dengan kekerasan dan kekuatan senjata. Setelah diperoleh ketenangan, pemerintah kolonial harus menyediakan pendidikan, kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud baik pemerintah kolonial dan akhirnya rela diperintah oleh orang-orang kafir. Dalam bidang agama murni dan ibadah, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan, maka pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan, serta memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji. Sedangkan dibidang Sosial Kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada adat tersebut yang telah dipilih agar sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa. Snouck menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam, terutama dalam hukum dan peraturan. Konsep untuk membendung dan mematikan pertumbuhan pengaruh hukum Islam adalah dengan Theorie Resptie?. Snouck berupaya agar hukum Islam menyesuaikan dengan adat istiadat dan kenyataan politik yang menguasai kehidupan pemeluknya. Islam jangan sampai mengalahkan adat istiadat, hukum Islam akan dilegitimasi serta diakui eksistensi dan kekuatan hukumnya jika sudah diadopsi menjadi hukum adat.
Pengaruh pemikiran Snouck Hurgronje ini tenyata bukan saja dalam tataran wacana, kana tetapi sudah menjadi kebijakan politik dan landasan dasar idiologi undang pemeritahan Indonesia. Hal itu bisa kita lihat pada rezim orde lama yang memisahkan antara Islam sebagai Agama dan Islam sebagai doktrin Politik. Makin Jauh jarak kedua Hal tersebut kata Snouck akan mempercepat proses kehancurkan Islam.
Pikiran Snouck ini bahkan menjadi dasar bagi strtegi melumpuhkan dan memarjinalkan kekuatan Islam yang di lakukan oleh kekuatan-kekuatan politik anti Islam. Sikap ini terus-menerus mereka lakukan sejak awal kemerdekaan (18 Agustus 1945) yaitu di coretnya 7 kata (Sayariat Islam dari UUD 45). Hingga reaksi keras mereka menolak RUU sintem pendidikan Nasinal (sisdiknas) 2003.
Pemikiran Harun Nasution dan pengaruhnya di Universitas Tinggi Islam Indonesia
Pembaruan Islam di IAIN, yang kemudian di lanjutkan ke UIN, STAIN dan berbagai perguruan tinggi Islam Lainya-memang tidak bisa terlepas dari peran Harun Nasution. Adalah menarik membaca pengakuan Harun Nasution tentang sosok pribadi dan pemikiran tentang Islam. Sebagaimana di tulis dalam"refleksi pembaharuan pemikiran Islam:70 tahun Harun Nasution". Menyimak riwayat hidupnya, harun Nasution terkesan sebagai orang yang gigih dalam memperjuangakan Hidup dan menuntut ilmu. Is mampu eksis di tengah kesulitan hidup yang dialaminya. Sehingga dengan kegigihannya itu dapat melanjut studinya keMc. Gill University atas jasa HM Rosyidi pada 20 september 1962. Ketika proses menimba ilmu di Barat Harus terkesan kurang kritis kepada pemikiran Orientalis Barat. Karena itu tidak terlalu aneh, jika Harun kemudia terjebak dalam pemikiran Orientalis. Dan Ia memang mengakui hal itu. Ia mengerti Islam dari Orientalis. Ia tidak puas dengan kondisi Islam di tempatnya menuntut Ilmu di mesir. Tentang hal ini harun menuturkan:
"Sewaktu di belgia setiap ada uang aku pergi ke took buku. Aku membeli lalu ku baca. Aku tahu di belanda banyak buku mengenai Islam. Karena Belanda dekat, akupun pergi kesana. Kemudian ada temanku di kedutaan Indonesia di Hagg. Dia yang membawa ku ke took Buku. Aku mencari buku-buku mengenai Islam. Banyak Buku-buku Islam yang di tuli oleh orientalis, itu ku baca, baru aku mengerti: Oh ini Islam! Aku semakin tertarik. Aku membaca buku-buku itu dan mempelajarinya, kemudian aku mencari majalah-majalah yang berbahas inggris, yang di karang oleh orang Islam. Yang ku dapatkan adalah surat kabar ahmadiyah terbitan London. Nah disana aku menemukan Islam yang rasional. Disitu aku mulai tertarik dengan Islam"
Tahun 1968 Harun Nasution Menyelesaikan gelar Ph.D-nya. Cita-citanya ingin merombak pendidikan Islam, melalui pendidikan tinggi, sesuai gagasan pembaruan al mu`tazial. Dan kesempatan itu ada ketika ia menginjakkan kakinya di IAIN Jakarta. Dengan di dukung oleh Ali Martopo sebagi menteri Agama saat itu naiklah pangkat Harun menjadi Rektor IAIN Jakarta pada saat itu, maka Ia lebih leluasa menerapkan ide-idenya. Harus Nasutian melkuakn gerakan perubahan dari dari dalam. Ia menuturkan tentang maslah ini; "Langkah pertama kami di IAIN adalah mengubah kurikulum. Kami para rector IAIN mengadakan pertemua diCiumbuleut. Pengantar ilmu Agam di Masukkan dengan ahrapan akan mengubah pandangan mahasiswa. Filsafat, Tasauf, ilmu Kalam, Tauhid, sosiologi,metodologi riset kita masukan…
Walaupun banyak yang menolak Ide Harus nasution ini, seperti H. Ismail Ya`kub, KH. Bafaddol, tapi tetap saja pemikirannya itu diterapkan di IAIN dengan dukungan dari menteri Agama Mukti Ali yang sejalan dengan pemerintah orde Baru pada saat itu. Sebuah keberhasilan besar bagi Nasution dan kekecewaan berat bagi HM Rasyidi dan ummat Islam Indonesia, berdasarkan hasil rapat rector IAIN se-Indonesia pada agustus 1973 di Ciumbuleut Bandung, departeman Agam RI memutuskan, Buku "Islam di tinjau dari berbagai Aspeknya" (IDBA) karya Prof.Dr. Harun Nasution di rekomendsikan sebagai buku yang akan bermanfaat, terutama untuk mata kuliah pengantar Agama Islam-mata kuliah komponen yang wajib di ambil oleh setiap mahasiswa IAIN, apapun Fakultas dan jurusanya.
Buku harus ini di kritik habis-habisan oleh HM Rasyidi. Pernyataan Prof. Rasjidi bahwa buku IDBA SANGAT BERBAHAYA perlu digaris bawahi dengan tebal, rasjidi memberi kritik-kritik yang sangat tajam, terhadap buku Harun tersebut. Kritikannya itu di sampaikannya ke Depag Agama agar Buku IDBA milik Harus itu perlu di kaji ulang karena akan membahayakan pemikiran para mahasiswa, tapi menteri Agama tetap saja tidak menggubris kitikan yang di sampaikan oleh Prof Rasjidi. Karena Depag tidak menanggapi kritikan Prof, Rasjidi, maka pada tahun 1977, lahirlah buku Koreksi terhadap Dr. Harus Nasution.
Perubahan kurikulum yang bermula pada Harun Nasution, sangat membri pengaruh besar dalam berfikir dan sudut pandang mereka terhadap Islam. Bahkan kurikulum IAIN semakin nampak hegemoni Kristen Orientalis Barat. Kurikulum seperti yang ditulis oleh pak adiyan Husaini "Beberapa waktu lalu saya mendapatkan satuan mata kuliah bertajuk “Kajian Orientalisme terhadap Al-Quran dan Hadits” di Program Studi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Mata kuliah ini diberikan untuk mahasiswa semester VIII.
Yang menarik untuk ditelaah adalah tujuan diberikannya mata kuliah ini kepada mahasiswa, yakni, agar ‘’Mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap Al-Quran dan hadits.’’ Ada empat buku referensi yang dianjurkan untuk dibaca yaitu (1) buku karya Mohammed Arkoun, Rethinking Islam; (2) buku Norman Calder berjudul ‘Studies in Early Muslim Jurisprudence’ (3) buku Kenneth Cragg, ‘The Event of the Quran: Islam in Its Scripture’ ; (4) buku Farid Essac, berjudul Qur’an Liberalism and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity againts Oppression).
Kurikulum di sebuah perguruan Tinggi Islam terbesar ini sangat penting untuk ditelaah, mengingat kurikulum adalah panduan untuk mengarahkan jenis mahasiswa macam apakah yang diinginkan untuk dibentuk pemikirannya, khususnya terhadap Al-Quran dan hadits. Apalagi, kurikulum ini diberikan di jurusan tafsir dan hadits. Dari tujuan dan daftar referensi yang dianjurkan sudah terlihat dengan nyata, bahwa UIN Jakarta—khususnya jurusan tafsir hadits—ingin membentuk sarjana agama yang berpikiran model orientalis, khususnya dalam bidang Al-Quran dan hadits. Tentu saja ini sangat menyedihkan. Dari referensi yang dianjurkan, misalnya, tidak terdapat karya-karya Edward Said yang dikenal sangat kritis terhadap orientalisme. Mengutip pendapat Prof. Dr. Ali Husny al-Kharbuthly (Guru Besar di ‘Ain Syams, Mesir), Prof. Hamka menyebutkan, bahwa ada tiga tujuan orientalisme di dunia Islam, yaitu (1) Untuk penyebaran agama Kristen ke negeri-negeri Islam, (2) Untuk kepentingan penjajahan, (3) Untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata. (Hamka, Studi Islam, 1985:12)
Nurkholis Madjid Dan pemikiran Sekularnya
Pemikiran orientalis tetap saja berkembang subur di Indonesia dengan munculnya pemikira sekularisme atau sekularis nurkholis pada tahun 1970-an. Yang mengusung ide"menolak partai politik sebagai wahana perjuangan Islam"
Pemikran Nurholius Madjid ini sebenarnya sama dengan kebijakan Islam Politik pada orla (suekarno) dan orba (Sueharto), yaitu mempersempit ruang lingkup gerak partai Islam dan secara tegas menetang gagasan negara Islam. Bedanya, suekarna dan Sueharto beroprasi dalam kebijakan poltik pemerintahan Indonesia, sedang Nurkholis lebih pada tataran teori, wacana yang di kembangkan di tenganh masyarakat intelektual khususnya mahasiswa.namun keduanya memiliki akar idioligi serta orientasi yang bergandeng mesra dengan Zionis, orientalis Barat, untuk menghancurkan Islam.
Dalam perspektif cak Nur, kekuatan politik Islam tidak identik dengan partai Islam. Apalagi bila lembaga atau intitusi politik itu di jangkiti, korupsi, koncoisme, nepotisme dan konflik sesame elit partai yang tidak berkesudahan. Selain itu Cak Nur sama dengan suekarno dalam menilai, bahwa konsep Negara Islam itu tida ada dalam sejarah Islam, tidak di dukung dengan nas-nas Al Quran serta sebuah bentuk Apologia ummat Islam terhadap ekspansi pemikiran dan politik Barat terhadap dunia Islam selama berabad-abad. Kelompok pembaharu ini sering di sebut juga dengan Istilah "new Modernism" yang di pelopori oleh Fazlurrahman
dari Pakistan. Dan di usir dari negaranya karena pemikiranya yang di anngap sesat oleh para ulama. Sebab Nurkholis membuat stetment yang mengagetkan Ummat Islam Indonesia dengan "Islam Yes Partai Islam No".
Konflik tentang partai Islam ini Selama dua hari (14-16/4/2004), koran Pikiran Rakyat memuat polemik tentang: apakah Tuhan berpartai? Polemik ini dimulai oleh tulisan Yesmil Anwar yang berjudul "Tuhan Tidak Berpartai". Judul di atas sangat provakatif. Namun, sepertinya isi dan substansi yang tersimpan tidak sebesar judul yang diusung. Satu hari kemudian, M. Iman Indrakusumah menanggapinya dengan tulisan berjudul "Dalam Islam, Tuhan Itu Berpartai". Sebuah tanggapan, yang menurut saya, tidak lebih baik dari tulisan Yesmil.
Sederhana sekali ide dan kesimpulan akhir yang diambil Iman Indra kusumah dalam tanggapan itu. Ia memulai paparannya dengan merujuk pada akar kata dari bahasa Arab "hizb" yang bermakna 'partai' juga. Dalam Alquran, kata itu seringkali disandingkan dengan kata "Allah". Artinya, partai Tuhan itu ada. Maka jelas-jelas Tuhan berpartai. Ia menulis kesimpulannya sebagai berikut: Jadi, partai yang termasuk hizb Allah adalah partai yang berasaskan akidah Islam; yang mengambil dan menetapkan ide-ide hukum-hukum dan pemecahan yang Islami; metode operasionalnya adalah metode Rasulullah saw. Merekalah yang akan mendapat keberuntungan.
Di Indoseia muncul Nurcholis Madjid (lahir 1939, murid dari Fadzlur Rahman di Chicago) yang mempelopori gerakan Sekularisasi dan Liberalisasi pandangan terhadap ajaran Islam bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid.
Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaharuannya sejak tahun 1970-an. Pada saat itu ia telah menyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: "Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh di atas dasar paham kenisbian (relatifisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama akan memutlakkan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama"
Kemudian lahirlah apa yang disebut Jaringan Islam Liberal (JIL). Lahir di Jl. Utan Kayu 68 H Jakarta. Bermula dari diskusi maya di mailing list yang didirikan 8 maret 2001. Pemrakarsanya, sejumlah peneliti atau jurnalis, anak-anak muda. Mereka aktif di Paramadina, NU, dan IAIN Ciputat, semisal Ulil Abshar Abdalla, Ichan Loulemba, AE. Priyono, Luthfie Asysaukanie, A. Rumadi, Sugeng, A. Bakir Ikhsan, Nirwan Akhmad Arsuka. Komunitas di lapis duanya, banyak pula yang mantan aktifis kelompok studi tahun 1980-an, yang kemudian sekolah sampai S3 di AS. Komunitas tersebut makin mengkristal, mereka kemudian mengorganisasikan diri dalam wadah JIL, dengan semboyan, "Menuju Islam yng membebaskan".
latar belakang berdirinya, karena kecemasan berlebihan atas maraknya gerakan Islam militan. Seperti tertulis dalam "Profile" www.Islamlib.com , dinyatakan bahwa lahirnya JIL sebagai reaksi atas bangkitnya apa yang ia namakan "ekstrimisme, fundamentalisme dan Radikalisme". Istilah dan wacana Islam Liberal sendiri tidak lebih merupakan hasil "copy paste" dari Islamic Liberalism (Cicago 1988) karya Leonard Binder, dan Liberal Islam (Oxford 1998). Hasil editan Charles Kurzman. Buku-buku dari dua Islamolog ini, sempat menjadi bahan diskusi di sederetan kampus di Indonesia. Ketika yayasan Paramadina menerbitkan edisi buku terjemahan Kurzman Tahun 1999 (sebagai hasil kerjasama dengan Yayasan Adi Karya Ikapi dan The Ford Foundation), semakin menjamurlah perbincangan seputar "Islam" gaya baru ini. istilah "Islam" Liberal dipopulerkan oleh Ali Asghar Fyzzee, intelektual muslim India pada 1950-an. Kurzman sendiri mengaku mengambil istilah itu dari Fyzzee .
Meletakkan istilah "Liberal" terhadap Islam adalah perang tendensius secara Teologis, Idiologis maupun Metodologis. Sebab Liberalisme sendiri muncul pada masa Renaisance yang menjadi pemicu terjadinya revolusi Perancis dan Amerika. Yang menjadi fokus dalam Liberalisme adalah kebebasan individual. Kekuasaan negara harus dipisahkan dari intervensi agama Nashrani (Gereja). Liberalisme mencetuskan Liberalisasi Politik (John Locke), ekonomi (Adam Smith, David Ricardo), dan pemikiran (Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Thomas Paine). Pada kutub yang sama kebebasan beragama (Liberal religius) mendudukkan para pemeluk dan individu-individunya sebagai pemegang otoritas final dalam menilai teks-teks sumber suci agama .
Ulil Absar Abdallah Cs dan JIL
Jaringan Islam liberal (the Liberal Islam Network) adalah perpanjangan tangan dari gerakan orientalisme Barat di Indonesia. Hal itu terlihat dengan pemikiran serta idiologi yang diususng yang tidak jauh beda dengan pemikiran orientalis Barat seperti Jhon Hick, Harvey Cox, Snousk Hugronje uyang sebelumya sudah di wacanakan oleh Dr. Harus Nasution dan Nurkholis Madjid pada tahun1970-an. hanya saja JIL lebih canggih dengan mengatasnamakan Islam, sehingga lebih terkesan Islami dan lebih familier di negeri Indonesia yang bermayoritaskan muslim. Padahal pemikiran yang di usung adalah kebebasan berfikir, sekularisme, Pluralisme, dekontruksi Syariat Islam, yang juga persis sama dengan apa yang di koarkan oleh orientalis barta Untuk mengahncurkan Islam, Cuma mungkin mereka (JIL) tidak menyadari hal itu. Atau mungkin juga menyadarinya tapi melakukannya dengan beberapa alasan secara konteks syar`i dan realitas individu.
Semenjak berdirinya JIL pada tahun 2001, kecendrungan sebagian intelektual Muslim untuk mengkritisi Islam semakin gencar dengan litelatur warisan intelektum Muslim sebelumya seperti, Nasr Abu Zaid, Al Arkoun, Ali Harb, Abid Al Jabiry, Thoha Husain, Hasan Hanafi, Nurkholis, Harun Nasution dan lain-lain. Yang mana sebagai besar intelektulis-intelektulis ini tidak di terima pemikirannya oleh ulama-ulama di negaranya bahkan di usir karena dianggap kafir karena pemikirannya itu jelas-jelas bersebrangan dengan syar`Im bahkan menyerang sendi-sendi Islam itu sendiri.
Sangat menarik untuk dikaji kegiatan yang di lakukan oleh JIL untuk mencapai visi dan missi mereka. Kegiatan itu seperti diskusi intensif, menulis, menerbitkan buku-buku, sebagai reaksi terhadap munculnya Islam radikal, Islam Fundamentalis, Islam teroris di Indonesia. Seperti yang di tulis dalam Wikipedia Bahwa: "Jaringan Islam Liberal (JIL) or the Liberal Islam Network is a loose forum for discussing and disseminating the concept of
HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Liberal_Islam" \o "Liberal Islam"
Islamic liberalism
HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Indonesia" \o "Indonesia"
Indonesia
, the largest
HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Muslim" \o "Muslim"
Muslim
country in the world. One raison d’etre of its establishment is to counter the growing influence and activism of
HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Militant" \o "Militant"
militant
HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/Radicalism" \o "Radicalism"
radical
Islam in Indonesia. The "official" description of JIL is "a community which is studying and bringing forth a discourse on Islamic vision that is tolerant, open and supportive for the strengthening of Indonesian democratization."
Dari tujuan JIL ini bisa di pahami bahwa Islam radikal, Islam Fundamentalis, adalah Musuh besar JIl di dalam memperjuangan kebebasan berfikir menuju teologi pembebasan, sekularisme, dan pluralisme agama, samapi kepada pembenaran homoseksual. Padahal Islam radikal, Islam Fundamentalis yang dituduhnya itu belum didefinisikan secara benar dan jelas. Jhon L. Esposito (ilmuwan Politik) mengartikan Fundamentalis kepada Tiga bentuk dan definisi. Pertama, fundamentalis adalah orang-orang yang menghendaki agar kembali ke-kepercayaan dasar, atau dasar-dasar suatu agama. Dalam yang terbatas, hal itu dapat mencakup semua orang Islam yang menerima Al-Quran sebagai Firman Tuhan dan sunnah sebagai sebagai model hidup yang normative. Kedua, Fundamentalis (me) yang pengertiannya dipengaruhi oleh protetanisme Amerika. Dalam Webster`s Ninth New Collegiate Dictionary, fundamentalisme diartikan sebagai sebuah gerakan protetanisme abad ke duapuluh yang menafsirkan Injil secara literal sebagai hal yang fundamental bagi kehidupan dan ajaran Kristen. Disini Istilah Fundamentalis adalah mengandung hinaan dan bermakna statis, kemunduran dan eksrim. Ketiga, kata Esposito, kata fundamentalis kerap di sejajarkan dengan aktifitas politik, ekstrimisme, fanatisme, terorisme, dan anti Amerikanisme.
Tiga arti dan defini Esposito tentang Fundamentalis (me), jariangan Islam Liberal (JIL) belum mengambil sikap yang tegas dan jelas, Fundamentalis Mana yang di tentangnya? . sikap ambigu JIL ini dimaanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menghancurkan Islam Dari dalam diri ummat Islam itu sendiri. Sehingga tidak heran jika arti dan dfinisi Fundamentalis Menurut JIOL adalah pada definisi yang ketiga. Hal itu telihat jelas dari missi JIL yang mendukung matia-matian modernisasi dan demokrasi, kebebasan, Ala Barat, bahkan dalam salah satu Artikel Ulil Absar, Ia berkata "kita perlumeniru Barat"
. Didalam artikelnya itu Ulil tidak mengklasifikasi apa saja yang perlu ditiru dari Barat, bagi Ulil semua yang datangnya dari Barat adalah baik dan benar dan perlu ditiru, modrnisasi Barat adalah solusi untuk kemajuan Islam, demokrasi Barat adalah sistem pemerintahan terbaik, plurlisme agama adalah teologi yang mesti diyakini, hermeneutika adalah interpretasi alternatif pengganti kejumudan tafsir klasik. Bagi Ulil Pemisahan Agama dan politik (sekularisme) adalah jalan keluar yang terbaik di tengah pluralitas masyarakat Indonesia yang heterogen, sebab itu Ulil menentang habis-habisan slogan Ikhwanul muslimin di mesir "Al Islam Huwal Hall" atau "Al Islam Huwal Badil" (Islam adalah solusi, Islam adalah alternative). Bagi Ulil Slogan itu hanya sebuah tipuan.
Ormas mana?
Selain kami ada juga ormas Islam yang menerima dana dari TAF program Islam and Civil Society. Mereka itu adalah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Solo, dan Departemen Agama. Dana yang diterima JIL jauh lebih kecil daripada mereka.
Ormas-ormas tersebut dipandang menggulirkan isu yang sejalan dengan JIL?
Tidak juga, justru bermacam-macam. Ada isu toleransi, kesetaraan gender, demokrasi dan pluralisme. TAF menjalin kerjasama dengan Yahudi dan CIA. BerartiJILsesungguhnya menjalankan agenda mereka?
Ini cara berpikir orang yang dibingkai dalam kerangka berpikir teori konspirasi. Seolah ada agenda besar yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Perlu Anda tahu bahwa orang-orang kaya, baik Yahudi maupun non-Yahudi, punya tradisi yang sama, yaitu menyumbangkan sebagian kekayaannya kepada kegiatan sosial. Mereka akan dibebaskan dari pajak dan memperoleh reputasi lebih tinggi karena telah berbuat baik untuk masyarakat. Hal ini sangat menakjubkan dibanding dunia Islam. Apa yang dilakukan TAF dan Yahudinya itu tidak akan bermasalah?
Saya tidak keberatan mendapatkan dana dari Yahudi atau CIA. Memangnya kenapa? Sepanjang mereka tidak mempengaruhi kebijakan internal organisasi saya dan selamasaya tidak diintervensi, tak masalah buat saya.Tetapi tentu saja merekatidakakan memberi bantuan secara cuma-cuma kan? Sudah tentu mereka akan mendanai kegiatan-kegiatan yang punya satu visi dengan mereka. Tidak mungkin mereka mendanai kegiatan organisasi yang bersifat fanatisme agama. Kami, seperti JIL, NU, IAIN, Muhamammadiyah, juga tidak mungkin mencetak buku-buku Wahabi walau diiming-imingi oleh, misalnya, Arab Saudi. Kami punya ideologi tertentu, dan kami tidak bisa menerima uang dari orang yang tidak seideologi dengan kami. Kalau Pemerintah Arab Saudi akan membiayai kegiatan JIL, fine (baik). Tapi kalau mereka menyuruh saya untuk mengadakan kegiatan yang anti Islam liberal, anti Islam progresif, menyebarkan Islam yang konservatif, ya saya tidak mau. Pendapat Anda seringkali kontroversial dan berbeda dengan para ulama. Kenapa begitu?
Kontroversi itu bukan tujuan saya. Kontroversi itu akibat yang tak terelakkan. Saya mengemukakan pendapat tentang Islam yang berbeda dengan orang banyak. Otomatis, kalau pendapat Anda berbeda dan perbedaan itu sangat prinsip, yaitu agama, maka sudah tentu akan menimbulkan kontroversi. Jadi, kontroversi itu akibat, bukan sebab. Secara jujur saya katakan, pandangan-pandangan saya itulah iman saya tentang Islam. Saya merasa tenteram dengan pemahaman saya itu. Kalau boleh tahu, bagaimana dengan kehidupan keagamaan Anda sehari-hari?
Soal shalat, saya tetap shalat dengan cara seperti orang Islam yang lain. Soal puasa, saya tetap puasa seperti orang Islam lain. Karena bagi saya, soal ritual itu sudah selesai. Itu saya anggap bagian dari agama yang tidak perlu dipersoalkan. Saya merumuskan pandangangan yang liberal berkaitan dengan hal-hal di luar ritual.Pandangan tentang nikah beda agama, bagi saya, itu bukan ritual. Anda setuju dengan pernikahan beda agama. Bagaimana jika suatu saat pernikahan beda agama ituterjadi pada anak Anda? Saya harus menanggung, karena itu pandangan saya. Meskipun berat. Jadi, kalau saya ditantang seperti itu, secara rasional saya akan menyatakan boleh. Tetapi secara hati saya tidak mau munafik, saya mengatakan berat. Tetapi itu manusiawi. Ada beberapa lembaga yang punya visi yang sama dengan JIL, seperti MajalahSyir'ah, ICRP, Radio 68H, dan lainnya. Ada hubungan apa? Mereka teman seperjuangan kami. Dalam LSM itu ada yang disebut culture network (budaya jaringan). Jaringan ini bukan hanya di Indonesia, tapi global. Kami punya teman-teman di luar negeri yang punya visi yang sama, dan kami saling share (berbagi).* (AhmadDamanik/Hidayatullah)
Inilah pengakuan tokoh utama JIL. Penganakuan Ulil ini memang terkesan Berani dan bangga, karena ia menganggap JIL itu sebuah kebenaran, kebenaran yang tumbuh dari keyakinnanya tantang Islam. Dan ia menganggap itu sebagai khazanah intelektual dan keyakinan setiap orang. Setiap orang bebas menafsirkan Islam itu sesuai dengan kehendak dirinya. Bahkan di luar Islampun bebas menginterpretasikan Islam sesuai dengan cara pandang mereka.
Masalah dana, ulil sebenarnya bukan tidak tahu di balik dana yang di sodorkan oleh TAF, bukan tidak mengerti konsekwensi logis dari sumbangan Barat terhadap JIL dan organisasi-organisasi yang lain yang telah di sebutkanya di atas. Tapi ada unsure kesengajaan bahkan mungkin keterpaksaan di balik konspirasi Barat. Hal itu bias kita lihat ketika ulil menjawab pertanyaan tentang pernikahan beda agama, dan jika hal itu terjadi pada anaknya. Secara hati nurari Ulil sebenarnya merasa keberatan tapi karena konsekwensi logis dari pemahamn Pluralisme agama yang di usungnya, maka dengan berat hati ia menerima resiko itu. Ini membuktikan bahwa Islam Yang dibawa oleh Ulil Dan JILnya hanya sebuah wacana pemikiran yang tidak sejalan dengan hati Nurani mereka sendiri. Lalu Apakah konsekuensi sebagai muslim hanya dalam tataran wacana dan pemikiran? Hal ini perlu kembali kepada kalimat Tauhid lailaha Ilaha Illah, pengakuan Allah sebagi Tuhan, dan Allah hanya mengakui satu agama yang benar yaitu Islam.
Barangkali sebagian orang belum percaya bahwa Ulil dan JIL-nya asalah mata rantai dari pemikiran orientalis Barat, dengan bukti-bukti yang telah disebutkan di atas. Karena itu mereka tetap saja mendukungnya dengan mengusng pemikiran yang diperjuangankan oleh JIL. Ironisnya, mereka menganggap pemikiran yang di perjuangankan oleh JIL sebagai sebuah keyakinan yang diikuti oleh Ummat Islam, kayakinan bahwa agama itu sama karena menuju yang satu (pluralisme Agama), maka umat Islam tidak boleh menganggap bahwa agamanya yang paling benar. Dalam keimanan orang-orang JIL nikah beda agama tidak dilarang dalam syariat Islam, larangan kawin beda agama, antara perempuan Islam dengan Laki-laki non-Islam sudah tidak relevan lagi. Bagi Ulil Dan JIL-nya, politik dan agama tidak ada kaitannya dalam struktul sosial dan ketatanegaraan. harus di bedakan mana urusan Politk dan mana urusan agama. Bagi Ulil dan JIL-nya Hermeneutika adalah alternatif dalam penafsiran Al-Quran di era globalisasi dan kefakuman tafsir ulama klasik.
Pandangan JIL ini di buat dalam bentuk formulasi teologi Negara sekular seperti yang di rumuskan oleh Denny JA. Katanya "Saya menyusun empat prinsip dasar bagi landasan dari teologi negara sekular. Prinsip itu adalah sebagai berikut:
1). Negara nasional adalah evolusi tertinggi dari komunitas politik.
2). Dalam negara nasional, warga negara berasal dari agama yang beragam.
3). Ilmu pengetahuan dan manajemen modern lebih mendominasi day to day politics.
4). Islam hanya terlibat sebagai sumber moralitas bagi aktor pemerintahan (bukan sistem pemerintahan) dan moralitas bagi dunia publik.
Dalam rumusan Teologi Negara secular yang di buat oleh Denny JA ini tentu saja sangat merugikan kedudukan Islam, bahkan melumpuhkan Islam itu sendiri dalam beraktivitas, karena Islam menurutnya hanya pada tataran Moralitas pemerintahan bukan pada system pemerintahan, bukan dalam system politik kenegaraan, atau hukun Negara. Bagi Denny JA, system modern ala Barat perlu dikuti walau Ia bertentangan dengan Islam, karena Islam baginya tidak bias mengatur hal-hal yang berhubungan dengan social dan kenegaraan. Sungguh aneh memang, seorang yang mengaku Islam tapi justru tidak mengakui intergralitas Islam itu sendiri, (syumulitul Islam). Muslim gaya apa itu..?
Dalam anlisa Ulil Absar tentang kemunduran Islam saat adalah disebabkan karena ikut campurnya Agama dalam urusan politik dan Negara, engganya ummat Islam mengikuti modernisasi Barat. Lalu Ulil pun merumuskan jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersolkan cara kita menafsirkan Agama. untuk menuju ke arah itu, katanya, kita perlukan beberapa hal. Pertama, penapsiran Islam yang non literal, substansial, kontekstual, dan sesui dengan denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah. Kedua, penapseiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat dan mana yang merupakan nilai fundamental. Ketiga, ummat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai masyarakat atau ummat yang terisah dari golongan yang lain. Ummat manusia adalah keluarga universal yang di persatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan bukan berawanan dengan Islam. Larangan kawin beda agama,dalama hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non Islam, sudan tidak relevan lagi. Al –qur an sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu. Keempat, kita membutuhkan struktur social yang denagn jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi sementara pengaturan keidupan public adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi.
Penutup
Gaya berfikir seperti ulil ini sebenaranya, cara befikir yang tidak percaya diri (PeDe) dan tidak kritis. Terhegemoni, terkontaminasi dengan pandangan hidup Barat, perasaan inferior dengan superioritas Barat. Kegamunnya terhadap Barat, membuat kehilngan jati dirinya sendiri. Sehingga dengan ketidakberdayaanya menhadapai dominasi Barat ini, yang paling gampang adalah menyalahkan Islam dan dirinya sendiri. Wal hasil, pijakan berfikirnya adalah ketidak pastian, senantiasa berubah, sesuai dengan keperluan manusia dan perkembangan Zaman. Yang ujung-unjungnya sampai pada sebuah kebingungan yang tidak dapat lagi membedakan antara benar dan salah, sehingga muncullah teori "relativitas kebenaran" , tidak ada standar kebenaran.
Islam sebagai agama yang dianutnya tidak lagi memberikan petunjuk hidup baginya, Al-Quran bukan lagi sebagai way Of life, Nabi ddi sejajarkan dengan pemikir-pemikir Barat yang lain. Begit pula interpretasi Islam menurut Islam liberal di Indonesia yang di pelopori oleh Ulil Absar Abdallah, Luthfi Assyaukani, Denny JA. Dan rekan-rekannya yang bermula pada tahun 2001 di utan kayu jati sebagai tempat dialog intesif. Wallahua’lam
Dr Muhammad sayyid Ahammad Syahatah, Al Istisyraoq, Fakultas Usuluddin dan Dakwah Al Azahar University 2003 Hlm 13
Lihat Jhon M. Echol dan hasan Sadhili, kamus Inggris Indonesia
Ibid, Dr. Muhammad Sayyid Ahmad Syhatah, …..
Dr Hussai Bathh, Anotomi orientalime, menara Kudus Jakarta, 2004 Halm 19
Oxford Advanced learner Dictionary, Oxford University press 1995 hlm 818
Edaward W. Said, Orientalisme, penerbit pustaka, Bandung. 2001, hlm 1
Ibid edawar W. Said Orientalisme...
Musthafa Ibrahim al Damiry, Al Tabsyir wal Istiyroq, kulliyah usuluddin wa Al Dakwah Zagazig 2004 hlm 102
Ibid, Anotomi orientalisme…… hlm 36
http:/www.irib.ir/worldservice/melayuRADIO/01misionaris.htm#provinsi%20BUSHER
Edward W. Said…… Hlm 48
Husain Bathh, Anotomi Orientalisme Hlm 48
Adnin Armas M.A, metodologi Bible dalam Studi Al-Quran, pt. Gema Insani, 1426 H. / 2005
Baca pemikiran mereka, Adiyan Husaini, Wajah peradaban Barat
Dr. Yusuf Al Qordhowi, Al Islam Wal Ilmaniyah, maktabah Wahbah Kairo Mesir, 1997, hlm- 22
Ibid Dr. Muhammad Ahmad Syahath…..
Majalah ISLAMIA, Vol II No. 3 Desember 2005 Hlm 5
Ibid anotomi oreintalisme…….. hlm 28
Lihat AL IKHWAN. NET, Rabu, 07 Desember, 2005
Ibid, Anotomi Orientalisme……. Hlm 20
Ibid Anotomi orientalisme…… Hlm 22, dan utnuk lebih mengetahi ungkapan-ungkapan Cromer terhadap Mesir khusunya dan Arab (Islam) umumnya bisa di baca Edwar W. Said, Orientalism.. Hlm 49-60
Ibid Edawr W. Said, Orientalisme,….. Hlm 51
Ibid Majalah ISLAMIA……… Hlm 5
Ibid ISLAMIA…….
Ibid Islamia……..
Op-set, hlm 42
ISLAMIA, THN I NO. 4 / JANUARI-MARET 2005, hlm 48
Edwrad W. Said………hlm 204
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1521&Itemid=60
Majalah Sabili, No, 9 Th. X 2003 hlm 83
Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat, gema Insani, Jakarta 2006, hlm 73-74
Ibid hlm 88
Ibid hlm 63
Firdaus Syam, MA, Amien Rais,pustaka Al Kautshar, 2003, hlm 171
http://ahmadshiddiq.blogspot.com/2004_11_01_ahmadshiddiq_archive.html
No comments:
Post a Comment