Friday, April 17, 2009

ALUMNI MESIR KRISIS METODHOLOGI; BENARKAH?

Sekarang ini, bagaimana Bapak melihat kondisi Masisir?
…….. Mahasiswa al-Azhar kaya dalam bahan dan materi tapi lemah dalam hal teori dan methodologi

Ada rencana untuk pembinaan methodologi untuk Masisir sini langsung?
…….. Mahasiswa lulusan al-Azhar yang datang di UGM saya katakan methodologinya “kurang canggih” ……….. karena saya melihat Barat begitu cepat menyelesaikan persoalan karena mereka menguasai teori dan methodologi.. (baca Terobosan 1 Maret 2009 hlm, 12)

Wacana krisis methodology alumni Mesir tetap saja menyebar hingga hari ini, bahkan beberapa alumni Mesir sendiri mengamini wacana yang berkembang ini dan merasa inferior dengan alumni barat yang konon menguasai methodologi dalam menyampaikan pesan agama. Hal ini tentu saja akan merusak reputasi mahasiswa Mesir khususnya dan alumni Timur Tengah umumnya di tengah masyarakat Indonesia yang terkesan rigit, tekstual, kolot, fundamntalis. Sementara alumni Barat dianggap sebagai moderat, ingklusif, rasional, kontekstual yang lebih diterima oleh masyarakat plural Indonesia.
Wacana ini tentu saja bukan muncul secara kebetulan, akan tetapi timbul dari istilah yang dibuat secara sistimatis yang bersandarkan pada pandangan hidup tertentu.
Jika diteliti secara kritis dan di diagnosa secara ilmiah, wacana ini pada dasarnya tidak berlandaskan pada realitas fenomena dan argumentasi logis. Walaupun demikian tetap saja Barat, alumni-alumni Barat bidang Islamic studies, bahkan alumni Mesir dan timur tengah yang terpengaruh menyebarkan virus methodology barat dalam ranah Islamic studies.
Sebagai mahasiswa timur tengah tentu memiliki interpretasi tersendiri dengan persepsi yang diwacanakan oleh mereka. Sebab itu muncul pertanyaan dalam pikiran penulis, krisis metodologi apa yang di maksud ?. Pertanyaan ini penting untuk diajukan sebagai langkah awal dalam menetukan jawaban “benar”tidak”nya sebuah persepsi yang muncul.
Metodologi dari bahasa inggris methodology adalah sebuah istilah yang memilki makna principles and methods of a particular branch of knowledge or discipline, atau a system of methods used in particular field. Dan didalam bahasa Arab istilah ini kadang diarabkan menjadi al-MîtÔdûlujiyâ dan kadangkala diterjemahkan dengan Manhajiyah atau Ilmul Manhaj yang memilki pengertian seperti yang didefinisikan dalam buku mustholahât al-Fikri al-Hadîst adalah sistem pemikiran dan analisa yang digunakan untuk meneliti seluruh cabang ilmu pengetahuan. Definisi ini meliputi pengertian yang sama dari dua definisi sebelumnya.
Jika ditinjau dari sejarah penggunaan istilah methodology atau manhajiyah didalam cabang lmu pengetahuan Islam sebenarnya tidak asing lagi bagi intelektual yang bergulat di dunia turath, karena istiah ini telah digunakan oleh beberapa ulama klasik seperti, Imam Syafi`I dalam ilmu Fiqh, Ibnu Sina dalam flsafat dan beguitu juga ibnu Rusd. Walaupun saat itu belum menjadi sebuah istilah yang mapan dalam cabang ilmu pengetahuan Islam, karena istilah ini mejadi mapan sekitar abad ke 18 dan 19 M.
Sebab itu perlu dicermati penggunaan istilah methodology yang telah di gunakan oleh ulama Muslim klasik dalam cabang ilmu pengetahuan Islam, dan methodology yang dimaksud oleh Barat dalam menganalisa seluruh cabag ilmu pengetahuan, dan dalam Islamic studies khusunya.

Istilah methodology ini juga digukan dalam filsafat mekanika, yang pada mulanya istilah ini di barat bemakna nilai filsafat sebagai faktor kajian yang diikuti oleh kaidah pemikiran dan analisa tertentu. Sekitar abad ke 20 M. maknanya menjadi bergeser lebih dekat dalam kontek filsafat teori, yang membentuk atau membangun seluruh pemikiran yang meliputi ruang linkgup seluruh fakultas dan bidang dari seluruh ilmu pengetahuan. Dalam bahasa lain bahwa methodology adalah sebuah sistem atau framework berfikir untuk mengarahkan sebuah analisa tertentu.(lihat mustholahât al-Fikri al-Hadîst jild II).
Dari penjelasan diatas, menimbulkan pertanyaan, kalau begitu mtohodoogi apa yang digunakan oleh Barat dalam mengkaji dan menganalisa cabang Imu pengetahuan Islam?
Sebelum penulis menjawab pertanyaan diatas, alangkah baiknya kita mengetahuai tereih dahulu landasan dasar atau pijkan dari methodology yang dibangun dalam menganalisa seluruh cabang ilmu pengetahuan, khususnya terhadap cabang ilmu pengetahuan Islam. hal ini sangat penting, karena berhubungan dengan pandangan hidup sekaligus cara pandang.

Pandangan hidup sebagai landasan dasar methodology

Methodology apapun yang dibangun dalam setiap cabang ilmu pengetahuan sangat tidak tidak terlepas dari pandangan hidup apalagi yang berkaitan dengan cabang ilmu-ilmu Islam. Dan pandangan hidup tentu akan mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap sesuatu.
Pandangan hidup bersumber dari beberapa faktor yang dominan dalam kehidupan. Faktor itu bisa jadi berasal dari kebudayaan, filsafat, agama, tata nilai kemasyaraktan, atau lainya. Dan dunia barat semenjak abad modern pandangan hidup dibangun atas dasar filfasafat. filasafat yang semata mengagumkan rasionalitas, dengan itu pada abad modern akal barat disebut dengan `akal modern` (modern mind). Yang pada intinya abad ini adalah state of mind, atau penerapan cara berfikir rasioanal kedalam seluruh aspek kehidupan yang akhirnya bermuara menciptakan masyarkat rasional (ratinal society), yaitu suatu masyarakat yang segala kegiatannya termasuk agama dikontrol oleh akal. Dan elemen penting selain rasionalisasasi pada abad ini adalah sekularisasi yang meletakan agama dan Tuhan secara sentral hanya terbatas pada para teolog sedangkan para filosof lebih tertarik kepada sains atau dalam basaha yang sering kita dengar da` mâ li kaisar li kaisar wa mâ lillah-lillah

Pada abad post-modern yang bermula pada abad ke 19, asas pandagan hidup Barat bergeser kepada pengingkaran terhadap salah satu cabag ilmu filasafat, yaitu filsafat metafisika adalahTeori filasafat yang mengakaji sebab dibalik realitas yang wujud (Nazriyatu as-Sabab mâ warâ`a at-Thobî`ah). Dan akal post-modern (post-modern mind) adalah pengingkaran terhadap pemkiran metafisis yang berimplikasi pada pengesampingan terhadap doktrin agama dan kematian Tuhan.

Islam sebagai agama memiliki pandangan hidup yang berbeda dengan pandangan hidup Barat dan agama-agama lain. Pandangan hidup itu disebut oleh beberapa pemikir Islam dengan menggunakan istilah yang berbeda seperti al-Maududi mengistilahkannya dengan Islâmi Nazariât, Sayyid Qutb mengistilahkannya dengan at-Tashawwur al-Islâmi, Naquib al-Attas dengan Ra`yatu al-Islâm lil wujûd. Semuanya memiliki makna yang tidak jauh dari pandangan hidup Islami.
Jika dapat diringkas karaktersitis pandangan hidup menurut beberapa intelektual Muslim diatas, sekaligus yang membedakan antara pandangan hidup Islam dan pandangan hidup lainnya adalah: pertama, ia bersumber dari wahyu Allah. Kedua, berdasarkan konsep agama (ad-Dîn) yang tidak terpisah dari Negara dan ketiga, kesatuan antara spritiual dan material.
Landasan pandangan hudup Islam dan barat tentu sangat jauh berbeda. Islam memandang alam dan segala aktiviatasnya dengan konsep syumul (komprehensif) sedang barat memandangnya secara parsial (juz`i). Islam memandang Islam sebagai agama yang sempurna dengan konsepnya sendiri yang komprehensif, sedang barat memandang Islam yang sempurna dengan landasan filasafatnya yang parsial.
Perbedaan padangan hidup hidup berimplikasi pada perbedaan cara sudut pandang (wijhatu an-Nazr), fremawork berfikir serta methodelogi yang dibagun dalam menganalisa cabang ilmu pengetahuan secara global dan branches of Islamic studies secara khusus. Karena itu methodology yang dibangun oleh ulama Salafusholeh dalam cabang ilmu pengetahuan apapun dan Islam khususnya berlandaskan pada pandangan hidup Islam (Islamic worldview) sehingga kaedah, framework berfikir yang dibangun menghasilkan methodology Islami pula. Sebab itu tidaklah ojektif jika cabang ilmu pengetahuan Islam menggunakan methodology yang dibangun oleh pandangan hidup barat yang berlandaskan pada akal modern (modern mind) dan akal post-modern (post modern mind).
Sebab itu tidak heran sebahagian pelajar muslim yang belajar Islamic studies di barat baik materi yang disugukan mapun menthodology yang digunakan mengandung sejumlah kerancuan dan tidak-obyektif dan bias dalam menjelaskan Islam. Hal itu sengaja dilakukan barat agar Islam hancur dengan ummatnya sendiri. Ini bukan wacana, tapi sebuah realitas yang terjadi hari ini. sebab itu penulis ingin menguak methodology yang digunakan barat dalam mempelajari cabang ilmu-ilmu pengetahuan islam, sebagai jawaban dari pertanyaan sebelumnya, selain itu agar kita sebagai mahasiswa Islam Mesir dan Timteng kritis dengan munculnya wacana yang tidak bertanggung jawab.

Methodology Barat dalam mengkaji Islamic studies

Mengkritik methodology kajian orientalis terhadap cabang ilmu pengetahuan islam sangat penting, hal itu karena apa yang mereka lakukan bukanlah atas dasar kajian murni ilmiah, malainkan terdapat motif-motif tertentu, diantaranya seperti motif Agama, politk, ekonomi yang kemudian menjadi kolonialisme.
Dalam kajian Islamic studies di barat secara umum dimulai dengan keraguan (hesitancy). Dimana segala sesuatu harus berdiri diatas keraguan kemudian dengan pendekatan kritik (criticsm).semuanya harus letak dalam diskursus kritis ( critical discourses). Dan yang ketiga, dengan pendekatan nalar filsafat (natural existence philosophy). dari ketiga pendektan ini tentu hasilnya akan melahirkan keraguan pula.
Sebagaia contoh methodologi kajaian orentalis Barat terhadap teologi Islam. Dimulai dari ketidak percayan terhadap Tuhan (atheist). Kalaupun percaya naskah (kitab) Tuhan itu harus di kritik (textual criticms), kritik terhadap sumber karya naskah tersebut (source criticism), kritik terhadap sejarah naskah (Historical Criticism), melalui pendekatan filsafat dan harus sesuai dengan konteks sejarah pemikiran manusia.
Methodology kajian orientalis terhadap al Quran dimulai dari keraguan bahwa seluruh naskah al Quran itu tidaklah sempurna dari Allah Swt, bahkan statusnya sama dengan biblem sehingga pendekatan kajiannyapun menggunakank kritik bible (biblical criticism). Pelopor penerapan methodology ini adalah Theodore Noldek, Edward Sell, Pendeta Al-phonse mingana, Arthur Jeffery dan lain-lain. Dan pendekatan lain yang dilakukan adalah pada methodology interpretasi al-quran yang telah dilakukan oleh para mufassirin menurut mereka tidak sesuai dengan konteks zaman dan keperluan manuasia, sebab itu methodology hermeneutika al-quran adalah sangat tepat sebagai solusi altermatif.
Dalam kajian Hadsit, orientalis Barat memulai dengan mempersoalkan kedudukan Hadist dalam Islam, kemudian meragukan sumbernya yaitu Nabi Muhammad Saw, meragukan sanadnya, dimana seperti hadist Riwayat Bukhari dan Muslim tidaklah semuanya shohih dan di terima. Paling tidak sebagian dari hadist itu ditolak. Begitu pula keraguan terhadap matannya, yang dainggap hanya kumpulan anekdot yang menarik. Orientalis yang menekuni bidang ini seperti, Alois spenger, William Muir, Ignaz Goldziher, Alfred Guillaume dan yang lainnya.
Begitu pula methodology orientalis Barat dalam kajian sejarah Islam, lebih cendrung menonjolkan konflik yang muncul dalam kelompok-kelompok Islam setelah wafatnya rasulullah, sehingga yang terlihat hanya sederetan sejarah kelam Islam masa silam. Disamping itu manipulasi dan distorsi sejarah dilakukan agar generasi Islam masa depan buta terhadap sejarah Islam yang benar.

Kesimpulan

Wacana krisis methodology mahasiswa Mesir dan timteng menurut penulis adalah wacana yang tidak beralasan, karena seluruh cabang ilmu pengetahuan islam methdologinya telah di rumuskan oleh ulama salaf yang berasaskan padanganhidup Islami, dan methodology itu yang kita pelajari di mesir dan timur tengah umumnya. Sebagai contoh, para mufassir klasik telah menentukan methodology baku dalam menafsirkan al-Qur`an, dengan kaedah-kaedah yang telah di tetapkan, dan methodology tafsir tidak bisa disamakan apalagi diganti dengan methodology hermeneutika yang diusung barat. Karena pertama, pandangan hidup yang berbeda. Kedua, perbedaan sejarah (historical distinction)dan ketiga, perbedan sumber teks (the text source distinction) dan perbedaan dari teks itu sendiri.
belajar methodology Islamic studies di barat akan melahirkan keancuan berfikir dan kesimpulan mengambang. Maka tidak heran mereka yang belajar Islamic studies di barat baik materinya maupun methodologinya berfatwaa seenak dewe. hukum memakai jilbab bagi perempuan muslimah adalah produk budaya, homoseksual mubah, fiqh lintas agamapun muncul. Dan faham plurisme, liberalism, pluralisme akan menjadi legal dalam ranah Islamic studies.

Kalaupun krisis methodology yang dimaksud adalah kurangnya menguasai bahasa asing khsusnya istilah-istilah inggris (barat), atau art of presentation, penulis pikir hal itu bukanlah apa yang disebut dengan methodology, melaikan hanya sekedar instrument atau Fannul Khithobah (seni bahasa).


Wallahu a`lam