Sunday, January 20, 2008

SKETSA politik Umayyah

SKETSA PERGERAKAN POLITIK UMAYYAH PASCA RASULULLAH SAW WAFAT[1]

Oleh : Muhammad jamaluddin[2]

A. Pendahuluan ; Khulafa` Al Rasyidin

Pasca wafatanya Rasulullah Saw, tampuk pimpinan diserahkan kepada sahabat-sahabatnya tanpa menyebutkan nama yang akan menggantikan Beliau dalam rangka estafeta kepimimpinan untuk menjaga kesetabilan serta kemaslahatan kaum muslimin.

Pada saat Rasulullah meninggal, sahabat-sahabat dari kalangan Muhajirin sibuk mengurusi jenazah Rasulullah untuk dikuburkan, sementara sahabat-sahabat dari Ansor telah berkupul di saqifah bani saadah untuk membicarakan siapa yang akan menggantikan kepimpinan Rasulullah pasca kewafatannya tanpa melibatkan sahabat-sahabat dari Muhajirin..

Umar Ibnu Al khatab mendengar hal itu kemudian diinformasikannya kepada Abu Bakar, lalu keduanya menuju tempat pertemuan sahabat-sahabat dari kalangan Anshor. Dan setibanya mereka di Saqifah Bani Saadah sahabat-sahabat dari Anshor telah menentukan pilihan Saadah Ibnu Ibadah sebagai orang yang berhak menggantikan kepemimpinan Rasulullah, Sementara dari kalangan Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar dan Umar kurang setuju dengan kesepakatan sahabat-sahabatnya dari kalangan Anshor, lalu mengajukan argumentasi logis yang menunjukan bahwa sahabat dari kalangan Muhajirin adalah lebih berhak memegang tampuk pimimpinan utama dibanding dengan sahabat dari kalangan Anshor. Alasan itu dituangkan oleh Abu Bakar Assiddiq dalam persidangan itu yang dapat diringkas: Pertama, sahabat-sahabat dari kalangan Muhajirin adalah orang yang pertama menjustifikasi kebenaran risalah yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Saw sekaligus mengimaninya. Kedua, sahabat dari kalangan Muhajirin adalah orang yang paling pertama membela Rasulullah ketika menghadapi rintangan dan tantangan pada periode awal dakwah dilakukan. Ketiga, sahabat-sahabat Muhajirin adalah orang yang pertama menyembah Allah setelah dakwah Rasulullah disampaikan.

Namun demikian Abu Bakar tidaklah terlalu membagakan peran yang telah dilakonkan oleh Muhajirin dalam dakwah Rasulullah Saw, oleh karena itu Abu Bakar tidak menafikan peran penting yang diemban oleh sahabat-sahabat dari Anshor. Karena dua pertimbangan inilah abu Bakar memberikan solusi dengan tampuk pimpinan utama kepada sahabat dari muhajirin dan sahabat-sahabat ansor memegang pimpinan ranting (wuzara`).

Suasana persidangan menjadi hangat ketika salah seorang sahabat dari anshor Al Habab Ibnu Munzir dengan mengajukan solusi oposisi, dengan membentuk dua pimpinan utama disintegral. Dimana muhajirin memegang tanpuk pimpinannya sendiri begitupun Anshor.

Umar Ibnu Khatab yang juga hadir pada persidangan itu memberi tanggapan sekaligus penegasan bahwa tidak akan berdiri pemerintahan dan pimpinan secara bersamaan dalam satu waktu.

Situasi persidangan di Saqifah Bani Saadah semakin hangat, abu Ubaidah Ibnu Jarah berdiri sebagai poros tengah begitupaun sahabat Saad Abu Nu`man Ibnu Basyir memberikan nasehat kepada sahabat-sahabatnya dari kalangan Anshor agar tidak larut dalam perdebatan sehingga mengakibatkan perubahan sikap terhadap da`wah dan risalah yang dulunya menjadi penolong berbalik menjadi musuh. Sekaligus memberikan jalan keluar bahwa sahabat-sahabat dari kalangan Muhajirinlah yang berhak memegang tampuk pimpinan utama karena Nabi Muhammad Saw berasal dari Quraisy dan kaumnyalah yang lebih berhak untuk menggantikannya.

Abu Bakar Assidik merospon baik pendapat Saad dengan memberikan usulan konkrit menyebut Umar dan abu Ubaidah sebagai dua calon untuk dipilih dan disepakati. Kemudian memberikan kebebasan kepada sahabat-sahabatnya (anshor dan Muhajirin) untuk memilih diantara keduanya.

Umar dan Abu Ubaidah ternyata memiliki pandangan yang berbeda, dengan memberi respon balik bahwa yang berhak dari keduanya adalah Abu Bakar Assiddiq. Dan usulan itu disambut baik oleh seluruh anggota sidang pada saat itu, dari Muhajirin maupun Anshor, kemudian seluruh anggota sidang membaiat Abu Bakar sekaligus penyerahan tampuk pimpinan Islam kepadanya pada tahun 11 H.

Dari tahun 11 – 13 H Abu Bakar memikul amanah sebagai kahalifah. Dan sebelum Abu Bakar wafat, beliau mengusulkan agar Umar Ibnu Khatab yang akan menggantikan posisi beliau sebagai Khalifah. Maka Tepatnya tahun 13 H Umar dibaiat sebagai Khalifa kedua.

Semenjak kekhilafaan Umar Ibnu Al Khathab, kondisi politik internal berjalan dengan aman dan stabil , sementara percaturan politik eksternal mengalami perkembangan yang cukup signifikan seperti penetrasi dan pembukan Islam kebeberapa wilayah seperti, Plestina, Persia, Syam dan Mesir.

Pada tahun 23 H Umar Ibnu Al Khatab wafat tanpa menentukan pilihan mutlak yang akan menggantikan posisi beliau sebagai Khalifah. Hanya saja Umar memberi nama-nama calon alternatif untuk dipilih dan dimusyawarahkan oleh kaum Muslimin. Nama-nama Calon yang diajukan oleh Umar adalah, Ali Ibnu Abi Thalib, Ustman ibnu Affan, Zubai Ibnu Awwam, Tholhah Ibnu ubaidillah, Abdurrahman Ibnu Auf, dan Saad Ibnu Abi Waqas. Dan semuanya berasal dari muhajirin.

Pilihan para sahabat saat itu jatuh pada Ustman Ibnu Affan sebagai penganti khalifah Umar bin Khatab, maka secara resmi Ustman diangkat menjadi khalifah kemudian dibaiat oleh pembesar sahabat dan seluruh kaum Muslimin, tepatnya pada pada tahun ke 23 H.

Ustman bin Affan menyusun strategi politik internal dengan meresaffel seluruh gubernur diseluruh wilayah kekuasaan Islam, dengan struktur pemerintahan sentralisasi dan nepotisme (sebagaimana sejarawan Islam menyebutnya demikian). Dengan mensentralkan seluruh kekuasaan pada bani Umayyah. Seperti wilayah kuffah dipimpin oleh Said ibnu As Ibnu Umayyah, abdullah ibnu Amir saudara sepepu Ustmana Ibnu Affan diangkat sebagai gubernur di Basrah, dan adapun wilayah Yordan, Damsyik, Palestina, Hams dan Qonsirain dipimpin oleh Muawiyah bin Abi Sofyan, sementara mesir dibawah kekuasaan Abdullah Ibnu said Ibnu abi Sarah adalah saudara laki-laki sesusuan Ustman.

Pembentukan sistem politik internal yang dilakukan oleh Ustman Ibnu Affan membuat para pembesar dari kalangan sahabat-sahabat marah, dan simpati masyarakat terhadap pemerintahan Ustman semakin terkikis baik diwilayah Madinah maupun diwilyah kekuasaan Islam yang lainnya

Kondisi politik semakin gawat, ketika isu menyebar kemena-mana, kubu politik oposisipum muncul di Madinah untuk menurunkan Ustman dari posisi Khalifah. Dan kondisi semakin memanas dengan mendengar berita terbunuhnya Ustman Bin Affan tepatnya pada tahun 35 H bertepatan dengan 655 M.

Pasca wafatnya Ustman Ibnu affan, Ali bin abi Tholib menolak tawaran dari pendukungnya untuk menjadi khalifah karena melihat situasi politik yang semakin kacau, tapi karena didesak, Ali Ibnu Abi Tahlib pun menerima tawaran itu dengan pertimbangan agar fitnah tidak semaikin merebak.

Seluruh masyarakat Madinahpun membaiat Ali Ibnu Abi Thalib kecuali beberapa sahabat seperti Saad Ibnu Abi Waqas, Abdullah Ibnu Umar, dan Osamah Ibnu Zaid. Dan beberapa orang dari sahabat Anshor seperti Hisan Ibnu Stabit, Musallamah Ibnu Mukhlad, Abu Said Al Khadry. Dan sekelompok masyarakat Madinah berpindah ke Syam sebagai langakah oposisi konkrit terhadap pembaiatan Ali Ibnu Abi Thalib dari Kahlifah.

Respon keras muncul dari pembesr-pembesar bani Umayyah, apalagi setelah perombakan kabinet dilakukan oleh Ali Ibnu Abi Thalib. Dimana seluruh pimpinan cabang (gubernur) diganti secara total; diwilayah Basrah Ali mengankat Ustman Ibnu Hanif sebagai Gubernur, Sahal Ibnu Hanif sebagai Gubernur untuk wilayah syam, wilayah yaman diutus Abdullah Ibnu Abbas, Kais Ibnu Saad Ibnu Ibadah untuk pimpinan wilayah Masir dan Imarah Ibnu Syihab dikirim untuk menjadi gubernur diwilyah Kuffah.

Satu sisi dengan terbunuhnya Ustman Bin Affan, para pendukung ustman menuntut balas atas kematian Ustaman kepada warga Madinah Khususnya terhadap Ali Ibnu Abi Thalib. Bahkan tholhah, Zuabair membawa masyarakat madinaha untuk menuntut hukum hudud terhadap pembunuh Ustman. Mereka berdua membawa seratus orang dari masyarakat Madinah dan Mekkah bersama kelompok Aisyah menuju ke Basuyrah , dengan tujuan menuntut balas atas pembunuhan Ustman.

Aisyah, Zubair, dan Tholhah menentang serta menolak Ustman Ibnu hanif sebagai gubernur Basrah, dan mereka ingin menguasai Basrah. Kemudian memenjarakan ustman Ibnu Hanif, maka dengan demikian seluruh kawasan wilalayah Basrah telah dikuasai oleh Tholhah, Zubair dan Aisyah.[3]

Melihat hal itu Ali Ibnu Abi Tholib bersama pasukannya berangkat ke Basrah untuk melakukan perdamaian serta klarifikasi, dan ternyata Zubair kurang menanggapinya secara posostif, sehingga sedikit terjadi bentrokan fisisk antara pasukan Zubair dan Ali Ibnu abi thalib sebelum keduanya didamaikan.

Dan pada tahun 36 H para penguasa berhasil mempengaruhi serta mempropokasi pasukan Aisyah dan Ali Ibnu Abi Thalib, didepan unta yang ditunggangi Aisyah, maka terjadilah peperangan antara kedua belah pihak yang menewaskan 10.000 dari pasukan Basrah dan 5000 orang dari pasukan Ali.

Di tengah peperangan berkecamuk Posisi Aisyah terjepit berada ditengah-tengah pasukan, melihat kondisi itu Ali Ibnu abi Thalib menginitruksi agar Aisyah segera di selamatkan di tengah-tengah pergolakan. Aisyah selamat lalu diahantarkan kemabali ke Madinah. Dan perang ini mashur disebut dengan perasng Jamal ( Onta )

Sementara Konflik Pasca realisasi Rasaffel yang talah dilakukan oleh Ali ibnu Abi thalib ternyata dibeberapa wilayah mendapat tantagan yang sangat hebat dari pendukung Muawiyah seperti pengiriman Imarah Ibnu Syihab ke Kuffah untuk menggantikan Abu Musa Al Asyari. namun ditolak oleh masyarakat Kuffah dan tetap mendukung Abu Musa Al Asyari sebagai pimpinnanya. Sementara diwilayah Syam terjadi konflik kronis yang mengakibatkan bentrok fisik antara pendukung Muawiyah dan pendukung ali Ibnu Abi Thalib. Dan konflik inilah awal munculnya fitnah besar yang dialami oleh Ummat Islam dengan terajadinya peperangan antara kubu Muawiyah dan Ali Ibnu Abi Thalib yang disebut dengan perang Sifin, terjadi pada tahun 37 H.

Pertarungan politik antara kedua kubu berakhir dengan terbunuhnya Ali Ibnu Abi Tahlib, tepatnya 17 Rhamadhan 40 H.

Kejadian ini membuat Hasan Ibnu Ali mengalah untuk tidak mempebesar masalah. Maka pada tahun 41 H, Hasan Ibnu Ali mengajak untuk berdamai dengan Muawiyah. Mencoba untuk menghindari konflik internal; hal itu disambut baik oleh pihak Muawiyah, persatuanpun muncul dari keduanya, sehingga tahun ini disebaut dengan "Aam Al Jamaah" (tahun persatuan).

Hasan menyelamatkan pemerintahan Islam dengan menjalankan hukum sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah serta sejarah para salafussholeh. Dan diantara hasil kesepakan dalam perdamaian itu adalah tidak ada seorangpun yang boleh menjadi pemimpin (khalifah) kecuali berlandaskan kepada syura (kesepakatan) antara sesama Muslim.

Dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama, maka muawiayah Bin abi Sofyan terpilih menjadi Khalifah setelahnya.

sebelum penulis menjelaskan tentang khilfah Umawiyah, penulis ingin menerangkan tentang beberapa kelompok yang muncul akibat konflik internal pada pemerintahan Khulafaaurshidin kususnya pasca terbunuhnya Usman Bin Affan dan Ali Ibnu abi Thalib. Yaitu kelompok Muawiyah[4], kelompok, Syiah[5] dan kelompok Khawarij[6].

B. Khilafah Bani Umayyah

Muawiyah Ibnu Abi Sofyan Ibnu Harb yang mengasas pemerintahan umawiyah selama lebih dari 70 tahun ( 41 – 132 H) bernasab dari Umayyah ibnu Abdul syam ibnu Abdul Manaf Ibnu Qusay. Ibunya bernama Hindun Binti Utaibah Ibnu Rabiah ibnu Syam Ibnu Abdul Manaf. Dan Umayyah adalah salah satu dari pembesar Quraisy pada zaman Jahiliyah.

Muawiyah masuk Islam dan bapaknya, bersama saudaranya Yazid, ibunya Hindun pada waktu pembukaan kota Mekkah tahun 8 H. Dan Rasulullah menjadikan Muawiyah sebagai penulis Wahyu.

Bani Umayyah memiliki peran penting dalam membantu Abu Bakar Al Siddiq dalam memerangi orang-orang Murtad dan dlam pembukaan beberapa wilayah. dengan itu, Abu Bakar memberi tanggung Jawab kepada Yazid Ibnu Abi sofyan saudara kandung Muawiyah Ibnu Abi Sofyan untuk menangani salah satu dari empat pasukan yang dikirim ke syam, dan begitu juga pada periode Umar Ibnu Al Khatab mengangkat Yazid untuk memimpin wilayah Damsyik sedang Muawiyah ibnu Abi Sofyan diangkat untuk memimpin wilayah Syam. Dan ketika Yazid Ibnu Sofyan meninggal, Umar Ibnu Al Khatab memberikan wilayah kekuasaan Yazid Ibnu Sofiyan (Damsyik) kepada Muawiyah Ibnu Abi Sofyan.

Setelah wafatnya Umar Ibnu Al Khatab, kemudian Ustman Ibnu Affan menggentikan posisi sebagai Khalifah. Ustman menyerahkan seluruh wilayah Syam kepada Muawiyah Ibnu Abi Sofyan dimana ia merupakan wilayah bagian mustakil pasca pembunuhan Ustman Ibnu Affan. Dan ketika Ali Ibnu abi Thalib diangkat menjadi Khalifah, Muawiyah menolak atas kekhalifahan Ali dan membebentuk kubu oposisi serta wilyah bagian. Dan Masyarakat Syam mengangkat beliau sebagai Khalifah dan tidak mengakui khalifah Ali Ibnu Abi Thalib. Hal itu terus berlanjut sehingga muncul perdamain antara Hasan Ibnu Ali dan Muawiyah Ibnu Abi Sofyan.

Setelah Muawiyah dinobatkan menjadi Khalifah (41 – 60 H) adalah merupakan awal munculnya sistem otokrasi dan nepotisme, perkataan ini tidaklah berlebihan, karena muawiyah sendiri yang mengatakan setelah diangakat menjadi Khalifah, beliu berkata "aku adalah penguasa pertama"[7]. Kemudian pemerintahanya mengatasnamakan kelurganya sendiri serta memebrikan warisan kepemimpinan kepada sanak keluarganya.

Namun demikian, tidak dapat dipungkiri beberapa langkah jitu serta peran Muawiyah setelah menjadi khalifah, diantaranya gerakan futuhat setelah beberapa lama terhenti akibat pergolakan politik internal muslimin pada saat itu.

Muawiyah mengintruksikan kepada Abdullah Ibnu Sawar untuk membuka wilayah Sanad, meyiapakan aramada laut untuk menundukakan jazirah Rudus, mempersiapkan militer untuk membuka wilayah konstatinopel (Kistintiniyah) sebagai ibukota kekaisaran bizantium romawi timur pada saat itu. Pasukan itu dibawah pimpinan Sofyan Ibnu Auf. Walaupun usaha itu tidak membuahkan hasil karena kekutan militer romawi yang cukup hebat. Sehingga abad ke 14 M, periode khilafah Ustmaniyah konstatinopel baru ditaklukan oleh seorang pejuang tangguh Muhammad Al Fatih. Begitupun wilayah jazirah rudus yang di taklukan oleh sultan Suliman pada awal abad ke 16 M.

Langakh selajutnya yang dilakukan oleh Muawiyah pada awal pemerinthananya adalah membuat benteng pemerintahan nepotisme (asas kekeluargaan), hal itu terlihat ketika muawiyah mewariskan kepada anaknya Yazid bin muawiyah untuk menjadi khalifah ( 60 – 64 H ) setelahnya. Hal ini tentu melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama ketika tahun perdamaian dilakukan anatara Hasan dan Muawiyah, dimana salah satu syarat yang sangat penting untuk menjadi Khalifah adalah berdasarkan kepada hasil musyawarah dan kesepakatan kaum muslimin secara terbuka.

Kesepakatan perjanjian belum berjalan lama, tinta tanda tangan perdamaiman belum kering, namun Muawiyah mengangkat Yazid anak kandungnya untuk menjadi Khalifah sebagai penggantinya tanpa adanya musyawarah dan kesepakatan masyarakat Muslim termasuk dengan Hasan Ibnu Ali.

Dengan kejadian ini muncul fitnah baru khusus di kawasan Hijaz (mekah dan Madinah). Husain ibnu Ali dan Abdullah Ibnu Zubair menolak pembaiatan Yazid sebagai Khalifah. Mendengar hal itu Yazid Ibnu Muawiyah mengutus utusan ke Gubernur Hijaz untuk mengambil (menculik) Husain dan Zubair untuk dipaksa membaiat dirinya sebagai Khalifah.

Dan pada saat itu, pendukung Muawaiyah yang berdomisili di Kuffah menulis Surat kepada Husain "sesungguhnya dalam diri kami telah membara (marah) terhadapmu maka majulah".

Mendengar informasi itu, Husain mengirimkan utusannya Muslim Aqil Ibnu Abi Thalib ke Kuffah untuk memastikan kondisi yang sedang terjadi di Kuffah; Muslimpun berangkat ke Kuffah dan menetap beberapa lama disana, dan ketika ia berusaha untuk keluar dari Kuffah dan menyeru untuk membaiat Husain Ibnu Abi Thalib, dengan secepat kilat pasukan yang berjumlah 4000 berkeliaran disekelilingnya, iapun dijatuhkan hukuman mati ditangan pemimimpin Kuffah.

Sehari sebelum Muslim dijatuhkan hukuman mati, Husain telah berangkat dari mekkah menuju Kuffah. Dan sebelum keberangkatannya, sahabat-sahabat melarang beliau untuk tidak berangkat, akan tetapi Husain tetap dalam ijtihadnya untuk segera berangkat ke Kuffah mengajukan pendapatnya ke Muawiyah.

Dan Sebelum Husain sampai ke kuffah dan menyampaikan pandanagnya, Husian di bunuh oleh Abdullah Ibnu Ziyad di Karbala` 10 Muharram 61 H dan membawa kepalanya ke Yazid. Meliahat hal itu Yazid menagis meneteskan Air mata, karena dirinya tidak menginginkan hal itu terjadi.[8]

Dengan wafatnya Husain akibat dibunuh, keluarga muawiyah berhasil meneruskan roda pemerintahan berlandskan pada asas otokrasi dan nepotisme.

Dan pada tahun 64 H. Yazid bin Muawiyah meninggal dunia dan pimpinan kkhalifah di wariskan kepada anaknya Yazid Al Sthani seorang laki-laki- yang lembut dan Sholeh. Selama tiga bulan dalam pemerintahanya iapun meninggal dunia.

Setelah wafatnya Yazid Al Syani, seluruh pembesar di wilayah Syam berkumpul untuk membaiat Abdullah Ibnu Zubair untuk menjadi Khalifah. Marwan Ibnu Hakimpun berangkat untuk mebaiat Zubair Ibnu awam; akan tetapi ketika Marwan sampai di Karbala ia bertemu dengan Abdullah Ibnu Ziyad (laki-laki yang membunuh Husain) mengajak serta mempengaruhinya untuk tidak mebaiat Zubair. Dengan itu, Marwan pulang dan siap untuk menjadi pihak oposisi Zuabair.

Ternyata Abdullah ibnu Ziyad memiliki maksud tertentu diantaranya ia takut kalau saja Zubair menjadi Khalifah maka ia akan di kenakan hukaman mati (qisos).

Hampir mayoritas masyarakat diseluruh wilayah kekuasaan Islam membaiat Zubair Ibnu Awam untuk menjadi Khalifah, akan tetapi ada beberapa kelompok kecil di Syam yang tidak patuh serta tidak merestui pembaiatan Zubair sebagai Khalifah, sehingga terjadi peperangan antara pendukung Zubair dan pendukung Marwan. Dan perseteruan itu dimenangkan oleh Marwan sehingga wilayah Syam tunduk dibawah kekuasaanuya, tepatnya pada tahun 65 H.

Pada tahun yang sama (65 H) Marwan meninggal dunia kemudian posisi khalifah diwarisi anaknya Abdul Malik Ibnu Marwan (73 – 86 H.). Dengan kekuasaanya, azam untuk menghukum Abdullah Ibnu Zubair semakin kuat serta melakaukn agresi ke seluruh wilayah pendukung Abdullah bin Zubair, sehingga pada tahun 70 H ia telah menguasai wilayah Kuffah, dan melakukan agresi ke wilayah Hijaz dengan mengirim pasukan dibawah pimpinan Al Hajaj Ibnu Yusuf Al Sthaqofi; dengan melalui perlawanan yang sengit Zubair Ibnu Awam kalah dan terbunuh pada Jumadil Ahkirah Tahun 73 H. Dan Al hajaj mengambil baiat dari masyarakat mekkah untuk merestui Abdullah Ibnu Marwan sebagai Khalifah[9]. Maka pada taun ini (73 H.) Abdullah telah mengusai sepenuhnya seluruh wilayah kekuasaan Zubair, sekaligus tahun resmi ia diangkat menjdi khalifah (73 – 86 H).

Khalifah Abdul Malik ibnu Marwan mewariskan kekuasaanya kepada anaknya Al Walid Bin Abdul Malik (86 – 96 H).

Al Walid, memulai dengan melakukan ishlah terhadap kondisi yang ada, baik kondisi politik ekonomi dan pembangaunan struktur serta infrastruktur. Kondisi politik khususnya politik luar dengan membuka wilayah Bagain utara Andalusia tahun 91 H, dan wilyah Sanad tahun 93 H.[10], dan dalam pembangunan struktur misalnya membangun Masjid Raya Damsyik (masjid Umawy) , membangun benteng Baitul Muqadaas, memperluas Masjid Rasulullah Saw (Masjid Nabawi). Membangun pengobatan khusus untuk pasien yang terletak di pinggiran kota Damsyik, dan rumah sakit itu deberi nama Rumah sakit Al Walid,dan setiap yang lemah diberi pembantu khusus dan penjagaan khusus.[11]

Pada tahun 96 H Al Walid menyempurnakan pembangunan Masjid Damsyiq. Bangunan Masjid yang belum ada tandingannya di dunia, dengan keindahan dan kekohaonanya. Al farzadiq seorang warga Damsyik mengatakan kekagumanya dengan bengunan masjid itu adalah bagian dari istana syurga.[12]

Setelah Al Walid wafat, tampuk pimpinan diwarisi oleh saudarnya, Sulaiman bin Abdul Mulk (96 – 99 H), dan seluruh masyarakatpun membait dirinya untuk menjadi Khalifah, dan kutaibah Ibnu Muslim menakutinya untuk tidak membaiat sulaiman. Sulaimanpun melakun evakuasi kepadanya, dan mengangkat Yazid bin Mulhab sebagai gubernur irak untuk menggantikannya.

Kutaibah mengumpulkan pasukan militer untuk melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Sulaiman dan tidak mentaatinya, tapi bala tentaranya tidak mengikuti instriksunya sehingga terjadi pengelompokan-pengelompokan, dan dengan hal ini membuat anak buahnya marah dan berpaling darinya, dan mencoba untuk membunuhnya.

Rencana pembunuhan terhadap Kutaibah baru terealisasi pada tahun 96 H, dan terbunuh bersamanya 11 orang bersama saudara-saudaranya serta anak-anak saudara-saudaranya.

Pada tahun 98 – 99 H. Sulaiman mencoba berusaha untuk membuka konstantin. Dengan mengumpulkan pasukan dibawah pimpinan saudaranya Muslimah Ibnu Abdul Mulk. Jumlah pasukan yang disiapkan sebanyak 120.000 orang angakatan darat ditambah dengan 120.000 ankatan laut, dan 800 kapal laut siap tempur. Dengan menjadikan kota bagian utara syam sebagai pusat benteng pertahanan. Ia memeiliki sebuah tekad yang kuat, kembali dengan kemenagan telah membuka kistintin atau Allah Swt mentakdirkan dirinya meninggal.

Pasukan Muslimin menghadapi penderitaan sehingga mereka memakan makanan apa saja selain debu, tapi hal itu tidak membuat mereka menyerah sehingga Sulaiman Bin Abdul mulk (khalifah) meninggal dunia, tepatnya pada tahun 99 H.[13]

Sebelum Sulaiman Wafat, ia telah memberikan Isyarat, bahwa yang akan menggatikan beliau adalah Umar Ibnu Abdul Aziz,. Isyarta ini telah di tuangkannya dalam sebuah wasiat berbentuk surat yang berbunyi "

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan meyebut Nama Allah, ini adalah surat dari Sulaiaman untuk Umar Ibnu Abdul Aziz, sesungguhnya aku telah mengangkat dia sebagai khalalifah setela ku dan setelahnya (Uamar Bin Abdul Aziz) adalah yazid Ibnu abdul Mulk. Maka dengarkan dia, dan taatila dia , dan bertakwalah kepada Allah Swt dan janganlah bercerai berai yang menyebabkan mudah dilenyapkan oleh musuhmu.

Dengan surat yang diwasiatkan oleh sulaiman, masyarakat berkumpul di Masjid Dabik kota wilayah utara syam untuk mebaiat Umar bin abdul Aziz.

Ketika Umar bin abdul aziz mendengar hal itu beliau mengucapkan Inna lillahi wa inna ilahi raijun, beliau merasa bahwa tanggung jawab yang diembanya adalah suatu musibah yang menimpa dirinya. Lalu iapun menyampaikan kata sambutan dan kemudian kembali ke damsyik.

Umar bin abdul Aziz ( 99 – 101 H ) adalah orang yang paling dekat di hati Sulaiman, hal itu karena Sulaiman sangat mengetahui kapabelitas yang dimiliki oleh Umar bin Abdul Aziz. Dengan alasan itulah Sulaiman memilihnya sebagai Khalifah setealahnya.

Dalam beberapa riwayat ketika Sualaiman berangkat Haji dan bersamanya Umar Bin abdul Aziz, ketika meraka berdua wukuf di arafah, Sulaiman melihat manusia begitu banyak, lalu Umar berkata kepadanya,"mereka semuanya adalah rakyatmu dan kamu harus mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak, mendengar ucapan Umar Sulaimanpun menangis meneteskan Air mata"[14]

Dan pada suatu hari Umar dan sulaiman terkuyup dengan curahan hujan, lantas Umar ketawa, lalu Sulaiman bertanya, kenapa kamu ketawa? Umar menjawab, iya.. ini adalah astar dari rahmat Allah Swt dan kita berada didalamnya, dan bagaimana kemarahan dan iqobNya dan kita berada didalamnya.

Umar memeiliki karakteristik yang berbeda, dengan kedekatannya kepada Allah dan sikap tanggung jawabnya yang tinggi, sehingga tidak heran beberapa ulama, diantaranya Imam ibnu Hanbal menafsirkan Hadist Rasulullah Saw, "sesungguhnya Allah Swt akan mengutus untuk Ummat ini seseorang pembaharu setiap seratus tahun untuk agamaNya" . Imam ibnu Hanbal berkata, Umar Ibnu abdul Aziz adalah seorang pembaharu seratus tahun pertama.[15]

Umar ibnu abdul Aziz memiliki ketaatan yang tinggi kepada Allah Swt, Zuhud, Tawadu`, kepemimpinan kelembutan, kesabaran, keteguhan, serta keadilan.[16] Sehingga tidak heran dalam pemerintahannya memiliki banyak perubahan yang terjadi , baik perubahan di bidang politik, ekomnomi, ilmu penegtahuan, struktur infastruktur, maupun di bidang kehidupan sosial kemasyarakatan.

Dibidang politik misalnya, Umar bin Adul Aziz memberikan kebebasan kepada mesyarakanya dengan kebebasan berfikir dan beragama, dengan landasan Laa Ikraha fi Al Ddin. Dan kebebasan berpolitik, dengan menggunakan kaedah yang terdapat dalam Islam, tidak ada ketaatan bagi seorang terhadap pemimpinnya dalam kemaksiatan, walaupun ia adalah hakim atau presiden. Kemudian memberikan kebebasan individu,. Tidak melarang masyarakatnya untuk berpindah tempat atau bertasnmigarsi ke wilayah lain.[17]

Dibidang ekonomi, Umar memulai perubahan dengan memberikan tujuan ekomi politk, agar semakin berpegang teguh kepada Al Qur`an dan Hadist, memberikan nilai kebenaran dan keadailan serta memeberantas kezholiman. Dengan asas ini akan menghasilkan keadilan sosial di dalam masyarakat dan mendapatkan pembagian hasil negara secara adil dan merata.[18]

Dibidang interaksi sosial kemasyarakatan ia mengajarkan kepada masyarakatnya, agar tali ukhwah senantiasa diikat dengan Al Quran, untuk saling nesehat menasehati, menumbuhkan sikap toleransi serta berbaik sangka terhadap sesama, melakukan dialog secara logis dan lembut, menjaga keadilan antara sesama, berakhlak mulia, mengajarkan kepada anak agar tidak boros dan berekonomi, mengingatkan sesama untuk selalu ingat kepada hari Akirat, memperbaiki pandangan yang salah yang terjadi pada masyarakat, menjauhkan diri dari sikap fanatisme[19]

Dibidang pendidikan Umar memberikan pencerahan, dengan memperhatikan dibidang pengajaran anak-anak. Diantaranya, memilih tim pengajar yang beradab dan sholeh, memberikan manhaj pengajaran, membentuk metode cara beradab dan mengajar, menentukan waktu-waktu khusus dan perioritas untuk pengajaran, serta menjaga pengruh-pengaruh serta hasil dari pembelajaran.[20]

Dalam mengahadapi perbebedaan dan konflik internal, Umar terlihat pelan tapi pasti. Hal itu dapat kita lihat sikap beliau mengahadapi kelompok Khawaraij dan Syia`h.

Dalam mengahadapi kahwarij beliau lebih bersifat dialogis, dengan melayangan pandangannya tentang Khawarij dan disampaikannya kepada kelompok Khwarij, bahwa beberapa pandangan kahwarij tentang Islam adalah salah, sehingga perlu diluruskan. Dan Umar meminta mereka untuk kembali kepada jalan yang benar.[21] Tapi khawarij menolak serta tidak mengindahkan pandanganyanya dan pandangan ulama pada saat itu, sehingga pemikiran khawarij semakin berkembangan, dengann mengajarkan hal-hal yang menyesatkan, serta menghalang jalan da`wah. perbedaan pendapat dan perdebatan bukan lagi dalam bentuk hiwar, akan tetapi benturan fisik. Dengan melihat kondoisi ini Umar mengintrusikan agar mereka diperangi. Begitu juga sikap beliau terhadap perkembangan kelompok Syiah, lebih bersifat diaologis, walaupun akhirnya beliau memerangi mereka karena banyaknya aliran syiah yang menyesatkan[22]

Begitulah kepribadian yang dimiliki oleh Umar bin Abdul Aziz, kepribdian yang komprehsif, berjiwa Abid, Zahid, leader, intelektual, ekonom, guru, politikus, dan lain-lain sebagainya. Namun ada saja manusia yang iri dan dengki terhadapnya, sehingga kematiannya disebabkan karena disuguhi racun dalam makanan dan minuman oleh pembatunya yang dilandasi oleh konspirasi bani Umayyah yang tidak senang dengan kepemimpinan Umar, yang dianggapnya bersikap keras dan menzholimi mereka. Sehingga pada lima terakhir dari bulan Rajab di bumi Hams beliau meninggal tahun 101 H.[23]

Setelah Wafatnya Umar, sesuai dengan wasiat sualaiman bin Abdul Malik, bahwa pimpinan akan di pegang oleh saudara kandunganya Yazid Bin Abdul Malik (101 – 105 H ) setelah Umar Bin Abdul Aziz.

Khalifah Yazid bin abdul Malik menjadi Khalifah diusia mudah, umurnya 29 tahun. Beliau banyak berkecimpung dengan para ulama. Dan ketika ia menjadi khalifah, ia memiliki azam untuk menjadikan pemerithannya seperti pemerintahan Umar Bin Abdul Aziz. Hanya saja karena kekuatan kemaksiatan, dipengaruhi oleh kemewahan dan kesenangan sehingga melemahnya pemerinthanan Bani Umayyah, berhentinya pembukaan-pembukaan wilayah Islam. Mengarahkan manusia kepada permainan yang menyebabkan lemahnya pemerintahan.

Yazid bin Muawiyah meninggal dunia di yordan tahun 105 H. ketika beliu berumur 34 tahun 1 bulan dari umurnya. [24]

Setelah Yazid meninggal,, tampuk kepemimpinan diserahkan kepada saudaranya Hisyam Bin Abdul Malik (105 – 125 H).. yang lair pada tahun 72 H. Anak dari seorang Ibu Aisyah Binti Hisyam Ismail Mukhzami. Ia memilki sifat kesabaran dan kelembutan hati. Ia tdak menyukai pertumpahan darah.

Pemerintahannya mengarah kepada perbaikan ekonomi dan politik internal dan juga politik luar.

Dalam bidang ekonomi ia memanfaatkan tanah yang masih kosong, membangun pusat kota, membangun kontor-kantor, serta alat-alat hitungan. Sehingga pada masanya perekonomian negara tertarta rapi.

Sedang kebijakan politik dalam negeri diwarnai denga rasa fanatisme yang tinggi antara Arab bagia Utara dan arab bagian selatan. Sementara politik luar negeri membuka kota kaisarah dan kota Sarkusah. Ia wafat pada rabiul Awal tahun 125 H.

Setelah wafatnya Hisyam, Al Walid Ibnu yazid (126 – 126) memegang khilafah. Ia menjadi kahlifah ketika berumur 35 tahun .

Pada awal kepemimpinannya berjalan dengan baik, dimana setiap orang diberi pembantu, dan royalitas yang berlebihan, ia seorang yang terhormat, penyair, dan teguh. Akan tetapi dalam dirinya terdapat sifat kurang baik (sombong), berjalan diatas permainan, dan senda gurau, hanya memperhatiakan syair-syair.

Ia adalah seorang pemabuk, bahkan sebelum menjadi khilfah ia terkenal sebagai pemabuk. Dan membuta orang tidak senag kepadanya ia membaiat anaknya yang belum dewas untuk menjadi kahalif sebagai pengganti dirinya.

Dengan sikapnya ini dua wilayah damsyik tidak mengakinya sebagai kahlifah, karena akhlaknya yang buruk dan sejarahnya yang kelam., serta kemaksiatan-kemaksiatan yang meliliti didrinya, hal inilah diantaranya yang menyebabkan runtuhnya dinasti umayyah, karena kepribadian penguasanya yang suka bersenang-senang dan berbuat maksiat.

Kehidupan Al Walidpun berakhir akibat dibunuh oleh anak pamanya sendiri Yazid Ibnu Walid pada tahun 127 H. Kerana kepemimpinanaya yang kotor.

Dengan terbunuhhnya Alwalid, yazid mengambil alih pimpinan khilafah bani Umayyah. Ia merupakan seorang yang sholeh. Ia membenci anak pamanya (Alwalid) karena kesukaanya terhadap hal-hal yang diharmkan Allah Swt, karena itu ia membunuhnya dan mengambil alih posisinya sebagai khalifah. Hanya saja pada periode ia menjadi khalifah, banyak muncul permasalah, dan menyebarbnya fitnah kemana-mana. Disamping itu terjadi konflik internal dengan marwan.

Sebelum ia meninggal dunia, ia berpesan kepada bani Umayyah, dalam perkataanya "wahai bani Umayyah, jauhilah nyanyian, karena ia menghilangkan rasa malu, dan menambah syahwat serta mengahancurkan perempuan. Dan menyebakan minuman khamar, berbuat seperti apa yang dilakukan oleh pemabuk, maka hendak jauhilah perempuan karena ia akan mendekan diri kepada zina".[25]

Ia wafat setelah memegang tangungjawab kekhalifaan selama enam bulan, tepatnya tahun 127 H. Kemudain Yazid diaganti oleh saudara kandungnya Ibrahim bin Walid 126 – 127 H). Dan Ibrahim hanya memegang tampuk kepemimpinan selama setahun, sehingga tidak ada perubahan yang signifikan.

Pasca wafatnya Ibrahim, marwan bin Muhammad (127 – 132 H) mengambil alih pimpinan. Ia diberi gelar sebagai Hummar (keledai) karena kekuatanya dalam perang.

Marwan termasuk orang yang tidak merestui dan tidak membaiat khalifah Yazid dan Saudaranya Ibrahim. Dan pada pemerintahannya tantangan semakin kuat dan fitnah semakin menyebar luas. Tantnagan internal yang dihadapinya adalah gerakan Khawarij, konflik di Hijaz, serta benturan dengan Syiah di Khirsan. Hal inilah diantara yang menyebabkan dinasti umayyah lemah. Diasamping itu, syiah memanfaatkan kelemahan yang dialami oleh kerajaan Umayyah.

Sebenaranya, semenjak terbunuhnya Ali Bin Abi Thalib dan Husai bin Abi Thalib, Syiah telah menyusun strategi untuk meruntuhkan kerajaan Umawiyah. Walaupun gerakan itu dilakukan secara rahasia yang berpusat di Irak dan Khirsan.

Maka pada tahun 132 H. Syiah melakukan gerakan konfrontatif dengan mengirim pasukan ke kufah dibawah pimpinan Abi Muslim, serta mengirimkan pasukan ke Khirsan dibawa pimpinan Abdullah bin Ali untuk membunuh Marwan bin Muhammad, Khalifah Muawiyah pada sat itu.

Maka terjadilah pertempuran yang sengit di Khirsan antara pasukan muawiayah yang dipimpin langsung oleh Marwan Bin Muhammad dan pasukan Abbasiyah yahg dipimpin oleh Abdullah Bin Ali. Dan peperangan itu berakhir dengan kekalahan Marwan yang menyebabkan kocar-kacirnya pasukan, sehingga sebahagian pasukan melarikan diri ke hiran, sebaghagiannya lagi ke damsyik, dan sebahagiannya lagi ke Mesir. Dan berakhirnya danasti umayyah secara total dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad di Baisur daerah Fayyum salah satu wilayah di Mesiar, tepatnya pada tanggal 27 Zulhijjah 132 H. Dan kepalanya dihantarkan ke Kuffah. Dengan ini, disnati Abbasiyah diresmikan sebagai penanggungjawab pemerintahan Islam.[26]

C. Sebab-sebab keruntuhan dinasti Umayyah

Dari semenjak munculnya kerajaan Umawiyah hinga keruntuhannya, dapatlah mungkin mengembil kesimpulan sebab-sebab kerutuhannya, berdsarkan sejarah perjalannanya yang cukup panjang dari tahun 41-132 H , mencapai 92 tahun lamanya sebagai berikut :

  1. munculnya fanatisme Ras atau suku. Hal itu terlihat jelas setelah wafatnya Umar Bin Abdul Aziz tahun 101 H., dan diganti oleh Yazid bin Abdul Malik (101-105 H), yang cendrung berpihak pada ras Arab Syam atau kabilah Muhdar dan Kais, ia mengangakat pemimpin Islam pada pemerintahanya hanya dari dua kabilah ini, dan bersikap kasar terhadap Arab bagian selatan yang meliputin wilayah yaman.

Dan ketika Hisyam bin Abdul malik menjadi Kahalifah setelah saudaranya wafat, ia melihat penagruh suku mudhor dan kais dalam pemerintahan sangat kental, sehingga ia mencoba mengimbanginya dengan suku yaman, dan menurunkan bebarapa pemimpin dari suku Kais dan mudar kemudian diganti dengan suku yaman (orang arab bagian selatan).

Dan ketika Alwalid bin Yazid menjadi Khalifah, fanatisme terhadap suku Mudarnya sangat kental, karena ibunya dari suku Mudhar. Dan adapun puncak kekuasaan suku Yaman ketika terbunuhnya Alwalid bin Yazid dan kahlifah dibawah kekuasaan Yazid bin Walid. Alwalid melakukan roda pemerintahannya dipenagurihi oleh suku Yaman tapi dalam memilih pemimpin tatap berusaha untuk mengimbangi antara suku Yaman, Mudhar dan kais. Tapi karena model pemertintahanya di pengaruhi oleh suku yaman maka terkesan pro terhadap orang-orang Yaman, sehingga membuat suku kais dan Mudhar marah terdapnya. Maka terjadaila penyebaran fitnah dan benturan-bentruan sebagai nilai dari sikap fanatisme ras dan suku.

  1. Mewariskan kepamimpinan terhadap dua orang anaknya sekaligus. Hal ini terjadi pada Khalifah Marwan bin Hakim (64-65 H). Dimana ketika menjelang kewafatannya, memberikan perjanjian kekuasaan terhadap kedua anaknya Abdul Malik kemudian Abdul Aziz.

Setelah Abdul Malik bin Marwan diangakat menjadi Khalifah sesuai dengan perintah Bapaknya, ia mulai berfikir untuk mencopot kekuasaan Saudaranya Abdul Aziz sebelum ia diangakat menjadi Khalifah setelahnya.

Abdul malik mewariskan kepemimpinanan kepada dua orang anaknya Alwalid ( 87-96 H ) kemudian Sulaiman ( 96-99 H ) tanpa terjadi bentrokan sedikitpun.

Dan beginilah seterusnya perjalanna roda kepemimpinan Muawiyah yang saling musuh memushi demi merebut kekuasaan sampai ahkir keruntuhannya.

  1. Kemewahan dan kerusakan para pemimpin. Dimana beberapa pemimpin khilfah Umayyah yang cendrung kepada kemewahan dan hura-hura. Sehingga urusan negara dan pemerintahan tidak tangani secara serius.

sebagai contoh kasus, apa yang terjadi pada Khalifah Yazi bin Malik ( 101-105- H. ) yang terkenal dengan sikap hura-huranya dan cinta terhadap perempuan, dalam suatu riwat dikatakan bahwa dia memiliki dua orang perempan yang selalu mendapingi hidupnya setiap detik. Satu namanya Salamah dan satu lagi bernama Hababah, Hababh disebalah kananya dan Salamah disebelah kirinya sepanjang waktu yang menyebabkan kelengahan terhadap urusan pemeritahan. Dan diriwayatkan juga, ketika habah meninggal dunia ia menyimpan bersamanya selama berhari-hari sebelum dikuburkan, dan merasa sedih yang berlarut-larut yang menyebabkan dirinya tertimpa sakit dan meninggal setelah beberapa hari Hababah dikurburkan.[27]

Hal yang serupa terjadi pada khalifah Alwalid bin Yazid bin Abdul Malik (125-126 H ) yang mesyhur dengan sikap hura-huranya, hanya memeprhatikan Syair-syair dan gemar terhadap minuman kahmar.

Kepemimpinanya tidak disenagi oleh masyarkat karena Akhlaknya yang sangat buruk, suka terhadap hal-hal yang haram. sehingga iapun terbunuh oleh anak saudara bapaknya sendiri.

  1. Fanatik terhadap unsur Arab.

Pemerintahan Umawiyah adalah pemerintahan berdasarkan unsur Arab khalis. Hal inilah yang menyebabkan munculnya konflik internal sesama Muslim, khususnya dengan kelompok Abasiyah yang berusurkan Persia.

Kempat faktor diatas adalah penyebab utama keruntuhan kerajaan Umawiyah, disamping lemahnya pertahanan militer serta penguassan politik internal, sehoingga serangan yang di lancarkan oleh kelompok Syia`ah (pendukung Ali) tidak lagi dapat diatasi. Dismaping faktor moral pemimpin-pemimpinya.

Faktor moral pemimpin adalah sangat penting untuk membangun sebuah bangsa, karena dengan krisis Akhlak akan merembes kepada kirsis politik dan ekonomi. Sebagaimana ualama berkata "sesungguhnya kekuatan suatu ummat itu adalah moral (akhlak), jika ummat itu tidak berakhlak maka kehancurlah yang akan menimpanya".

D. Sikap para Sahabat dan Ulama dengan tragedi politik muawiyah

Membaca sikap para sahabat dan para ulama dalam beberapa tragedi politik muawiyah sangat penting. Hal itu karena disebabkan banyaknya penulisan tentang sejarah Islam yang tidak akurat dan valid, sehingga menimbulkan distorsi sejarah islam. Yang mengakibatkan keraguan ummat islam terhadap para sahabat-sahabat Rasul serta perubahan cara pandang terhadap mereka.

Pengkaburan sejarah Islam bukan hanya dilakukan oleh musuh Islam atau kalangan orientalis, akan tetapi muncul dari kelompok islam yang fanatik dengan kelompoknya. Yang menulis sejarah muawiyah berdasarkan rasa permusuhan terhadpnya, apalagi rampungnya penulisan sejarah muwaiyah pada periode Abbasiyah.

Dan disisi lain munculnya para sejarawan yang benci terhadap Muawiyah, seperti Al Ya`kubi seorang sejarawan dari Syiah. Yang lebih banyak menulis kejelekan, serta kekelaman dinasti umayyah[28].

Untuk meminimalisir pandangan masyarakat Muslim terhadap dinasti Umayyah akibat penulisan sejarah yang telah ditulis oleh sejarawan, Ali Muhammad Muhammad Al Salabi mengumpulkan dan menulis sikap dan pandangan beberapa sahabat dalam menyikapi bebebrapa tragedi politk pada masa dinasti umayyah. Diantara tragedi yang disikapi oleh para sahabat adalah kasusu pembunuhan Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Tahlib, porses arbitrase, perang jamal, perang sifin, pembunuhan Husain bin Ali dan beberapa tragedi lain yang terjadi pra dan era dinasti Umayyah.

Seperti Sikap Sayyidah Aisyah ketika Usman bi Affan terbunuh, dalam sebuah riwayat dari masruk dan aisyah,. Aisyah berkata ketika Ustman terbunuh : kamu meningalkannya seperti pakaian yang bebas dari kotoran, kemudian kamu mendekatinya seperti seperti kibas yang disemblih. Masruk berkata kepadnya : ini semuanya terjadi karena atas tulisan dan perintahmu kepada masyarakat, Aisyah menjawab, tidak, demi Allah yang diyakini oleh orang-orang mu`min dan yang dikafiri oleh orang kafir, sesungguhnya aku belum pernah menulis tinta hitam diatas putih dan memerintahkan mereka sehingga aku berada di tempat duduk ini"[29] hal itu disebabkan karena banyaknya penyebaran tulisan yang dusta yang mengatasnamakan Sayyidah Aisyah.

Beberapa tulisan sejarawan seperti Al Ya`kubi, Dan Tarikh Al Masudi, mengatakan bahwa terjadinya tragedi itu adalah strategi politik Aisyah terhadap ustman, dan menurut Al salab,i riwyat ini tidak shohih jauh dari kebenaran.[30]

Adapun sikap Ali bin Abi Tahlib terhadap kasus pembunuhan Ustaman,dalam sebuah riwyat mengatakan, bahwa ia bukan pembunuh, dan bukan pengambil darah Ustman (seperti tuduhan orang), dan beliu bersumpah atas itu, bahwa ia tidak membunuh Ustman dan menyuruh untuk membunuhnya, atau dengan hartanya, dan tidak pula dengan keridhoaanku kata sayyidina Ali. Hal ini berbeda dengan pandangan ahlul bait yang mengatakan bahwa Ali bin Abi Tahlib meridhoi pembunuhan Usman bin Affan.[31]

Sikap dan pandnagan ibnu Abbas terhadap kasus Ustman bin Affan. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Ibnu Abbas berkata "andaikata manusia berkumpul untuk membunuh Ustman maka mereka telah melempar dengan batui sebagaimana lemparan kaum Luth, dan Ibnu Abbas berkata pujian tehadap Ustman, dan mencela bagi yang mencelanya; semoga Allah Swt merahmati Aba Amru, demi Allah Dia adalah pemimimpin yang yang baik dan jujur, dan orang yang bersujud di tengah malam, banyak menagis mengeluarkan air mata, ketika mengingat nerka, bersegerara dalam melakukan kebaikan, .......Allah Akan memberi balasan yang melaknatinya hinga hari kiamat.[32]

Siakap ahlu sunnah wal jamaah pada perang Sifin adalah peperangan anatar dua sahabat mulia, yang tidak menimbulkan pandangan permusuhan terhadap mereka. Ahlu sunnah berkata :sesungguhnya wajib bagi orang muslim untuk mencitai, menyayangi keduanya... dan adapun yang pembunuh dan dibunuh dari kalangan sahabat keduanya masuk dalam syurga[33]

Ini hanya beberapa contoh sikap sahabat dan pandangan Ulama terhadap tragedi politik yang terjadi pada Khilafah Islamiyah, khususnya pada khilafah Muawiyah.

Sikap dan pandangan ulama ini penting untuk mewarnai pandangan generasi selanjutnya, agar tidak terkontaminsi dengan pandanngan orientalis atau kelompok yang benci kepada sebahagian Sahabat-sahabat Rasul.

Ali Muhammad Muhammad Al Salabi memperingatkan tentang beberapa buku-buku penulisan sejarah Islam yang terkesan propokatif dan tidak memiliki landasan yang akurat dan falid, tapi mewarnai cara pandang muslim terhadap sejarah Islam hari ini . Buku-buku itu diantaranya; Al imamu Wa al siyasah Al mansub, karangan Imam Al Kutaibah, Nahjul Balaghah, Al Aghani, karangan Al Asfahani, Tarikh Al Ya`kubi, karangan Ahamad Ibnu abi Ya`kub, Muruju Al Zayhabi wamadil jauhar, karangan Al Masudi, [34]

E. Fremawork Orientalis dalam sejarah Islam

Studi Islam orientalis meliputi seluruh fakulti ilmu pengetahuan Islam, baik dari studi Al Quaran, Hadist, filsafat, maupun sejarah Islam. Yangmana tujuanya semuanya bermuara ingin menghancurkan Islam, baik yang berlabelkan akdemik, riserah ilmiyah, politik ekonomi, hak asasi, kebebasan dan lain lian.

Sebab itu Musthafa Al Damiri[35] meletak methodologi studi Islam orientalis berasaskan sbb ;

  1. orientalis meletakan Islam dan muslimin sebagai musuh
  2. membentuk persepsepsi terlebih dahlu, kemudian mencari argumentasi-argumentasi untuk menjustifikasi persepsi itu Dengan dalil-dalil yang tidak akurat dan valid
  3. .membentuk pandangan buruk terhadap Islam.
  4. mereka menolak kebenaran tanpa dalil Akli maupun nakli

Studi Islam orientalis dibidang sejarah memiliki methode dan fremawork sendiri, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

dalam Majalah Islamia hamid fahmi zarkasyi menjelaskan behwa serangan orientalis terhadap islam dan sejarahnya memenga sangat canggih dan subtil bagi mereka pembaca awam alias bukan pakar. Akibatnyapara pembaca awam tidak mudah untuk membongkar implikasi-implikasi negatifnya. Pernyataan mereka itu umumnya berdasarkan spekulasi, bahkan manipulasi sumber data, dan seringkali bersikap selektif terhadap data-data sejarah dengan tujuan dan kepentingan tertentu.[36]

Dan adapun wasilah proses pengkaburan sejarah islam yang dilakukan oleh orientalis, seperti yang dijelaskan oleh Al Salabi[37] sbb :

  1. dengan konflik dan penipuan
  2. menambah dan mengurangi sejarah yang benar sehingga menimbulakan kekalutan sejarah
  3. meletakan sebuah kebenaran bukan pada tempatnya, sehingga meleset dari makna yang sebenarnya, serta menjelaskan sebuah fenomena dengan salah
  4. menyebarluaskan kesalahan serta menyebunyikan kebenaran sejarah
  5. membuat slogan-slogan, dan plagiasi-plagiasi untuk membenarkan sejarahn yang mereka tulis, karena mereka meyakini bahwa dengan slogan dan penjiplkan yang diambil dari arab lebih kuat untuk mengikat dan menguatkan pendapat mereka.
  6. menulis buku-buku dan artikel-artikel dengan mengatasnamakan ulama masyhur.

Kajian sejarah islam orientalis selalu memunculkan keraguan-keraguan, hal itu disebabkan karena dalam penulisan sejarah islam mereka hanya memunculkan konflik internal musliam, perpecahan, serta kelompok-kolompok yang terdapat dalam isla kemudian diadudomba dengan berbagai methode dan instrumen. Seperti sejarah konflik pada dinasti umayyah, Abbasiyah da ustmaniyah, kelompok sunni dengan Syiah dan kelompok-kelompok yang lain.

F. Penutup; Cara pandang terhadap Sahabat

Menentukan cara pandang terhadap para sahabat adalah sangat penting. Karena akan menentukan sikap dan ekspresi kita terhadap mereka.

Jika cara pandang seseorang terhadap Sahabat salah dan rusak hanya karena disebabkan oleh perubahan zaman, gererasi dan kondisi politik maka tentu akan melahirkan keraguan-keraguan dan seribu pertanyaan.

Penulis ingin menjelaskan cara pandang terhadap sahabat dengan cara pandang yang stabit dan tidak berubah dengan peredaran zaman dan pergolakan politik apapun. Pandangan Stabit itu meliputi :

  1. para sahabat adalah orang yang paling dekat dengan Allah dan RasulullahNya. Banyak sekali ayat Al Quran dan hadist Rasulullah yang menjelaskan tentang keistimewaan para sahabat, seperti dalam surah Al fath ayat 29, Ali Imron 110, alhasyr ayat 10 dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain dan hadist-hadist Rasul.
  2. para Sahabat adalah generasi awal yang mengimani kerasulan Muhammad, serta generasi yang memperjuangkan risalah yang dibawa oleh Rasulullah dengan harta jiwa dan raganya.
  3. sebagian para sahabat telah dijanjinjikan masuk surga oleh Rasulullah Saw (almubasyiruuna bil Jannah)
  4. generesi Sahabat adalah sebaik-sebaik generasi, kemudian setelahnya, kemudian setelanya lagi

Dr. Afifi salim Ex dekan Fakultan Dakwah Universitas Al Azhar, dan Dr. Ali Ustman Mansur Syhatah dosen peradabn Islam Universitas Al Azhar menjelaskan sikap serta pandangan terhadap sehabat. Keduanya menjelaskan Para Ulama bersepakat atas kedilan para sahabat, dan kejujuran mereka, serta sifat amanahnya. Dan diantara ulama yang menjelaskan keistimewaan sahabat itu adalah, Imam Nawawi dalam syarah shoheh muslim, Imam Ibnu Sholah Fi Ulumil Hadist, Al Hafis Ibnu Hajar fil Asobah, Imam Ibnu Kathir fil Bais Al Hadist dan lain-lain[38]

Perjuangan para sahabat dalam mengemban risalah dakwah belum cukup ditulis dengan tinta sejarah, dan belum mampu diukir dengan kata-kata. Penulis hanya dapat menyimpulkan bahwa mereka adalah sebaik-baik Ummat , sesuai dengan difirmankan Allah dalam Qs. 3:110.

Allahu a`lam Bi Showab



[1] Makalah ini dipresentasekan pada acara diskusi bulanan kekeluargaan KM NTB, yang bertempat di sekretarias KM NTB tanggal 8 November 2007

[2] Mahsiswa di Institut diraasat Islamiyah Ahmad Al Bakuri Zammalik, Fakultas Diraasat Islamiyah.

[3] Alsarjani Ragib, Al Mausuu`ah Al Muyassarah fi Al Tarikh Al Islamy, Muassah Iqra Al Qohirah 2005, hlm 162

[4] Muawiyah adalah kelompok pendukung Ustman Bin Affan. Dan kelompok ini muncul setelah kasus pembunuhan Ustamn Bin Affan terjadi, mereka menuntut kepada khalifa Ali bin Abi Thalib untuk membongkar kasus pembunuhan ustman dan menghukum pembunuhnya. Dan gerakan kelompok ini semakin nyata ketika proses arbitrase (tahkim) antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib. Akibat terjadinya perang sifin Dimana Amru bin Ash yang mewakili Muawiyah bin Abi Sofyan dan Abu Musa Al Asyari yang mewakili Ali Bin Abi Tholib meminta keduanya untuk turun dari jabatannya masing-masing. Dan pemilihan keduanya diserahkan kepada kaum muslimin. Tapi Proses Arbitrase tidak mengahasilkan apa-apa karena pendukung dari kedua kubu ini tetap dalam pendiriannya masing masing, pendukung Ali tetap mendukung Ali Sebagi Kahlifah, begitupun pendukung Muawiyah tetap dalam posisinya sebagai pendukung muawiayh, sehingga suasana politik seperti semuala, dimana Ali bin Abi Thalib tetap sebagai kahlifah diwilayah hijaz dan basrah, sementara Muawiyah bin Abi Sofyan tetap menjadi khalifah untuk wilayah Syam. Lihat, Alsarjani Ragib, Al Mausuu`ah Al Muyassarah fi Al Tarikh Al Islamy, Muassah Iqra Al Qohirah 2005, hlm 163

[5] Syi`ah adalah kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib. Dan kelompok ini muncul setelah kasus pembunuhan Ustman terjadi.

Pada awal munculnya kelompok ini berpandangan bahwa Ali lebih berhak menjadi Khalifah ketimbang Ustman, dan masih mengakui serta menghormati kehalifaan Abu Bakar dan Umar. Maka definisi Syiah pada periode awal adalah orang yang mendahulukan Ali daripada Ustaman saja. Tapi dalam perkembangannya, makna dan definisi syiah semakin berubah, dimana Ali Bin Abi Thalib lebih berhak menjadi khalifah ketimbang Abu Bakar, Umar dan Ustman. Dan lebih dahsyat lagi ketika mereka menuduh ketiga khalifa ini merebut kekuasaan Ali Bin Abi Thalib.

Diantara pandanga syiah adalah pemimpin atau Khalifah harus dari kalangan Ahlul bait. Lihat Muahmmad Al Solabi, Ali Muhammad, Ali bin Abi Thalib, Daarul Fajri liturast., kairo 2004 hlm 276-277

[6] Al Khawarij adalah pecahan dari kelompok Syiah dan dari pasukan yang kontra dengan Muawiyah bin Abi Sofyan, mereka termasuk orang yang tidak menerima Arbitrase di lakukan antara muawiyah dan Ali ketika perang sifin terjadi ( 37 H ).

Setelah terjadinya perang sifin mereka memisahkan diri dari kelompok Ali dan menolak untuk masuk ke Kufah bersama pasukan Syiah, mereke memilih untuk berkemah di wilayah Al Haruriyah salah satu dari bagian wilyah kufah.

Secara ringkas kelompok khawarij adah kjelompok yang kontra dengan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sofyan.

Beberapa pandangan dan idiologi kelompok ini adalah ; pertama, mengkafirkan Ali bin Abi Thalib dan Usman bin Affan serta dua utusan Hikim Abu Musa Al Asari dan Amru bin Ash. Kedua, perkataan harus keluar keluar dari Imam yang lalim, Ketiga, perkataan mereka dengan mengkafirkan orang yang berbuat dosa besar dan kekal didalam neraka. Liahat, Ziyan Ghonim,Hamid, Diraasat Tarikh Alam Islami Fi Al Asril Wasthi, ma`hadul Ali Lidirasaatil islamiyah, Al Qohirah 2006, hlm 59 dan di, Muhammad Al Salabi, Ali Muhammad, Umar bin Abdul Aziz, Darul Iman, / Darul qimmah Iskandariyah 2006, hlm 143

[7] Ziyan Ghonim,Hamid, Diraasat Tarikh Alam Islami Fi Al Asril Wasthi, ma`hadul Ali Lidirasaatil islamiyah, Al Qohirah 2006, hlm 51

[8] Alsarjani Ragib, Al Mausuu`ah Al Muyassarah fi Al Tarikh Al Islamy, Muassah Iqra Al Qohirah 2005, hlm 180 – 181

[9] Ziyan Ghonim,Hamid, Diraasat Tarikh Alam Islami Fi Al Asril Wasthi, ma`hadul Ali Lidirasaatil islamiyah, Al Qohirah 2006, hlm 59

[10] Said Mursi, Muhammad, Kubra Al Maarik wal futuhaat Al Islamiyah, Muassasah Iqra`, 2003, hlm 121 - 126

[11] Alsarjani Ragib, Al Mausuu`ah Al Muyassarah fi Al Tarikh Al Islamy, Muassah Iqra Al Qohirah 2005, hlm 191

[12] Ibid

[13] untuk lebih lengakpnya bca Alsarjani Ragib, Al Mausuu`ah Al Muyassarah fi Al Tarikh Al Islamy, Muassah Iqra Al Qohirah 2005, hlm 193 – 196

[14] Op cet hlm 197

[15] Op cet

[16] Penjelasan secara khusus tentang sifat-sifat yang dimiliki oleh Umar bin Abdul Aziz dibahas khusus oleh beberapa kalangan ulama klasik dan kontemporer, diantaranya dapat dilihat dalam buku, Abdul Hakim, Umaar Bin Abdul Aziz, Ibnu Al Jauzy, Sirah Siarh Umar bin Abdul Aziz, lihat Muhammad Al Salabi, Ali Muhammad, Umar bin Abdul Aziz, darul Iman, / darul qimmah Iskandariyah 2006, hlm 81 – 95

[17] lihat Muhammad Al Salabi, Ali Muhammad, Umar bin Abdul Aziz, Darul Iman, / Darul qimmah Iskandariyah 2006, hlm76 – 80

[18] Untuk lebih lengkapnya baca, Ibid 309 – 336

[19] Baca penjelasan dari sertiap sub pembahasan diatas di, Ibid 179 – 184 dan 192 – 195

[20] Ibid 184 – 187

[21] Lihat tulisan Surat Umar kepada kelompok Khawarij, ibid 145 – 146

[22] Lihah ibid 152 – 153

[23] Alsarjani Ragib, Al Mausuu`ah Al Muyassarah fi Al Tarikh Al Islamy, Muassah Iqra Al Qohirah 2005, hlm 200 – 201

[24] Lihat Ibnu Kathir, Al Hafizh, Bidayah wa Al Nihayah, Darul Hadist, Al Qohirah, , jild 9, hlm 240

[25] Alsarjani Ragib, Al Mausuu`ah Al Muyassarah fi Al Tarikh Al Islamy, Muassah Iqra Al Qohirah 2005, hlm 204

[26] Ziyan Ghonim,Hamid, Diraasat Tarikh Alam Islami Fi Al Asril Wasthi, ma`hadul Ali Lidirasaatil islamiyah, Al Qohirah 2006, hlm 88

[27] Ziyan Ghonim,Hamid, Diraasat Tarikh Alam Islami Fi Al Asril Wathi, ma`hadul Ali Lidirasaatil islamiyah, Al Qohirah 2006, hlm 64

[28] Ziyan Ghonim,Hamid, Diraasat Tarikh Alam Islami Fi Al Asril Wathi, ma`hadul Ali Lidirasaatil islamiyah, Al Qohirah 2006, hlm 53

[29] Muhammad Salabi, Ali Muahammad, Ustman bin Affan, Daarul Iman, 2002 hlm 481

[30] Ibid 483

[31] Ibid 485 atau Muhammad Salabi, Ali Muahammad, Ali Bin Abi Thalib,Daarul Fajri Li Turast 2004 jld 2 hlm 37

[32] Ibid 48

[33] Untuk lebih lengkap dari pandangan Ahlu sunnah wal Jamaah baca, Muhammad Salabi, Ali Muahammad, Ali Bin Abi Thalib,Daarul Fajri Li Turast 2004 jld 2 hlm 185

[34] Ibid 189 – 198

[35] Musthafa Ibrahim al Damiry, Al Tabsyir wal Istiyroq, kulliyah usuluddin wa Al Dakwah Zagazig 2004 hlm 119

[36] Islamia, Vol 2 no 3/ Desember 2005 hlmn 8

[37] Muhammad Salabi, Ali Muahammad, Ali Bin Abi Thalib,Daarul Fajri Li Turast 2004 jld 2 hlm 199

[38] Afifi Salim, Tholaat Muhammad Dr, Mansyur Syahath, Ali Ustman Dr, Mawaqifu Al Tarbiyahmin Hati Al Shohabah, universitas Al Azhar 2006