Orientalisme, sejarah dan perkembangannya
Dari "Wacana" – "kebijakan Politik"
Oleh : Muhammad Jamaluddin, Lc.
Abstrak
Semenjak akhir abad ke-18 telah terjadi arus yang sangat besar, cukup disiplin bahkan sangat teratur antara dua peradaban yakni Barat dan Timur, Islam dan Kristen. Kajian Orientalisme yang selama ini dijadikan sebagai “lembaga hukum” untuk berurusan dengan dunia Timur telah didominasi oleh kekuatan Barat. Mereka yang datang ketika melihat dunia Timur kemudian menata dengan gayanya dan menguasainya. Orientalisme sebagai suatu discourse memang menjadikan sebagian kita tidak bisa memahami disiplin yang sangat sistematis. Hal ini diakui oleh Edward W Said. 'Kemenangan' Barat yang puncaknya pada Abd Ke 18 merupakan sebuah tragedi perubahan paradigma baru dalam sejarah kehidupan manusia, setelah mengalami kesulitan selama seribu tahun (1000 tahun). Rentan waktu yang cukup panjang.
Cengkraman Barat terhadap dunia Timur semakin nyata bukan saja dalam tataran wacana, akan tetapi dalam bentuk kebijakan politik, ekonomi, militer, bahkan unsur pemaksaan dan kekerasan. Dengan slogan demokrasi misalnya dalam kebijakan politik, sistem kapitalis dalam ekonomi, liberal dan sekular dalam idiologi dst. Indonesi, mersir, Arab Saudi, Iran, Irak dan Negara-negara islam lainya, adalah sasaran orientalis Barat, disamaping karena penduduknya mayoritas Muslim, ketundukan dan kepatuhannya pun terhadap ajaran Islam sangat menkhawatirkan Barat. Sehingga perhatiannya terhadap perkembangan Islam di negara-negara yang mayoritas Muslim di mulai sejak dini, sebelum menjadi mekar dan berkembang besar.
Definisi Dan sejarah Orientalisme
Secara etimologi orientalisme berasal dari bahasa latin orient yang artinya mempelajari dan mencari sesuatu, kemudian digunakan dalam bahasa Prancis menjadi orienter yang bermakna menunjukan atau mengarahkan dan dalam bahasa jerman menjadi Sich Orientiern yang bermaksud mengumpulkan maklumat dan pengetahuan,[1]. Dalam bahasa Inggris kata orient tidak dirubah dari asal katanya yang asli tapi maknanya berubah menjadi lebih spesifik kepada letak geografis yaitu Asia Timur[2].
Kata orient ini berubah menjadi istilah Orientalisme di dunia Eropa sebagai studi kajian tentang dunia Timur. Menurut Al Berry salah satu anggota gereja Yunani bahwa istilah orientalisme ini muncul pada tahun 1638 M. Kemudia pada tahun 1691 Antony Wood dan Samuel Clarke mengistilahkan orientalisme sebagai pengetahuan tentang keTimuran. Kemudian istilah ini mencul di Prancis Orienter pada tahun 1799, di ikuti inggris menjadi Orientalism pada tahun 1838[3]. Sehingga istilah orientalisme ini menjadi istilah yang mapan dan berkembang di Di dunia Barat-Eropa pada abad ke-18 M.
Secara terminology, orientalisme adalah suatu istilah yang artinya mengetahui segala yang berhubungan dengan bangsa Timur. Kata orientalisme ini digunakan bagi setiap cendikawan Barat yang bekerja untuk mempelajari masalah keTimuran, baik di bidang bahasa, etika, peradaban, dan agamanya.[4] Ilmuwan yang khusus mengkaji dunia Timur dalam istilah Barat disebut Orientalis yang artinya A person Who Studies the language, Art, Etc. of oriental Countries.[5]
Dalam definisi Edward Said tentang orientalisme memiliki beberapa fase definisi yang berbeda beda sesuai dengan perkembangan gerakan orientalisme itu sendiri. Pada fase pertama,- orintalisme mislanya, Edward mendefinisikannya sebagai, "Suatu cara untuk memehami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa.”[6] Definisi ini masih sangat global dan luas, dimana orang-orang Barat masih dalam tahap pencarian dan pemahaman tentang dunia Timur. Pada fase kedua Edward mendifinisikan oreintalisme sebagai "Suatu gaya berfikir yang berdasar pada perbedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara 'Timur' (the Orient) dan 'Barat' (the Occident)[7]. Perbedaan ontologis dan epistemolois yang di maksud dalam definisi Edward meliputi seluruh bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, budaya, etika, gaya hudup dan lainnya, dengan memakai metode akademis dan gaya ilmiah. Pada tahap ini orientalisme dengan gaya ilmiahnya mencari titik-titik kelemahan dunia Timur untuk dijadikan acuan perbedaan antara dunia Timur dan Barat, kemudian mengambil yang bermanfaat dari dunia Timur untuk perkembangan dunia Barat. Pada giliranya kajian yang berlabel akademik dan ilmiah itu bermuara pada tuduhan dan penghinaan bahwa dunia Timur adalah primitif dan tidak berperadaban dan harus mengikuti Barat yang berperadaban.
Pada fase ketiga menurut Edward, oreintalisme adalah suatu yang didefinisikan lebih historis dan material dari kedua arti yang telah di terangkan sebelumnya. Di mulai pada akhir abad ke-18 M. dimana orientalisme dapat dibahas dan dianalisa sebagai lembaga hukum untuk berurusan dengan dunia Timur, dengan membuat pernyataan-pernyantan tentangnya, mengajarinya, menjadikannya sebagai tempat pemukiman, dan memerinthanya. Pendeknya, orientalisme sebagai gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai Timur.[8] Kemudian .fase keempat yaitu sekitar abad ke-19 sampai abad ke-20, telah dibuat asumsi bahwa dunia Timur dengan segala isinya, jika bukan secara paten inferior terhadap Barat, maka ia memerlukan kajian koreksif oleh Barat. Dunia Timur dipandang sekan-akan berada dalam wadah berupa ruang kelas, pengadilan pidana, penjara dan manual bergambar. Jadi orientalisme adalah pengetahuan mengenai dunia Timur yang menempatkan segala sesuatu yang besifat Timur dalam mata pelajaran sekolah, mahkamah, penjara, atau buku-buku pegangan untuk tujuan penelitian, pengkajian, pengadilan, pendisiplinan, atau pemerintahan atasnya.[9]
Empat fase definisi orientalisme yang di lakukan oleh Edward W. Said diperjelas lagi oleh Dr. Musthafa Ibrahim Al Damiry bahwa fase pertama adalah proses pengenalan serta pemahan Barat Eropa terhadap dunia Timur. Kedua, proses perencanaan (apa yang mesti di lakukan terhadap dunia Tumur) Barat-Eropa terhadap dunia Timur. Ketiga adalah tahapan aplikasi pemahaman, pengalaman dan perencanaan Barat-Eropa terhadap dunia Timur dan fase keempat adalah pemaksaan dan kekrasan terhadap dunia Timur.[10]
Kalau dalam definisi yang dilakuakan oleh Edward W. Said Oriental masih dalam makna dunia Timur secara global, baik itu Timur jauh (the Far Orient) yang meliputi wilayah China, India, Jepang, Korea dan wilayah Asia Tengggara maupun wilayah Timur dekat (The near Orient) yang meliputi wilayah Irak, Iran, Syiria, Lebanon, Arab Saudi, atau yang mencakup seluruh wilayah Arab, belum di pertegas dengan dunia Timur (Islam). Maka Dr. Musthafa al Damiry memperjelas bahwa kajian orientalisme yang dimaksud adalah oriental Islam (dunia Timur Islam). Dalam bukunya Al Tabsyir Wal Istisyroq beliau menulis, "Pemahaman dan definisi orientlisme itu adalah, kegiatan yang berlabelkan akademis yang dilakukan oleh orang-orang Barat kafir tentang Islam dan Umatnya dari seluruh aspek, baik yang berhubungan dengan akidah, syariah, budaya, peradaban, sejarah, undang-undang, dengan tujuan ingin mengaburkan (tasywih) makna-makna Islam yang benar, membuat keraguan serta menyesatkan Umat Islam."[11]
Dari definisi-definisi di atas dapat kita fahami bahwa orientalisme dari maknanya yang sangat gelobal kepada makna yang khusus, lalu mengkerucut menuju pemehaman Barat terhadap dunia Islam. Sehingga tidak heran pada perkembangan gerakan orientalisme selanjutnya terfokus pada acuan mendeskreditkan, menghina, menuduh Islam sebagai fundamentalis, teroris dsb, dengan memakai kedok akademis dan ilmiah. Bahkan menggunakan pemaksaan dan kekerasan dengan tujuan ingin menghancurkan sendi-sendi Islam agar peradaban Barat tetap eksis. Hal ini diakaui sendiri oleh salah seorang di antara mereka Geberdeno Ganit, ia berkata bahwa ia tidak pernah berpegang kepada referensi-referensi tertulis apapun dalam karangannya tentang Islam. Akan tetapi ia hanya menyalin pendapat umum dan ia tidak memiliki alat apapun untuk membedakan antara sesuatu yang salah dan yang benar. Kemudian ia berkata dalam karangan yang tidak mengandung nilai ilmiah itu, sebagai berikut, "Seorang yang jahat tidaklah berdosa apabila mencaci orang lain yang melakukan perbuatan lebih jahat daripadanya"[12]. Atau seperti yang dikatakan oleh orientalis Inggris George sale (1697–1736), Ia menulis, “Selama bertahun- tahun bahkan berabad-abad berbagai informasi yang diperoleh masyarakat Eropa tentang Islam dan Al-Quran, bersumber dari kelompok-kelompok Kristen Fanatik. Dengan dasar tendensi dan dendam. Mereka mengetengahkan berbagai alasan yang dibuat-buat. Sifat dan tindak-tanduk kaum Muslimin yang baik di lupakan Sama sekali, namun apabila mereka membicarakan kejelekan kaum Muslimin, mereka justru menampilkan kekurangan itu sebesar gunung.[13]
Dari kesaksian di atas sudah tentu kajian orientalisme berdasarkan sebab dan memiliki motif serta orientasi yang ingin dicapai. Untuk lebih memudahkan kita memahami kajian orientalisme dan framework apa yang dipakai dalam mengakaji dunia Timur. Bagaimana perjalan perkembanan orientalisme hingga mencapai masa kejayaan dan keemasannya. Apa motif serta tujuan yang ingin di capai. Alangkah baiknya terlebih dalu kita mengkaji faktor pendorong dan tujuan orientalime mengkaji dunia Timur.
Motivasi dan Tujuan gerakan Orientalisme
Banyak kalangan yang berpandangan bahwa kajian para orientalis itu tidak sepenuhnya bermotif ilmiah. Sebab apabila motivasinya adalah demi kepentingan keilmuan semata, semestinya kajian mereka obyektif, bersih, jujur, dan dapat dipertanggung jawabkan; tidak memanipulasi data, memutar balikkan fakta, serta bebas dari prakonsepsi buruk tentang Islam. Seharusnya mereka menggunakan metode dan paradigma yang benar, tidak disetir oleh pengaruh negatif yang diciptakan oleh lingkungan, atau warisan dendam sejarah masa lalu yang kelam, di masa permusuhan berdarah ketika perang salib. Dengan demikian semuanya dapat kembali kepada fenomena umum mengenai sikap serta prinsip Barat terhadap Islam.
Sikap anti-pati Kristen Barat terhadap Islam bukan tidak beralasan. Kemarahan yang dilontarkan terhadap Islam adalah ekspresi dendam kesumat yang telah lama bergejolak, ingin menghancurkan Islam. Gejolak itu sebenarnya sudah ada semenjak nabi Muhammad lahir, bahkan semenjak Abrahah menentang Millah Ibrahim. Kemarahan itu didasari oleh kebencian yang mengakar kuat dan fanatisme yang berlebihan. Kebencian ini juga tidak hanya terdapat pada pikiran mereka saja, akan tetapi kebencian ini tersimpan di lubuk hati mereka yang paling dalam.
Bangsa Eropa terkadang tidak bisa menerima pendidikan Falsafah Hindu, Budha, koghucu, dan agama-agama lain, akan tetapi tetap menjaga hubungan baik antara mereka. Dengan mengedepankan akal fikiran yang netral, seimbang dan sehat. Lain halnya ketika mereka menilai Islam, mereka selalu menggunakan pikiran yang tidak waras dan curang, mereka lebih mengedepankan emosi, dendam dan sikap biadab untuk merusak Islam dan menghancurkan umatnya. Hal itu terlihat dari sikap dan cara pandang mereka terhadap Islam, dimana Islam bukan hanya dipandang sebagai agama yang menjadi obyek riset untuk dipelajari, namun juga sebagai tertuduh di depan mahkamah untuk di adili dan di hukum. Dalam Hal ini Edward Said berkata :”dalam bahasa Cromer dan Balfour, Orang Timur di tuliskan sebagai yang di adili (seperti dalam Mahkamah Hukum), yang di kaji dan di paparkan (seperti dalam kurikulum), orang yang di disiplinkan (seperti di sekolah atau penjara).”
Jika diperhatikan, sesungguhnya yang menjadi pendorong gerakan orientalisme tidak lain adalah perasaan superioritas dan hegemonitas Barat terhadap bangsa Timur (Islam) dalam segala lini kehidupan. Dr. Mustafa Ad Damiry dalam bukunya Al Tabsyir Wal Istisyroq, Dr. Hasanai Bath dalam bukunya Anotomi Orientalisme dan Dr. Muhammad Ahmad Syahatah dalam Bukunya Al-istisyroq menjelaskan secara rinci motivasi orientlisme itu sebagai Berikut :
Pertama, Faktor Agama. Ketika Agama Islam datang dengan membawa konsep akidah yang menentang keyakinan Nasrani, diikuti dengan membentuk paradigma baru dalam panggung sejarah peradaban Manusia. Peradaban yang sangat menakjubkan, peradaban yang membuat masyarkat Eropa tercengang, sehingga banyak dari mereka yang memberanikan diri untuk segera melegitimasi kebenaran Islam dan kemudian memeluk Islam. Ketika mereka melihat kemajuan peradaban dan kekuatan militer Islam, timbullah rasa jengkel, hasad, dengki mereka. Akumulasi dari perasaan itu semuanya bermuara pada pandangan bahwa Islam sebagai musuh satu-satunya bagi agama Nasrani.
Perseteruan pun mulai bergejolak. Berbagai siasat buruk dilakukan untuk menghancurkan Islam. Namun perseteruan itu selalu saja di menangkan oleh Islam. Sehingga menimbulkan kemarahan dan dendam terhadap Islam. Berbagai setrategi inovatif pun dilakukan, diantaranya dengan melemparkan tuduhan-tuduhan non argumentatif terhadap Islam seperti menggambarkan Islam sebagai agama yang apatis, tidak mampu mengikuti perkembangan Zaman, bodoh, dan tidak berperadaban. Seperti yang di ungkapkan Cromer tentang kearifan Orientalis : “Sir Alferd Lyall pernah berkata pada saya : “keakuratan adalah hal yang paling menjijikan bagi pikiran Timur. Setiap orang Timur Indo-India harus selalu mengingat kebenaran umum ini.” Tiadanya keakuratan, yang dengan mudah menjadi ketidakbenaran. Dalam kenyataanya, begitulah pikiran orang Timur. Orang Eropa adalah penalar yang cermat, semua pernyataanya menunukkan fakta, bebas dari bentuk kekaburan. Ia adalah logikawan alami. sedangkan orang Timur atau Arab ditampilkan sebagai makhluk yang mudah dikecoh, tidak mempunyai energi dan inisiatif, suka menjilat, berpura-pura, licik tidak penyayang kepada binatang, pembohong, malas, selalu bertentangan dengan pikiran yang logis."
Padahal jika mereka mau jujur, berdasarkan fakta sejarah murni, sesungguhnya yang bodoh, tolol, dan primitif selama seribu Tahun (1000) lamanya adalah bangsa Eropa. Tetapi karena perasaan mereka dipenuhi oleh sikap apriori, kebencian dan dendam, maka fakta sejarah keemasan peradaban Islam (The Golden Age Of Islamic Sivilization) tidak diungkapkan bahkan dikubur dalam-dalam. Inilah sikap obyektif ala Eropa, obyektif menerut kesesuian hawa nafsu dan keinginan mereka.
Diantara mereka yang terang-terangan mengungkapkan keinginan dari upaya Kristenisasi untuk melawan Islam seperti, Louis Mansinion, Job,[14] Leo III ( 717-741), Johannes dari Damaskus (± 652-750 ), Abdul Masih al-Kindi ( ± 873 ), Petrus Venerabilis (Peter the Venerable 1094-1156) ,[15] dan lain-lain, kemudian dikuti oleh pemikir orientalis kontemporer seperti Bernad Lewis, Samuel P. Huntington.[16] Dan kebencian mereka terhadap Islam sebagai agama terus berlajut hingga saat ini. Bahkan sebuah kesimpulan menarik dari yusuf Al Qordowi tentang hubungan Barat dan Timur seperti ini sudah diketahui jauh sebelumnya. Pertentangan antara Islam Dan Barat, merupakan pertentangan (tanaqhud) epistemologi dan aksiologis. Adapun untuk mendekatkan keduanya adalah Mustahil, hal ini disebabkan karena perbedaan framework, termonolgi, metode dan epistemolgi yang dipegang oleh keduanya. Tidak ada manfaatnya untuk melakuakan dialog (hiwar) antara keduanya antara Timur (Islam) dan Barat sebab jika salah satu di antara keduanya mendekat maka yang satunya akan menjauh”[17] kesimpulan ini bukan berarti tidak mungin untuk melakukan hubungan kemanusiaan, dan kemasyarakatan, karena interaksi dalam hidup bermasyarakat tidak mungkin kita hindari. Tapi pertentangan akidah dan idiolegi yang dituangkan dalam bentuk agama tidak akan pernah berakhir. hal ini selaras dengan Firman Allah. Qs. Al-Baqarah: 120 denga Qs. As-Shoff: 8
Kedua, motif Politik. Islam bagi Barat adalah peradaban di masa lalu yang telah tersebar dan menguasai peradaban dunia dengan begitu cepat. Barat yang baru bangkit dari kegelapan melihat Islam sebagai ancaman langsung yang besar bagi kekuatan politik dan agama mereka. Sebab itu harus di selesaikan segera. Barat sadar bahwa Islam bukan hanya memiliki istina-istana megah, bangunan-bangunan monumental, tapi Islam juga adalah ilmu pengetahuan, politik, ekonomi dan peradaban. Merekan pun segera merebut khazanah ini untuk kepentingan mereka, sekaligus untuk menaklukan Islam. Kemudian motif politik ini menjadi motif bisnis atau perdagangan yang kemudian menjadi kolonialisme.
Perkembangan gerakan Orientalisme
Kegiatan orientalisme adalah hasil dari pengalaman Barat setelah berabad-abad lamanya mereka mengahadapi Timur, khususya dunia Islam. Sebagaian sejarawan menulis bahwa orang-orang Barat mulai berkecimpung dalam studi tentang dunia Timur adalah pada permulaan abad ke 7 H. 628 M dimana terjadi perang yang berkecamuk antara kaum Muslimin dan Kristen Romawi yang dikenal dengan perang Mu`tah.[18] Bahkan lebih ekstrim lagi kalau perseteruan yang dimaksudkan antara Barat (Kristen) dan Timur (Islam)--menurut Thomas Right penulis Buku Early Christianity in Arabia—bermula semenjak tentara Kristen pimpinan Raja Abrahah menyerang Ka`bah dua bulan sebelum Nabi Muhammad lahir. Di situ tentara Abrahah kalah telak bahkan tewas. Kalau saja tentara itu tidak kalah mungkin seluruh jazirah itu berada di tangan Kristen dan tanda salib sudah terpampang di Ka`bah. Muhammad pun mungkin mati sebagai pendeta.[19] Hamid fahmi Zarkasyi mengomentari analisa Thomas Right ini sebagai berikut, "Jika Right benar, berarti orang Kristen sendiri telah lama menentang millah ibrahim bapak agama tauhid itu. Jadi motif orientalisme adalah keagamaan dan berkaitan dengan Kristen dan misionarisme. [20]
Sebagian sejarawan lagi mengatakan bahwa orang-orang Barat mulai berkecimpung dalam studi tentang dunia Timur adalah pada permulaan abad ke-10 M, yaitu ketika beberapa orang pendeta Barat khususnya di Andalusia (spanyol) ingin memperlihatkan kebolehan dan kemampuanya setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah-sekolah studi ketimuran. Mereka menerjemahkan Al-Quran dan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa mereka. Selain itu mereka juga menuntut ilmu dari intelektualis muslim dalam berabagai disiplin keilmuaan, khususny filsafat, kedokteran,dan ilmu-ilmu matematika. Diantara sekain banyak pendeta yang berkecimpung dalam bidang ini adalah seorang pendeta Prancis yang benama Gerbert. Dia terpilih sebagai Paus gereja Roma pada tahun 999 M, yaitu setelah ia menyelesaikan studinya diberbagai sekolah di Andalusia dan kembali ketanah airnya. Kemudian langkah ini diikuti oleh Butros (1092/1165 M), serta Geerand de Cremon (1114-1107M)[21]
Menurut Gustave Lebon (sejarawan prancis), ahli-ahli Barat seperti Roger bacon, Leonardo da Vinci, Al Bertus Magnus dll, dibesarkan dalam era keemasan perpustakaan pengetahuan Islam dan Arab. Paus Gerbert (bergelar Sylverstre – II) mengajar ilmu-ilmu alam pada tahun 1552–1562 yang kesemuanya dipelajarinya dari Universitas Islam di Adalusia. Kemudian Gherardo dan Cremona, adalah dua orang ahli astronomi Barat asal Italia yang menerjemahkan buku ilmu Astronomi dari kitab As-Syarh karangan Jabir Ibnu Hayyan. Raja Friederich-II dari Prancis meminta putra–putra Ibnu Rusyd (Averoes dalam ejaan Barat) untuk tinggal di istananya, guna mengajari Ilmu Botani dan Zoologi. Kemudia Apotik dan Ilmu kedoteran, kimia dan Botani. sebelum Abad ke 15 Islam sudah sangat maju dibanding Barat, Ilmuwan Islam telah menemukan 2000 jenis tanaman Thiflorida untuk obat-obatan.[22] Dan barangkali puncak motivasi kajian orientalime ini menjadi lebih serius menurut beberapa sejarawan setelah kekalahan Kristen pada perang salib kedelapan.
Dengan kekalahan itu, mereka beralih ke perang dingin yang didasari oleh "nasehat tulus" yang di utarakan oleh Saint Louis kepada Umat Kristen yang tidak berdaya setelah mereka menderita kekalahan besar pada perang salib kedelapan. Bahkan ia sendiri menjadi tawanan perang di kota Manshuroh (Mesir), namun ia menebus dirinya dengan denda yang sangat besar agar dapat terbebas sebagai Tawanan.[23] Setelah kembali ke Prancis, ia yakin bahwa tidak mungkin memperoleh kemenangan dan mengalahkan umat Islam dengan kekuatan perang. Menurutnya, hal ini karena keteguhan umat Islam dalam menjalankan ajaran Agamanya, semagat Jihad dan keikhlasan yang tinggi, serta semangat mengorbankan jiwa di jalan Allah demi mempertahankan Negara Islam dan menjaga kehormatan dan harga diri.[24]
Umat Islam dengan akidahnya yang kokoh selalu siap sedia untuk berjihad dan berperang. Oleh karena itu Louis berpikir bahwa ia harus mencari jalan lain untuk mengalahkan ummat Islam. Caranya yaitu menggantikan pemikiran yang Islami dengan cara melancarkan perang pemikiran (Gozwul Fikr). Disamping itu juga ia menyakini bahwa cendikiawan-cendikiawan Eropa dengan disiplin Ilmu pengetahuan mereka tentang kebudayaan Islam akan menjadi senjata Baru yang ampuh untuk memerangi umat Islam.
Begitulah, akhirnya strategi peperangan berubah menjadi peperangan di bidang akidah dan pemikiran. Tujuannya adalah mengaburkan Akidah umat Islam yang berakar kokoh, berisi jiwa Jihad serta mendorong semangat orang yang beriman untuk rela mati di jalan Allah. Nasehat Louis inilah yang merupakan asas dalam merubah kiat bangsa Eropa dalam mengahadapi Islam dan umatnya; dari genjatan senjata menjadi perang dingin. Serangan-serangan mereka akan dilancarkan dari dalam negara Islam Itu sendiri.
Nasehat tersebut telah terwujud dalam dua Tahap: Pertama, terjun lansungnya prajurit-prajurit Kristenisasi dan orientalisme untuk beraktivitas sebagai penyampai pemikiran yang mapan, melancarkan Kristenisasi dengan mengacaukan situasi komunitas Islam, aktif membuat tulisan dan karangan-karangan. Kemudian hasil karya mereka dipublikasikan di tengah-tengah lembaga pendidikan suatu masyarakat Islam. Inilah fase pertama pelaksanaan nasehat Louis sang panglima perang Salib itu.
Kedua, mengerhakan sebagian umat Islam dari golongan pemerintah dan pemikir, serta mencelupkan akidah dan moral mereka dengan aroma Barat. Kemudian memuluskan kenaikan Pangkat yang berpengaruh dalam memutuskan kebijakan-kebijakan Negara yang berhubungan dengan politik, pemikiran, penerangan dan pendidikan. Hal ini ditujukkan agar mereka menjadi agen-agen pelaksana metode Barat yang patuh di negeri Islam yang merupakan tanah airnya dan Negara yang dianutnya. Hal ini dikatakan oleh Cromer ketika ia akan meninggalkan Mesir: "kami akan pergi meninggalkan Mesir dan kami akan memerintahnya dengan mengunakan pemimpin pemimpin asal Mesir Tapi berfikir Barat"[25] Maksudnya adalah penjajahan materi akan berangkat dari Mesir sedangkan pengaruh pemikirannya akan kekal pada diri orang-orang Mesir dan mereka akan memerintah Mesir dengan pemikiran kami yang menentang Islam sebagai pengganti kami.[26]
Terlepas dari perbedaan sejarawan dalam menentukan awal mula mulainya gerakan orientalisme, yang jelas jika dikaji secara serius orientalisme bisa di bagi empat Fase penting :
Fase pertama, dimulai pada abad abad ke-16 M. Pada fase ini orientalisme dapat dikatakan simbol gerakan anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen, seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa akar gerakan ini jika di telususri merupkan reaksi substansi ajaran Islam yang sejak dini sekali telah menetang Kristen dan Yahudi, Al-Quran jelas sekali membeberkan kerancuan akidah dan pemikiran mereka. Selain itu kekalahan bangsa Eropa-Kristen dalam perang salib juga memicu semangat anti-Islam ini. Islam dalam pandangan orang Kristen merupakan simbol teror, perusak dan barbarian. Balfour dan Cromer secara khas mengemukakan beberapa istilah seperti orang Timur Irrasional, bejad Moral, kekanak-kanakan, "berbeda" jadi orang Eropa adalah Rasional, berbudi luhur, dewasa dan Normal.[27] Bagi orang Eropa, Islam adalah trauma yang tak pernah berakhir. Southern dalam bukunya Western Views Of Islam In the Middle Ages, menulis bahwa "Orang Kristen berharap agar Timur dan Barat-Eropa bersepakat bahwa Islam itu adalah Kristen yang sesat (Misguided version Of Christianty). Bahkan tidak sedikit yang menulis Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi, dan sebagainya, yang kesemuanya itu diambil dari doktrin keagamaan yang dibawanya.[28]
Fase kedua, orientalisme pada abad ke-17 dan ke-18 M. fase kedua ini adalah fase penting orientalisme, sebab ia merupakan gerakan yang bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Pada periode inilah Raja-Raja dan Ratu-Ratu di Eropa sepakat untuk mendukung pengumpulan segala macam informasi tentang ketimuran. Untuk menyebut beberapa nama seperti, Erpernius (1584-1624) menerbitkan pertama kali tata bahasa Arab, yang diikuti muridnya Jacob Goluis (1595-1667) dan oleh Lorriunuer Franz Meurnski dari Australia tahun 1680, selain itu Bedwell W (1561-1632) mengedit tujuh jilid Kamus Bahasa Arab dan menulis tentang sejarah Nabi Muhammad.[29]
Meskipun Barat memerlukan Islam, tapi perseteruan tetap membara. Oleh karena itu selain mengumpulkan informasi tentang Timur, mereka juga menyebarkan informasi negatif tentang Timur kepada Masyarakat Barat. Pada periode ini Alexander Ross misalnya, menerbitkan buku-buku yang banyak menghujat Islam tanpa memilikidasar apa-apa. Ia menulis buku berjudul the prophet of turk and author of the al-Qoran. Dalam buku-bukunya ia sering kali mengunakan kata-kat kasar seperti the great arabian imposter, the litle horn in the danial, arabia swine, goliat, grand, hypocrite, great thief terhadap Al-Quran. Ia juga menuduh Nabi Muhammad seperti, corrupted pudlleof mohammets invention, mis-shapen issue of muhamets brain, atau a gallimaufry of error dan sebagainya. Pada tahun 1679 Humphey Predeaux menulis sejarah hidup Nabi Muhammad, tapi buku itu berusaha membuktikan asumsi bahwa Nabi Muhammad itu pandai berpura-pua, pandai mengelabui orang, penipu dan cerdik. Buku seperti ini dijadikan referensi standar oleh orientalis selama seabad lebih. Singkat kata, jika pada fase pertama diwarnai oleh semangat anti Islam, maka priode ini adalah priode caci maki orientalis terhadap Islam dalam bentuk tulisan.
Fase ketiga oreantalisme adalah abad ke-19 dan seperempat pertama abad ke 20. Fase ini adalah fase terpenting bagi orentalisme dan umat Islam sendiri. Sebab pada fase ini Barat telah benar-benar menguasai negara-negara Islam secara politik, militer, kultural dan ekonomi. Pada fase ini banyak orientalis yang menyumbangkan karyanya dalam banyak bidang studi Islam. Tidak sedikit pula dari karya-karya berbahasa arab dan persia diedit, diterjemahkan dan diterbitkan. Mungkin karena orang Barat telah masuk dan menguasai negri-negri Islam sehingga dengan mudah mereka mendapatkan bahan-bahan tentang Islam.
Oleh sebab itu pada waktu yang hampir berasamaan lembaga-lembaga studi keislaman dan ketimuran didirikan dimana-mana. Tahun 1822 diparis didrikan Society Asiatic of Paris, Royal Asiatic of Great Bretain dan Ireland didirikan tahun 1823 di inggris. Tahun 1842 di Amerika juga didirikan American Oriental Socaity. Tahun 1916 di Universitas London didirkan School of Oriental Studies sekarang jadi SOAS (School of Orintal and African Studies). Diantara tokoh orientalis yang terkenal pada masa ini adalah Goldziher(1850-1908). Dengan berdirinya pusat-pusat studi keislaman tersebut, framework kajian orientalis mengalami pergeseran yang signifikan dari fase caci maki menjadi serangan sistematis dan ilmiah. Namun demikian serangan sistematis dan ilmiah itu tidak berarti tanpa kesalahan dan bias. para oreantalis di abad pertengahan memang memiliki informasi yang kurang valid tentang nabi muhammad, sehingga tulisan mereka bernada negatif. Namun para orientalis di zaman modern yang dianggap telah memiliki pengetahuan Islam yang relatif lebih banayk, masih saja bersikap negatif dengan cara yang lebih akademis. Yang jelas mereka tidak mengekspos misi yang dibawa Nabi, dan menjelaskan nilai-nilai universal Islam yang disumbangkan kepada dunia.
Fase keempat orientalisme ditandai dengan perang dunia ke II. Khusus di Amerika, Islam dan umat Islam menjadi obyek kajian populer. Kajian itu bukan saja dilalakukan untuk kepentingan akademis, tetapi juga untuk kepentingan perancang kebijakan politik dan bisnis. Namun pada fase ini kajian orientalis berubah dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut. Cantwell Smith terang terangan mengatakan "Pencarian ilmu selalu siap mengubah hipotesanya. Faktanya memang orang-orang Barat non muslim baru saja memperlembut sikapnya terhadap Islam dan bahakan menarik kata tidaknya" (lihat on understanding Islam-selected studies,the hague, 1981, 296). Sir Hamilton Gibb secara diplomatis mengatakan, ia menerima pendapat bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman pribadi Nabi Muhammad, tapi Islam perlu menafsirkan ulang konsep yang tidak bisa dipertahankan lagi itu. (Pre-Islam monotheism in arabia, harvard thelogical review, 55, 1962, 269). Perubahan sikapnya begitu kentara berubah dari menuduh nabi sebagai penipu, mereka kemudian mempersoalkan konsep wahyunya, dan kini mereka mulai mempersoalkan interpeatasinya.[30]
Methode serta fremowork yang dipakai Barat dalam mengakaji dunia Islam senantiasa berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi perkembangan zaman, perbedaan tempat dan waktu, serta daya berfikir rasional manusia. Label akademis, Ilmiah dan obyektifitas merupakan senjata utama dalam memutarbalikan fakta sehingga terkesan obyektif dan ilmiah. Padahal dalam obyektifitasnya itu tersimpan banyak pertanyaan-pertanyaan yang justru tidak menunjukkan sikap ilmiah dan obyektif. Hal itu terlihat mislanya dalam kajian mereka tengatang Al-Quran yang menggunakan metode kritik Bible (Bible Criticsm). Mereka mengklaim penggunaan metodologi kritik Bible sebagai metode Ilmiah.
Dalam kajian teologi Islam kalangan orientalis menggunakan tiga pendekatan dan metode pertama, filologi, yang meliputi penelitian nilai naskah (textual criticms), penelitian bentuk karya Tulis (Form criticisn), dan penelitian terhadap sumber karya (source criticism). Kedua, menggunakan metode kritik sejarah (Historical Criticism). Pendekatan ini bertujuan memilih berita, cerita atau laporan mana yang benar dan mana yang palsu, membedakan antara sejarah dan legenda, antara fiksi dan fakta, antara mitos dan realitas, memilah “antara konon terjadi” dan “yang sebenarnya terjadi”, berkenaan dengan riwayat hidup atau karir seorang tokoh atau mengenai karya yang disandarkan kepadanya.
Ketiga, melalui pendekatan filsafat, lebih menekankan pada aspek kesinambungan pendekatan tentang berbagai tema dalam konteks sejarah pemikiran manusia (history of ideas). Yang diperhatikan dalam pendekatan ini ialah isi dan sistem pemikiran seorang tokoh serta sumbangannya dalam bidang yang digelutinya. Seperti pandangan teologi manusia Barat sebelum abad modern masih dalam tahap animisme dan pandangan Aristotel, teologi metafisika. Kemudian pada abad modern membuka jalan bagi filsafat sekularis dan mekanika. Membuktikan eksistensi Tuhan dengan berdasarkan pada ide tantang wujud sempurna dalam pikirannya. Descartes, Kepler, Galileo, Boyle, dan para filosof mekanika lainnya membedakan antara kualitas primer dan kualitas sekunder untuk mencopot animisme dari Alam. Yang pada gilirannya menjadikan teologi hanya hal yang skunder, atau hanya sebuah perasaan atau sesuatu yang muncul dari pikiran manusia (Human mind). Seprti halnya, warna, kekerasan, rangangan dan rasa pahit. Dengan berkembangnya pemikiran teology modern ini, orang Barat sampai kepada tahap pertanyaan, “apakah Tuhan itu ada atau tidak?”
Perkembangan sains modren ini mempengaruhi wilayah teology dan agama, dan pada saat itulah pandangan hidup orang Barat berubah secara fundamental, yang disebut sebagai akal modoren (modern mind). Pada abad post-modernisme pandangan teologi Barat berubah menjadi apa yang disebut dengan teologi post-modernisme. Pada abad ini munculnya eksistensialisme (pemehaman tentang kewujudan) dan filsafat analitik yang merupakan dua gerakan yang sangat dominan. Dan pemahaman ini hasil dari pikiran Pos-Modernisme (post-Modern mind).
Munculnya pemahaman post-modernisme ini bukan saja menghapuskan realitas serta metafisika yang objektif dengan sistem baru, tapi juga meremehkan serta mengsampingkan doktrin agama yang berdasarkan pada metafisika. Dimana agama pada abad post-modernisme didekati dengan pemikiran yang bersifat ateistik, (tidak adanya sebuah agama) atau sebuah penggugatan terhadap agama, pandangan ini tercermin dari pandangan mereka tentang nilai (value). Dimana sebuah nilai menurut mereka adalah suatu yang absolut, artinya, nilai adalah suatu yang harus diikuti oleh agama dan masyarakat. Agama tidak lagi dijadikan sebagai satandar nilai dalam kehidupan manusia. Karena itu dalam pandangan Nietzsche proses nihilisme (tidak adanya sebuah nilai) adalah devaluasi nilai tertinggi yang membawa kepada kesimpulan doktrin “Kematian Tuhan”.[31] Artinya standar nilai untuk menilai sesuatu tidak lagi berdasarkan kepada sesuatu yang metafisis, realistis, relijus ataupun yang mengandung ketuhanan.
Kemudian pada era globalisasi pandangan Barat tentang ketuhanan bergeser kepada paham globalisme agama, yang di pelopori oleh Jhon Hick. Dimana manusia ahrus mengubah (revise) atau merombak (deconstruct) pemikiran-pemikian dan keyakinan-keyakinan agama tradisional agar seirama denga semangat Zaman, dan nilai-nilai yang diyakini “universal”.... Teori baru yang sangat krusial dewasa ini dikenal dengan “Pluralisme Agama”.[32]
Dalam kajian mereka tentang Hadist, orientalis Barat memulainya dengan meragukan kejujuran (tsiqoh) para sahabat, kemudian Isnad, Rawi dan matan dari Hadist tersebut. Sehingga dengan gaya kritik yang dipakainya memungkinkan mereka meregukan kesohihan hadis-hadis Bukhari dan Muslim. Inilah gaya orientalis Barat dalam mengakji Islam yang sebagian intelektual Muslim kadang tidak menyadari hal itu sehingga tidak sedikit di antara mereka yang amat apreseatif terhadap kajian Islam para orientalis ini, dan kemudian mengadopsinya untuk kajian Islam. Malah akhir-akhir ini, kritik-kritik para orientalis yang tendensius dan bias itu disuguhkan kepada umat Islam, dengan maksud agar umat Islam berfikir kritis. Tapi anehnya, justru para cendikiawan itu sendiri tidak kritis terhadap kritik para orientalis. Tidak sedikit yang Mengamini dan bertaqlid buta terhadap kritikan orientalis dan berbalik mengkritik Islam dengan menggunakan bahasa dan metode orientalis. Padahal sikap ilmiah orientalis yang konon obyektif itu menyisakan banyak pertanyaan-pertanyaan dan menyuguhkan pendekatan yang penuh bias. Kajian edward Said yag tidak kalah ilmiahnya menggabarkan dan menyimpulakan bahwa "Apa saja yang dikatakan oleh orang-orang Eropa tentang Timur tetap saja Rasial, Imperialis dan Etnocentris.[33] Sebab dalam karya-karya Barat tentang Timur, Barat Memandang Timur dengan rasa superioritas yang tinggi.
Pengaruh wacana pemikiran orientalis dalam kebijakan Politik Luar Negeri Barat (Amerika)
Gerakan orientalisme pada abad 21 menjadi begitu kasar dan kejam yang bukan hanya bergelut di bidang akedemik, ilmisyah, sosial kemasyarakatan, teology dunia timur [Islam}, tapi juga menentukan kebijakan politik luar negeri pemerintah Barat, khususnya amerika yang tengah menguasai gelanggang dunia internasional khusunya negara-negara Islam. Hal ini dapat kita lihat beberapa kebijakan politik praktis luar negeri Amerika berlandaskan pada pengaruh wacana pemekiran orientalis yang ingin menghancurkan Islam dengan sistem kekerasan dan sok toleran.
Pelaksanaan kebijakan politik luar neheri Barat {Amerika} di ambil dari berbagai sumber, dari lembaga eksekutif seperti presiden, termasuk para penasehatnya, dari tim pembuat opini dan kelompok-kelompok penekan {pressure group}, kelompok-kelompok pemikir {think tank},pers, kongres dan lain-lainya; sehingga data-data tentang negara-negara islam yang ingin dimusnahkannya benar-benar valid dan tertata rapi, yang tidak akan menimbulakan gejolak masyarakat dunia dengan kebijakan politik Amerika terhadap negara-negara Islam. Disampaing itu beberapa orientalis akomodasionis seolah oposisi dengan kebijakan politik pemerintah ekskutif Amerik terhadap Islam politik. Dengan sikap seperti agak toleran mendukung Islam dan negara-negara Islam dalam menentukan sikap di kancah politik dunia inetrnasiaonal. Walhasil opini orientalis akomodsionis hanya sebagi lipservice dan wacana pada dunia Islam untuk menunjukkan bahwa barat tidak semuanya menyetujui kebijakan politik luar negeri AS yang menekan negara-negara Islam untuk mengikuti segala ketentuan dan keingina mereka demi kepentingan oportunis Amarika dan sekutunya. Karena gambaran orang Amerika tentang Islam adalah tantangan baru sekaligus ancaman bagi dunia barat.
Walupun ancaman militer dari dunia islam bagi barat sudah mereda pada akhir bad ke 17, tantangan religios dan intelektual dari negara Islam terus menemui imajinasi banyak orang barat. Persepsi budaya orang Amerika umumnya menganggap bangsa Arab atau Muslim berbahaya, tidak dapat di percaya, tidak demokratis, barbar dan primitif. sejak awal 1980an {khususnya setelah revolusi
Tidak lama setelah revolusi Iran, sebuah pengumpulan pendapat dari orang-orang yang mewakili arus utama {mainstream} Amerika menunjukan bahwa pendapat pluralitas Amerika yang di jaring langsung seusai revolusi Iran melihat "Islam" sebagai budaya yang tidak bersahabat dan sinonim dengan gambaran pelaku revolusioner republik Islam Iran.menurut jejak pendapat ini persepsi orang Amerika tentang Arab, Islam, Muslim, Iran {jejak pendapat ini mengasosiasikan erat antara Muslimdan Arab dengan Iran} adalah: mereka menagncam orang;dengan seluruh atau sebagaian besar"Muslim di gambarkan sebagai orang "barbar" dan "kejam" {cruel} oleh ,44 persen responden, "berbahaya dan licik" {treacherus and cunning}warlike and blood Thirsty)[35] oleh 49 persen, dan 50 persen mengatakan "suka perang dan haus darah" {
Beberapa jejak pendapat dan penelitian yang dilakukan sejak 1981 telah membuktikan bertahanya stereotip negatif yang di anut oleh mayoritas orang Ameriak tentang bangsa Arab/Muslim. Michael Sulaiman telah banyak menulis topik ini menyimpulkan : Banyak orang Amerika cendrung melihat, orang Arab/Muslim sebagai orang yang sangat kaya dan imoral.atau sebagai kaum badhuwi yang selalu di kaitkan dengan
dengan kata lain Islam di lihat oleh banyak orang Amerika sebagai budaya yang bermusuhan dan merupakan ancaman bagi kepentingan dan nilai-nilai budaya mereka. Pandangan rakyat Amerika terhadap Ummat Islam ini mungkin saja berakar dari sejarah religius, dan bisa di telusuri konflik historis antara ummat kristen dan Islam _sebuah pertikaian yang di turunkan dari generasi ke generasi melelui sejarah, sastra, cerita rakyat, media dan wacana akademis. Dan gambaran negatif tentang Islam secara turun temurun di wacanakan oleh barat terhadap masyarakatnya agar senantiasa dan tetap waspada terhadap gerakan-gerakan Islam yang mengancam superioritas barat.
Sikap anti-tesa terhadap islam dan antisipatif dengan munculnya gerakan-gerakan Islam selalu di selogankan oleh orientalis barat, baik orientalis Konfrontasionalis maupun orientalis akomodasionis.
Orientalis konfrontasionalis seperti, Bernard Lewis, Samuel P. Huntington, Martin Indyk, Amos Perlmutter, Daniel Pipes, Mortimer Zulkerman, Richard nixon, Walter Mcdougall, Jonathan Paris, Judith Miller, Kirkpatrick, Robert satlof, dan lain-lain menekan para pejabat eksekutif untuk segara menumpas dan menghabiskan sejak dini gerakan-gerakan Islam yang muncul di negara-negara Islam sebelum ia tumbuh dan mekar, karena ia adalah ancaman Baru Bagi Amerika setelah keruntuhan komunisme Unisoviet. sedang orientalis akmodasinis seperti,John Esposito, Leon T. Hadar, Robin Wright, Jochen Hippler dan lain-lain seolah menekan pihak pemerintah eksekutif Amerika untuk bersikap lebih toleran dengan menganggap bahwa Islam politik hanya sebagai tantangan baru buat Amerika dan dunia barat. Sebab itu perlu sikap dewasa dan tidak perlu di perangi dan dikasari selagi mereka tidak menjadi ancaman masa depan peradaban Barat, dan bersikap demokratis sesuai dengan keinginan barat.
Namun demikian pihak orientalis akomodasionis memberi syarat kepada Islam politik agar bersikap moderat dan tidak fundamentalis, demokratis, humanis.sehingga tidak mengancam superioritas Barat.
Pengaruh opini dan wacana dari kedua kubu orientalis ini menentukan sikap politik praktis Amerika dan barat terhadap Islam ploitik – dan dalam Interaasinya terhadap terhadap gerakan-gerakan Islam terkesan ambigu dan tidak menentu.
Penentu kebijakan luar negari Amerika tanpaknya ragu-ragu untuk menerapkan antara kekerasan dan sikap toleransi dalam menentukan sikap terhadap negara-negara Islam.
Fawaz A. Gerges membagi tiga hal yang mendasari posisi Amerika terhadap Islam Politik.[36] pertama, AS tidak ingin terlihat tak bersahabat bagi negara-negara Islam; ini dikhawatirkan bakal memeprparah sikap mereka terhadap Amerika. para Pejabat pemerintah Amerika tidak mau mengulangi kesalahan yang di buat saat menghadapi revolusi Islam di Iran. kedua, AS ragu-ragu untuk secara terbuka mendukung kelompok Islam manapun kecuali jika menguntungkan bagi kepentingan regionalnya ataupun kepentingan sekutunya. Pejabat-pejabat Amerika mengindap kecurigaan besar pada tujuan kebijakan luar negeri para aktivis Islam berikut agenda mereka. dan ketiga, di dalam lingkaran para pembuat kebijakan luar negeri Amerka, terdapat sebentuk ketidak yakinan tentang kemungkinan terjadinya hubungan baik antara negara Islam dan demokrasi. pandangan Amerika, yang sudah di jejali dengan masukan-masukan implisit mengenai prilaku politik islam, melihat Islam revolusioner itu anti demokratis dan otoriter. sehingga, bukanya memberikan panduan kebijakan yang konkrit, pernyataan-pernyatan resmi AS jadinya berbentuk Bahasa yang mendua dan bisa memunculkan beragam interpretasi.
Kebijakan politik luar negeri Amerika dan barat ini terlihat sangat jelas perbedaan antara satu negara Islam dengan negara-negar Islam yang lainya, seperti bagaimmana sikap Amerika terhadap pemerintah Mesir yang dianggapnya sangat bersahabat. Mesir merupakan gerbang masuk kedunia Arab dan jangkar bagi kebijkan Amerika menangani timur tengah karena kaitan erata dengan daerah teluk penghasil minyak, serta keterlibatan aktifnya dalam proses perdamaia Arab-Israel. Amerika telah menanam investasi besar besaran di Mesir, memberinya bantuan ekonomi dan Militer sebesar lebih daru USD 2 meliar pertahun. Sejak 1979 Kairo telah menjadi sekutu dekat Wasington_melalui proses perdamaian, memfasilitasi negosiasi-negosiasi antara Arab dan
Berbeda sikapnya ketika menhadapi Irak atau
Interpretasi orientalis konfrontasionalis tentang Islam: sang "musuh baru"
Sikap orientalis konfrontasionalis sangat keras terhadap Islam dan Islam politik. mereka lebih melihat bahwa Islam adalah musuh baru yang perlu di musnakan. Sikap toleransi dan demokrasi justru tidak terwujud pada pejabat elitis Barat dalam memberikan kebijakan poltik luar negerinya, khususnya kepada negara-negara Islam yang dianggapnya tidak bersahabat dan mengancam masa depana Amerika dan sekutunya. Pengambilan kebijakan para pejabat elitis Barat khusunya AS atas desakan wacana dan opini yang dibentuk oleh orientalis konfrontasionalis. Mereka senantiasa mendiskripsikan Islam dalam bentuk kejahatan kekerasan, anti demokrsi dan Barat.
Kebanyakan orientalis konfrontasionalis yang sering melabel semua aktivis Islam dengan sebutan "fundamentalis Islam" menganggap bahwa dalam prakteknya, Islam dan demokrasi itu berlawanan.
Samuel P. Huntington dari Universitas Harvard menyatakan: tradisi-tradisi budaya yang mengakar amat dalam membatasi perkembangan demokrasi.
Daniel Pipes terang-terngan menyatakan bahwa "Fundamentalis Islam menentang Barat lebih keras dibanding yang pernah dan sedang dilakukan komonisme. komonisme tidak sepaham dengan kebijakan-kebijakn kita, tapi tidak ada masalah dengan seluruh pandangan kita tentang dunia, termasuk cara kita berpakaian, kawin dan berdo`a. Dan lebih jauh lagi dengan menyerukan bukan hanya penghentian Islamis tapi juga penumpasan dan pembasmian. Ia menuangkannya dalam ungkapan lugas "Islam harus di perangi dan dikalahkan".[39]
Robert Satloff dari Washington Institute for near east policy, menganjurkan AS untuk mengambil langkah-langkah aktif guna bergabung dalam pertempuran yang dilakukan pemerintah-pemerintah timur tengah melawan kaum Islamis. AS harus selalu dalam posisi menyerang, walaupun hal ini menjadikan kita mendekati prilaku-prilaku kotor seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang penuh kebencian."bukankah, tambah Satloff, ini "perang kita juga."[40]
Penyebaran wacana dan opini oleh kalangan orientalis konfrontasionalis Barat tentang kekejaman, kekerasan, kebodohan Islam, serta sebagai sang musuh baru membentuk cara berfikir masyarakat barat dan kebijakan politik pemerintah eksekutif AS. Sehingga tidak heran jika mendengar Islam dan Islam politik seolah hal yang memokan dan sangat menakutan. Di inggris dan di Negara-negara barat lain misalnya muncul berbagaimacam istilah seperti, Islamofobia, teroris Islam, ekstrimis Islam dan lain. Yangmnama seluruh definisi istilah yang di munculkan bermuara pada intimidasi terhadap islam dan gerakan Islam itu sendiri.
Istilah "fundamentalis Islam" misalnya mengarah kepada geraka-gerakan dan aktivis-aktivis Islam yang ingin menjalankan Syariat Islam yang benar dan murni, serta menjadikan Islam sebagai jalan hidup sekaligus dijadikan undang-undang dalam kehidupan ketatanegaraan. Adapun kelompok yang tuduhnya seperti, Hamas, Hizbullah, Al-Ikhwanul Muslimin, Jemaat Islami, dan Hizbut Tahrir Al-Islamy. Semua geraka-geraka ini dan para aktivis-aktivisnya dikleim sebagai musuh baru yang perlu diperangi dan di hancurkan sejak dini.
Jika di pikir secar kritis, permusuhan barat terhadap Islam bukan karena alasan seperti yang mereka tuduh terhadap Islam, yang tidak demokratis, ekstrimis dan fundamentalis. Akan tetapi lebih kepada tendensi dendam yang memang telah bermula semenjak munculnya gerakan Orientalis Abd ke 7 M sehingga menjadi mekar pada abad 18 m dan berbuah pada aba 20 dan 21 M.
Dalam hal ini Dr. Yusuf Al Qodowy Ulama Muslim Kontemporer mendiskripsikan hubungan Antara Islam-Barat tidak akan pernah akur dan bersahabat, dalam bukunya Beliau mengatakan: "“sudah diketahui jauh sebelumnya pertentangan antara keduanya (Islam Dan Barat), merupakan pertentangan (tanaqud) epistemologi dan aksiologis. Dan adapun untuk mendekatkan keduanya adalah Mustahil, hal ini disebabkan karena perbedaan fremawork, termonolgi, methodology, epistemolgi yang dipegang oleh keduanya. Dan tidak ada manfaatnya untuk melakukan dialog (hiwar) antara keduanya antara timur (Islam) dan barat. Sebab jika salah satu daintara keduanya mendekat maka yang satunya akan menjauh”[41]
Islam dalam pandangan Orientalis Akomodasionis : “tantangan” baru"
Kubu orientalis akomodasinis berbeda cara pandangnya dengan orintalis konfrontasionalis yang menganggap Islam sebagai “musuh” baru. Akomodsionis lebih lebih memilih Islam hanya sebagai “tantangan” baru, bukan sebagi musuh yang harus di musnahkan dan di musuhi.
Jhon Esposito dan Leon T. Hadar dua pelopor akomodasionis berargumen bahwa, sudah terlalu sering para akademisi dan pemerintah, bahkan media menonjolkan tindakan-tindakan kelompok keras yang kecil-kecil, dan mengecilkan peran gerakan non politis maupun politis moderat. Pembentukan gambaran yang monolitik menurut Esposito, mengarah ke suatu peyederhanaan Agama yan melihat konflik-konflik politik di dunia Islam dalam ungkapan religius – yaitu sebagai pertikaian Islam keristen.[42]
Sekilas pandangan akomodasionis ini seolah mendukung Islam dalam kompetisi perpolitikan global. Sehingga terkesan bahwa sebagian dari sikap orientalis toleran terhadap Islam Politik dan aktivis Islam. maka tidak heran banyak dari kalangan intelektual dan politiku Muslim yang terbawa arus dengan sikap orientalis yang sok akrab dengan Islam. Padahal sikap Orientalis akomodasionis yang di rekomendasikan kepada pemerintah AS tujuannya demi untuk ke langgengan dan kepentingan masa depan AS, mereka tidak ingin Amerika dan Barat bermusushan denag Islam, karena hal itu akan menghancurkan masadepan AS dan Barat itu sendiri. Sebab itu hadapi Islam politik dengan bermain cantik, tidak perlu dengan kekerasn dan permusushan.
Dalam bukunya Fawaz, Akomodsionis mengnjurkan agar AS tidak menentang hukum Islam, atau aktivitas gerakan-gerakan Islam, “jika” pergrogram tersebut tidak mengancam kepentingan vital AS.[43]
Ungkapan diatas sangat tidak masuk akal, sebab bagaimana mungkin orientasi gerakan Islam harus mengikuti orientasi barat, politik demokrasi Barat dengan konsep Syura dalam Islam, pemahaman Agama di Barat dengan cara pandang Agama didalam Islam, free seks di barat dengan larangan berzina didalam Islam, legalisasi homoseksual di barat dengan larangan Allah di dalam Al quran, pluralisme Agama di barat dengan konsep aqidah dan tauhid didalam Islam, cara berpakainnya barat dengan etika berpakaiannya Islam, konsep ekonomi kapitalis di barat dan landasan ekonomi dalam Islam, bank Konfensional dan bank syariah, hukum dalam konsep barat dengan konsep Islam. Perbedaan yang sangat mendasar ini tidak akan bisa menyatu sampai kapanpun.
Kepentingan Amerika dan barat terhadap Islam mencakup segala bidang kehidupan, baik yang berhubungan dengan politik, Agama, ekonomi, idiology, sosial dan lain-lain. Dan semua kepentingannya terhadap Islam berbeda dengan landasan Islam, dan Barat sendiri sudah dari dulu hingga saat ini meyakini bahwa Islam yang bertentangan dengan keinginan Mereka adalah “musuh” sedang Islam yang sesuai dengan hawa nafsunya adalah “sahabat”, menurut mereka Islam harus di Baratkan. Sebagaimana telah mereka lalakukan terhadap Keristen. Apa anda setuju..?
Langkah orientalis akomodasionis dalam merekomendsikan kebijakan kepada Islam politik terkesan lembut, pelan tapi pasti. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Fawaz : “akan keliru jika kita mebayangkan akomodasionis sebagai orang-orang idealis yang radikal. Keritik mereka terhadap Wacana dominan mengenai Islam Politik lebih di dasarkan pada perhitungan serta kekhawatiran yang pragmatis dan bukannya di sebabkan kekaguman romantis atau rasa mengahargai terhadap kaum Muslimin. Pelan tapi pasti, terkikisnya tatanan politik yang berlaku membuat para akomodasionis merekomendasikan pendekatan inklusif bukan eksklusif, yang bisa mengamankan kepentingan Ameriak Serikat untuk jangka panjang. Dalam konteks ini, saran-saran kebijakan akomodsiaonis berakar dari realitas politik dan bukannya sentimentalitas. Menurut Richard Bulliet dari universitas
Dalam nada serupa Esposito dan Wright berpendapat bahwa, kepentingan kepentingan Barat akan jauh lebih mudah dijaga dengan mengembil kebijakan-kebijakan kerjasama dengan pemerintah Muslim Yang bersahabat.[45]
Orientalis akomodasionis lebih bersikap hati-hati, kekhawatiran, dan rasa takut dengan melihat realitas Islam politik yang tidak bisa di bendung lagi dengan sikap kasar dan keras. Sebab itu sikap inklusif dan sok bersahabat dengan Negara-negara Islam yang se- ide dengan Ameriak harus dirangkul dan diayomi. Sehingga tidak terkesan bahwa AS bermusuhan secara langsung dengan aktivis gerakan-gerakan Islam. Biarkan gerakan gerakan Islam poltik itu berhadapan dengan pemerintah eksekutif negara Islam itu sendiri.
Rekomendasi dari kedua kubu diatas membuat pemerintah
Jadi apapun rekomendasi dari orientalis Barat, baik konfrontasionalis maupun akomodsionis, keduanya mengarah kepada kepentingan dan kestabilan masa depan peradaban Barat. Sekaligus permusushan terhadap islam sebagai Rival politik, ekonomi, ideology, dan peradaban masa depan.
Fawaz A. Gerges yang menilai bahwa Konfrontasionalis adalah “idealis Radikal” dan akomodasionis disebut sebagai “Idealis toleran” “lambat tapi pasti”. Tapi perlu disadari bahwa sebab munculnya rekomendasi dari kedua kubu tersebut karena kebimbangan, rasa takut, dan kekhawatiran terhadap perkembangan Islam dan gerakan Islam politik di negara yang bermayoritas Muslim.
Hal yang senada juga di ungkapkan oleh Dr. Yusuf Al qordhowi dalam bukunya A`dau Al Hally Al Islamy, bahwa anti-tesa Barat terhadap Gerakan Islam, Undanga-undang Islam, aktivis-aktivis Islam di dilumpuhkannya dengan berbagaimacam cara, baik secara konfrontasi maupun akomodasi.[46]
Selanjutnya Dr. Yusuf Al Qordhowi menerangkan tentang fakor-faktor anti-tesa barat terahadap Islam.[47] Pertama, factor takut kalau Islam (negara-negara Islam) bebas dari cengkeraman Barat, baik dari sisi ekonomi, politik, kekuasan, militir , idiologi dan pemikiran. Kedua, Tendensi dendam. Dimana barat senantiasa melakuakan serangan-serangan terhadap Islam dan dengan kekauatan militernya, namaun tidak membuahkan hasil, bahkan banyak yang berbondong-bondong masuk Islam. Dengan realitas ini Barat senantiasa menyimpan dendam yang tak pernah berakhir. Ketiga, factor gridasi (tamak). Ini berawal dari rasa takut mereka terhadap kehilangan materi kekayaan alam, kekuasaan yang terdapat pada negara-negara Islam. Sebab itu mereka ingin mengorek seluruh kekayaan negara –negara Islam dan menguasainya untuk kepentingan oportunis barat. Dan Fawaz A. Geregs juga melihat bahwa selain kepentingan politik dan idiologi, barat juga ingin menguasai lahan minyak di negara-negara Islam timur tengah. Keempat, factor superioritas dan hegemonitas. Menganggap dirinya memiliki kekuatan dan kekuasaan global yang tidak boleh disaingi oleh siapanpun. Kesombongannya sebagai negara adi kuasa menganggap semua negara-negara yang lain Khususnya Islam harus dibawah kekuasaan dan kekuatanya.
Epilog
Dari awal munculnya gerakan orientalis dalam mengkaji dunia Islam hingga perkembangan dan membuahkan hasil, semuanya mengarah kepada kebencian terhadap Isalm dan rasa superioritasnya yang tinggi terhadap bangsa-bangsa lain Khusunya Islam.
Methode ilmiyah dan objektivitas yang selalu di selogannya dalam methode riserch akan menjadi mandul ketika hendak mengkaji Islam. Cara pandangnya terhadap Islam berlandaskan rasa dendam kesumat yang tidak akan berakhir, sesuai dengan peringatan Allah terhadap kaum Muslimin " bahwa mereka (yahudi dan Nasrani) tidak akan ridho sehingga engkeu mengikuti Millah mereka". Selogan demokrasi, Humanisme, ilmiayah, Objektif, dan lain-lainya, tidak lain sesui dengan peringatan Allah Juga dalam
Jadi sangat bohong dan dusta kalau ada yang mengatakan bahwa diantara orientalis ada yang bersikap objektif dalam menilai Islam. Karena dendam mereka terhadap islam tidak mungkin akan berakhir. Dan ketehuailah.. sikap obyektifitas yang di selogankanya itu hanya sebagai strategi di tengah ketakutannya yang sangat terhadap perkembangan Islam poltik.
Daftar Istilah
Paradigma
Berasal dari bahasa Inggeris Paradigm yang bermakna, model, pedoman, teladan. Yang digunakan untuk menunjukan gugusan sistem pemikiran; bentuk kasus dan pola pemecahannya
Liberalisasi
Liberalisasi berasal dari bahasa Inggeris liberalisation yang berati pembebasan. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk ilmu sosial yang menginginkan adanya kebebasan sebebas-bebasnya pada manusia
Terminologi
Asal kata bahasa Inggeris Terminology yang bermakna istilah. Istilah yang digunakan dalam mengkaji sesuatu yang pokok.
Etimologi
Kata yang diambil dari bhasa Inggris Etimology yang bermakna penyelidikan mengenai aal-usul kata (istilah) serta pembahasan dan batasannya
Ontologi
Cabang dari ilmu Filsafat metafisika yang menceritakan watak realitas tertinggi atau wujud (beang). Biasanya istilah ini digunakan dalam Filsafat Teology (ketuhanan).
Epistemologi
Berasal dari bahasa Inggris epistemology yang secara harfiah berarti bagian dari ilmu filsafat yang membahas tentang asal usul. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk menjelaskan tentang filsafat ilmu pengetahuan yang terdiri dari sumber ilmu penegtahuan , cara mendapatkan Ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang berkenaan dengan penggunaan ilmu pengetahuan.
Inferioritas
Asal kata dari bahasa Inggris Inferiority yang bermakna sifat dan keadaan yang rendah, derajat rendah, merasa diri serba kekurangan.
Terorisme
Kata ini dari bahasa Inggris Terorism bermakna perusuh, pengacau, orang yang melakukan kerusuhan. Melakukan tindakan kekerasan untuk mencapai kepentingan khusunya di bidang Politik. Dan istilah ini menjadi akrab pada ummat Islam bahkan Label bagi aktivi gerakan-gerakan Islam yang ingin menjalankan syariat Islam dan islam politik. Khususnya setelah revolusi Iran pada tahun 1979.
Superioritas
Dari bahas Inggris superiority yang berarti keunggulan, keuletan. Perasan lebih unggul dan pintar dari yang lain. Lawan katanya adalah inferioritas
Framework
Dari bahasa Inggris yang berarti kerangka. Biasa digunakan Kerangka, proese cara berfikir yang di ikat dalam satu bingkai.
Fanatisme
Suatu faham yang kolot dan ortodok. Dan terlampau kuat memegang keyakinan lamanya sehingga sulit menerima unsur-unsur anjaran dan pandangan baru.
Hegemonitas
Dari bahasa Inggris yang bermakna keunggulan satu negara atas negara lain, atau kakuasan ttertinggi atas negara lain khususnya penguasaan dalam bidang politik.
Discourse
Asal kata dari bahsa Inggris yang bermakna wacana , tulisan, pidato, ceramah. Istilah ini biasanya di pakai dalam kajian ilmiyah.
Apatis
Dari bahasa inggris Apathetik, yang berati tidak menghiraukan, acuh tak acuh terhadap kondisi di sekelilingnya.
Sekularis/me
Berasal dari bahasa inggris secular yang berarti duniawi. Paham ini memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, Politik dan Agama, spritual dan material.
Fundamentalis
berasal dari bahasa inggris Fundamental yang secara bahasa bermakna pokok atau asasas. Istilah Fundamentalis ini muncul ketika gerakan modernisasi di Barat abad ke 18 dimana pihak gereja ortodok (yang masih menginginkan agar kekuasaan dibawah genggaman gereja dan tidak ingin merubah interpretasi injil yang telah ada) melawan gerakan modernisasi dan liberlisasi. Kaum moderni dan liberalis barat melabel perlawanan gerejawan ortodok sebagai anti-lmodernisasi dan liberalisasi, dan layak di sebut sebagai fundamentalis. Kemudian selanjutnya istilah ini masuk ke wilayah Islam dan aktivis-aktivis gerakan Islam. Khususnya setelah revolusi Iran 1979.
Jhon L. Esposito (ilmuwan Politik) mengartikan Fundamentalis (khusunya undamentalis Islam) kepada Tiga bentuk dan definisi. Pertama, fundamentalis adalah orang-orang yang menghendaki agar kembali ke-kepercayaan dasar, atau dasar-dasar suatu agama. Dalam yang terbatas, hal itu dapat mencakup semua orang Islam yang menerima Al-Quran sebagai Firman Tuhan dan sunnah sebagai sebagai model hidup yang normative. Kedua, Fundamentalis (me) yang pengertiannya dipengaruhi oleh protetanisme Amerika. Dalam Webster`s Ninth New Collegiate Dictionary, fundamentalisme diartikan sebagai sebuah gerakan protetanisme abad ke duapuluh yang menafsirkan Injil secara literal sebagai hal yang fundamental bagi kehidupan dan ajaran Kristen. Disini Istilah Fundamentalis adalah mengandung hinaan dan bermakna statis, kemunduran dan eksrim. Ketiga, kata Esposito, kata fundamentalis kerap di sejajarkan dengan aktifitas politik, ekstrimisme, fanatisme, terorisme, dan anti Amerikanisme.[1]
Akomodasi
Dari bahasa Inggris Accommodation, yang bermakna penyesuain diri di dalam menyelesaikan perselisihan dan persengletaan.
Konfrontasi
Dari bahasa Inggris confrontation yang bermakna berhadapan, bermusuhan secara transparansi (terang-terangan).
[1] H. Ahmad Sumargono, Saya seorang Fundamentalis, Global Cita Press (GCP), 1999, bagain Muqaddimah
[1] Dr Muhammad sayyid Ahammad Syahatah, Al Istisyraoq, Fakultas Usuluddin dan Dakwah Al Azahar University 2003 Hlm 13
[2] Lihat Jhon M. Echol dan hasan Sadhili, kamus Inggris Indonesia
[3] Ibid, Dr. Muhammad Sayyid Ahmad Syhatah, …..
[4] Dr Hussai Bathh, Anotomi orientalime, menara Kudus Jakarta, 2004 Halm 19
[5] Oxford Advanced learner Dictionary, Oxford University press 1995 hlm 818
[6] Edaward W. Said, Orientalisme, penerbit pustaka, Bandung. 2001, hlm 1
[7] ibid
[8] Ibid edawar W. Said Orientalisme...
[9] Ibid
[10] Musthafa Ibrahim al Damiry, Al Tabsyir wal Istiyroq, kulliyah usuluddin wa Al Dakwah Zagazig 2004 hlm 102
[11] Ibid
[12] Ibid, Anotomi orientalisme…… hlm 36
[13] http:/www.irib.ir/worldservice/melayuRADIO/01misionaris.htm#provinsi%20BUSHER
[14] Husain Bathh, Anotomi Orientalisme Hlm 48
[15] Adnin Armas M.A, metodologi Bible dalam Studi Al-Quran, pt. Gema Insani, 1426 H. / 2005
[16] Baca pemikiran mereka, Adiyan Husaini, Wajah peradaban Barat
[17] Dr. Yusuf Al Qordhowi, Al Islam Wal Ilmaniyah, maktabah Wahbah Kairo Mesir, 1997, hlm- 22
[18] Ibid Dr. Muhammad Ahmad Syahath…..
[19] Majalah ISLAMIA, Vol II No. 3 Desember 2005 Hlm 5
[20] ibid
[21] Ibid anotomi oreintalisme…….. hlm 28
[22] Lihat AL IKHWAN. NET, Rabu, 07 Desember, 2005
[23] Ibid, Anotomi Orientalisme……. Hlm 20
[24] ibid
[25] Ibid Anotomi orientalisme…… Hlm 22, dan utnuk lebih mengetahi ungkapan-ungkapan Cromer terhadap Mesir khusunya dan Arab (Islam) umumnya bisa di baca Edwar W. Said, Orientalism.. Hlm 49-60
[26] Ibid
[27] Ibid Edawr W. Said, Orientalisme,….. Hlm 51
[28] Ibid Majalah ISLAMIA……… Hlm 5
[29] Ibid ISLAMIA…….
[30] Ibid Islamia……..
[31] Op-cet, hlm 42
[32] ISLAMIA, THN I NO. 4 / JANUARI-MARET 2005, hlm 48
[33] Edwrad W. Said………hlm 204
[34] Fawaz A. Gerges, Amerika dan Islam politik, penerbit Alvabet Jakarta 2002
[35] Ibid, Fawaz A. Gerges, hlmn 8.
[36]Ibid, Fawaz A. Gerges, hlm 4
[37] IbidFawaz A. Gerges,
[38] Ibid,Fawaz A. Gerges, hlm 27
[39] Fawaz A. Gerges….hlm 31
[40] Fawaz A. Gerges… hlm 33
[41] Dr. Yusuf Al Qordhowi, Al Islam Wal Ilmaniyah, maktabah Wahbah Kairo Mesir, 1997, hl. 22
[42]Fawaz A. Gerges….hlm 34
[43] Fawaz A. Gerges….hlm 37
[44] Op-cet, fawaz A. Gerges… Hlm 38
[45] Opcet 39
[46] Dr. Yusuf Al Qordhowi, A`dual Al Hally Al Islamy, Maktabah Wahbah Kairo 2000, hlm19
[47] Sialakan rujuk ke buku Dr Yusuf al Qordhawi, A`dual Al Hally Al Islamy, Maktabah Wahbah Kairo 2000
No comments:
Post a Comment