Wednesday, January 19, 2011

Obyektivitas Dan Ilmiyah Dalam Pemikiran Islami (2)

Islam mengajarkan framework berfikir yang ilmiyah dalam memandang dan menilai sesuatu dengan epistemologi yang jelas. Natijah (nilai) berfikir dalam Islam menghasilkan kepuasan intelektual dan spiritual, sehingga tidak ada keraguan dalam mencapai sebuah kebenaran yang hakiki. Secara ringkas Dr. Abdul Karim Hamidi al-Jazairy Menjelaskan diskripsi fremawork berfikir ilmiyah menurut Islam sebagai Berikut : (lihat majalah Al Wa`yul Islamy, edisi 489, jumadil Ula 1427 H/Juni 2006)
1.Dalam mebangun landasan berfikir hendaklah didasari dengan Argumentasi (dalil) yang benar, sehingga mencapai kepuasan intelektul dan spiritual (ketenangan Hati).

Larangan Al quran untuk berfikir tanpa dalil terdapat didalam firman Allh Awt. “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak ketahui, karena pendengaran, pengelihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”. (al-Isra` 36)

Sayyid Qutb berkata “ayat yang pendek ini memiliki nilai serta methode (kajian) yang sempurna, meliputi hati dan akal, mencakup framework ilmiyah seperti slogan manusia modern saat ini.
Ia bersandar kepada keteguhan hati serta pendekatan diri kepada Allah swt, yang merupakan keistimewaan dan nilai Plus dalam metode kajian yang digunakan Islam dibanding hanya bersandarkan kepada Akal gersang. Untuk mengkaji segala bentuk informasi, relaitas, atau penelitian perlu memiliki epistemologi pemikiran yang jelas dan valid.

Al-Qur`an adalah landasan dasar utama sebelum menentukan dan menetapkan sebuah kesimpulan (dari penelitian). Jika tetap komitment dengan metode ini (al-Qur`an sebagai landasan dasar dalam kerangka berfikir), maka tidak ada tempat bagi keraguan didalam Aqidah, tidak ada tempat bagi prasngaka dan syubhat dalam dunia hukum, undang-undang serta muaamalah dan tidak akan mengahsilkan kesimpulan subyektif (dangkal) dalam metode penelitian dan kajian ilmiyah. (lihat Tafsir Fi Zilâlil Qur`an, Surat Al-Isra` ayat 36)

2.Menghindari prejudice dan dugaan. Munculnya pemikiran yang berlandaskan pada dugaan disebabkan karena pengetahuannya yang terbatas terhadap kebenaran yang hakiki tentang sesuatu. Sedangkan arti dari dugaan itu sendiri adalah prangsangka yang dibangun dalam diri seseorang yang bersandarkan pada sebuah kesimpulan tanpa adanya dalil yang pasti dan jelas untuk menguatkan argumentasi pemikiran yang di bangun.
Landasan pemikiran dugaan ini telah di jelaskan didalam Qs.6:116, 43:20, yang menegaskan bahwa landasan pemikiran itu tidak bisa dibanguan hanya dengan mengikuti akal pikiran manusia yang terbatas. Selain itu, dugaan adalah bangunan pemikiran yang tidak berlandaskan kepada ilmu, melainkan hanya berpegang pada sangkaan.
Para ulama bersepakat, bahwa landasan dasar sebuah keyakinan dan keimanan dengan menduga-duga adalah mazmum (tercela), karena iman hanya dapat dibangun dengan keyakinan bukan dengan dugaan.

Prasangka adalah landasan yang lemah jika hal itu dikaitkan dengan keimanan terhadap pengetahuan yang ghoib. Allah Swt, menjelaskan didalam Qs.2:46. Ayat ini menjelaskan, prasangka bersandarkan kepada akal yang lemah yang tidak meliliki dalil yang shohih. Hal itu akan menyebakan adanya kesimpulan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiyah, jika hal itu dikaitkan dengan penelitian. Kesimpulan berlandaskan pada dugaan dan prasangka tidak akan sampai pada kebenaran sejati, Lihat Qs.10:36.

3.Jauh dari keinginan hawa nafsu. Dalam pandangan dan pemikiran Islami, orientasi dari semua pemikiran dan penelitian mencapai pada suatu titik kebenaran (al-Haq), baik hal-hal yang berhubungan dengan Agama ataupun urusan duniawi. Begitu juga hal-hal yang berkaitan dengan cara pandang dan methodologi berfikir.
Seorang mujtahid hendaklah terlebih dahulu membangun orientasi berfikir dan berijtihad untuk mencapai sebuah kebenaran. Karena dengan niat tulus dan orientasi yang baik akan memperoleh hasil yang baik tentunya, dan ia akan memperoleh ganjaran dari Allah Swt, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw ,
من حكم فاجتهد فأصاب فله أجران ومن حكم فاجتهد فأخطأ فله أجر
Artinya "Barang siapa yang ingin menghukumi lalu ia berijtihad dan benar maka ia memperoleh dua ganjaran pahala dan barang siapa yang ingin menghukumi lalu ia berijtihad dan salah maka ia memperoleh satu ganjaran pahala." (HR. Bukhari.

4.Menyatukan antara Wahyu dan akal. Dalam pemikiran Islami akal tidak boleh lepas dari wahyu, karena wahyu adalah pentunjuk bagi akal menuju titik kesempurnaan berfikir yang hakiki, karena titik klimak hasil pemikiran dalam islam adalah ketundukan dan ketaatan kepada Allah sebagai pencipta dalam bentuk amal perbuatan. Akal dan pemikaran didalam Islam harus tetap relevan dengan wahyu yang diturunkan Allah Swt.

Kebenaran dalam pandangan Islam sangat mahal, menjaga kemurnian ilmu pengetahuan serta tujuan penelitian dalam kacamata Islam adalah sesuatu yang telah lama dianjurkan, ilmiyah dan obyektifitas adalah methodologi yang telah dibangun oleh Islam semenjak diturunkannya Al Qur`an. kemudian kerangka-kerangka obyektifitas dan ilmiyah itu dibentuk oleh para ulama salaf agar memudahkan generasi selanjutnya memahami ilmu-ilmu Islam secara benar.

Mengambil methode ilmiyah yang telah dibangun Islam dalam penelitian adalah–wajib–sesui dengan keyakinan kita, dan mengakui bahwa ia merupaka suatu keharusan yang tidak bisa ditolak. Hal itu karena serluruh obyek riseaarch manusia dibumi ini adalah ciptaan Allah Swt. maka interaksi dengan pencipta Alam raya sebagai obyek risearch adalah suatu keharusan bagi seorang peneliti dan pemikir. Sebab itu awal mula yang mesti dibangun oleh seorang peneliti menurut Dr.Muhammad Fuadi- Bast dalam bukunya silsilatul Fikri Fi Al Tanwiril Ilmi, maktabah Usrah 2006 kairo, hlm 55-57
pertama, keimanan kepada pencipta adalah asas untuk benar-benar memahami alam raya dan kehidupan yang merupakan hasil ciptaan Allah Swt. Dengan iman itu juga sebagai titik tolak benar tidaknya pemikiran manusia.
Kedua, kaitan antara ilmu, pemikiran ilmiyah dengan membangun kesadaran masyarakat untuk memahami adanya pertautan pengetahuan asasi dari satu sisi serta fenomena realitas hidup pada sisi lain, Sehingga keduanya terus saling berhubungan. Dimana antara ilmu dan realitas-hidup tidak saling bertentangan, antara teori dan praktek adalah satu kesatuan. Pepatah mengatakan, ilmu tanpa amal laksana pohon tanpa buah. Pepatah ini menggambarkan, betapa tidak bergunanya orang yang memiliki ilmu penegtahuan tanpa mengamalkannya baik untuk dirinya sendiri, orang lain maupun tanggung jawab dirinya dengan Allah Swt.
Didalam konsep Islam, ilmu merupkan amanat yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, sebab itu tanggung jawab ilmiyah dan obyektivitas menurut pemikiran Islami hendaklah di penuhi. Didalam hadist rasulullah Saw menjelaskan, ada empat hal yang akan dipertnggungjawabkan dihadapan Allah swt, pertama, tentang umurnya kemana dihabiskan, kedua, tentang ilmu kenama ia manfaatkan, ketiga, tentang harta darimana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan, keempat, tentang masa mudanya kemana ia pergunakan.

Jadi, pertanggungawaban ilmiyah dan obyektifitas dalam konsep pemikiran Islami, bukan sekedar pertanggung jawaban di dunia bersama manusia, akan tetapi pertanggunjawaban yang meliputi dirinya, manusia dan Allah Swt.

Wallahu` a`lam

No comments: