Semenjak runtuhnya kerajaan ustmani abad ke 17 M. dan bangkitnya peradaban barat, Islam mengalami problematika internal dan eksternal yang sangat rumit. Problematika-problematika itu meliputi, akidah, ekonomi, politik pemikiran dan pendidikan.
Didalam kekalutan problematika internal yang dialami oleh masyarakat Islam, barat menggunakan kesempatan untuk segera melebarkan sayap hegemonitas tehadap dunia Islam dengan menggunakan seluruh peluang dan fasilitas yang ada demi mewujudkan orientasi penguasaan terhadap dunia umumnya dan Islam khususnya.
Tekanan dari luar dan konflik internal menjadikan umat Islam hingga hari ini belum mampu bangkit dan berjalan tegak seperti masa kejayaan Islam dahulu, sehingga perlunya gagasan baru untuk mewujudkan cita-cita Islam sebagai peradaban masa depan dunia. Dan tentu dalam mewujudkannya membutuhkan generasi yang memiliki visi-misi yang sama untuk menyatukan barisan Ummat.
Kondisi global Umat Islam : sebuah problema
Apabila melihat kondisi realitas umat Islam secara global saat ini, maka akan di sodorkan kepada dua opsi persepspsi yang bereda. Pertama, satu sisi umat Islam berada dalam kondisi memprihatinkan, kedua, di sisi lain Islam sedang menuju kebangkitan.
Kondisi memprihatinkan yang dimaksudkan penulis, adalah dimana hampir seluruh aspek kehidupan umat Islam saat ini dibawa cengkraman Barat, baik dari sisi ekonomi, politik, pemikiran, sistem, pembangunan struktur dan infrastruktur serta lain-lain-nya, seakan terjadi stagnan sirkulasi darah dalam tubuh umat Isalam.
Dalam realitas yang lain, Islam mulai menyadari untuk segera bangkit dan mengatur srategi agar bias keluar dari kondisi kritis ini. Usaha umat Islam ini dinilai oleh Barat sebagai kebangkitan kembali Islam yang menjadi musuh dan tantangan baru bagi peradaban barat; Sebab itu, sebelum gerakan kebangkitan Islam menjadi mekar, para orientalis konfrontasionalis seperti Bernard Lewis, Samuel P. Huntington, Martin Indyk, Amos Perlmutter, Daniel Pipes, Mortimer Zulkerman, Richard nixon, Walter Mcdougall, Jonathan Paris, Judith Miller, Kirkpatrick, Robert satlof, dan lain-lain menasehati amerika dan barat secara global untuk segara di hancurkan sejak dini.
Kesatuan cara pandang dan kerja kolektif : problem solving
Ketika penulis menghadiri sebuah acara seminar umum tangggal 23 februari 2008 di auditorium Masjid Jala` Ramses Kairo yang bertemakan Mubassyrât Intishôr al-islâm (kabar gembira tersebarnya Islam), Dr. Muhammad Imarah, intelektual Islam kontemporer asal Mesir sebagai presentator utamanya menjelaskan perkembangan Islam secara umum, di negara-negara Eropa khususnya.
Beliau menjelaskan secara terperinci tentang perkembangan Islam di beberapa negara Eropa dan Amerika, seperti Prancis, Jerman, Ingggris, Roma dan lain-lain. Daintara yang dijelaskannya adalah tentang negara-negara Eropa dan Amerika yang telah disebutkan diatas, dimana data statistika menunjukan jumlah penduduknya yang masuk Islam pertahun semakin meningkat. Dengan angka total beliau menyebutkan bahwa sebanyak-+ 20 juta jiwa pertahun yang masuk Islam dari jumlah penduduk dunia.
Disamping itu beliu juga menjelaskan bahwa agama Kristen di Barat hanya dijadikan simbol yang tidak bisa berbuat apa-apa. Hal itu terlihat banyaknya gereja-gereja yang di jual sehingga statusnya diganti menjadi Bar, Restoran, tempat shoping dan lain-lainya. Sebab itu Barat secara Umum dan Kristen secara khusus takut dengan dengan realitas perkembangan Islam. Bahkan salah satu yang ditakuti oleh Paulus selain berkembangnya faham liberalisme adalah meningkatnya jumlah transmigran muslim ke negara-negara Eropa.
Pada akhir presentasenya, Dr. Muhammad Imarah menyimpulkan dengan optimis menunjukan kemenangan ada di tangan Islam dan kebangkitan kembali peradaban Islam, bahkan dengan kalkulasi angka beliau menunjukan bahwa dalam jangka waktu maksimal 100 tahun peradaban Islam akan muncul kembali dan melumpuhkan peradaban Barat hari ini, dengan sebuah argumentasi sederhana, Islam adalah agama yang memiliki pondasi dan ciri khasnya sendiri, Ummatnya telah mengukir sejarah kegemilangan berabad-abad lamanya, ini bukan fiktif, tapi merupakan realita sejarah. Disamping itu kita adalah Umat yang satu.
Kemenangan Islam dan bangkitnya kembali peradaban Islam seperti yang dijelaskan oleh Dr.Muhammad Imarah diatas membutuhkan kerja kolektif dalam kesatuan fremawork berfikir dan cara pandang. Sebab itu penulis melihat dimana keterpurukan Ummat Islam hari ini karena perbedaan cara pandang dalam hal-hal yang fundamental, cara pandang yang bertentangan dengan pandangan hidup Islami (Islamic Wolrdview), sehingga menyebabkan perpecahan dan mengabaikan kerja kolektif (Amal Jamâ`i) antarsesama Muslim.
Disini penulis ingin menjelaskan kasatuan cara pandang umat Islam dalam hal-hal yang fundamental, sebagai langkah menyatukan barisan demi terwujudnya kembali peradaban Islam sebagai peradaban global. Dengan itu penulis akan membagi dua pembahasan utama sebagai problem solving dari persoalan-persolan umat yang telah disebutkan diatas. Pada GAGASAN MEMBANGUN PERADABAN ISLAM (2)
Wednesday, January 19, 2011
ISLAM DAN MUSLIM DALAM PANDANGAN BARAT
Tragedi 11 september 2001 merupakan skenarioo Barat untuk meyakinkan masyakat dunia bahwa islam yang di tuduhnya selama ini sebagai fundamentalis, ekstrimis, teroris, terbukti adanya. Islam yang anti demokrasi, hak asasi manusia (HAM), liberaslisi, modernisasi, dan tuduhan-tuduhan lainnya menjdi senjata ampuh barat untuk mendeskreditkan islam. Hal itu di sampaikan langsung oleh Josh W. Bush pada 16 september 2001 dalam pidatonya menyakatan bahwa ia merupakan kelanjutan dari perang salib yang perlu di waspadai. Maka label “penjahat” dan “ teroris” adalah lebih pantas bagi meraka, kata josh Bush.
Konspirasi Barat bukanlah tidak beralasan. Beberapa alasan munculnya konspirasi itu diantaranya. Pertama, islam politik sebagai tantangan sekaligus pengahlang ruang gerak demokrasi Barat. Pijkan studi kasus revolusi Iran 1979 adalah sebuah gerakan islam politik yang menakutkan Barat. Kedua, peradaban masa depan yang di khawtirkan berada di tangan Islam. Sebagaimana hasil hipotesa tesis Samuuel P. Huntington dalam bukunya, The clahs of civilization Maka perlunya tindakan praktis untuk menghancurkan gerakan Islam secara dini. Ketiga, doktrinitas Islam yang dianggapnya bertentangan dengan logika Barat. Bahakn semenjak munculnya Islam, sudah dianggap musuh baru baru agama yahudi dan Kristen. Perang salib merupakan bukti nyata dari permusuhan itu.
Interpretasi orientalis konfrontasionalis tentang Islam: sang "musuh baru"
Sikap orientalis konfrontasionalis sangat keras terhadap Islam dan Islam politik. mereka lebih melihat bahwa Islam adalah musuh baru yang perlu di musnakan. Sikap toleransi dan demokrasi justru tidak terwujud pada pejabat elitis Barat dalam memberikan kebijakan poltik luar negerinya, khususnya kepada negara-negara Islam yang dianggapnya tidak bersahabat dan mengancam masa depana Amerika dan sekutunya. Pengambilan kebijakan para pejabat elitis Barat khusunya AS atas desakan wacana dan opini yang dibentuk oleh orientalis konfrontasionalis. Mereka senantiasa mendiskripsikan Islam dalam bentuk kejahatan kekerasan, anti demokrsi dan Barat.
Kebanyakan orientalis konfrontasionalis yang sering melabel semua aktivis Islam dengan sebutan "fundamentalis Islam" menganggap bahwa dalam prakteknya, Islam dan demokrasi itu berlawanan.
Para konfrontasionalis berpendapat "kaum fundamentalis Islam" seperti halnya totalirian komunis, sudah terlahir anti demokratis dan sangat anti Barat, dan dalam berbagai hal menjadi Barat sebagai sasaran. Sebagai contoh, Berlard Lewis dan Gilles Kepel menyimpulkan sikap fundamentalis Islam. Bahwa demokrasi liberal tidak selaras dengan fundamentalisme Islam maupun dengan Islam itu seniri.
Samuel P. Huntington dari Universitas Harvard menyatakan: tradisi-tradisi budaya yang mengakar amat dalam membatasi perkembangan demokrasi. Huntington menyinggung Bahwa Islam secara instrinsik tidak demokratis. dan lebih keras lagi Amos Perlmutter mengatakan, watak sejati Islam bukan hanya menolak demokrasi tapi sepenuhnya membenci dan memusushi seluruh budaya politik demokratis; Islam merupana sebuah gerakan revolusioner yang agresif, sama militan dan kejamnya dengan gerakan Bolshevik, Fasis dan Nazi di masa lalu;Islam tidak bisa di damaikan dengan Barat yang kristen dan sekular dan karenya Amerika serikat harus memastikan gerakan ini "dilumpuhkan sejak lahir.
Daniel Pipes terang-terngan menyatakan bahwa "Fundamentalis Islam menentang Barat lebih keras dibanding yang pernah dan sedang dilakukan komonisme. komonisme tidak sepaham dengan kebijakan-kebijakn kita, tapi tidak ada masalah dengan seluruh pandangan kita tentang dunia, termasuk cara kita berpakaian, kawin dan berdo`a. Dan lebih jauh lagi dengan menyerukan bukan hanya penghentian Islamis tapi juga penumpasan dan pembasmian. Ia menuangkannya dalam ungkapan lugas "Islam harus di perangi dan dikalahkan.”
Robert Satloff dari Washington Institute for near east policy, menganjurkan AS untuk mengambil langkah-langkah aktif guna bergabung dalam pertempuran yang dilakukan pemerintah-pemerintah timur tengah melawan kaum Islamis. AS harus selalu dalam posisi menyerang, walaupun hal ini menjadikan kita mendekati prilaku-prilaku kotor seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang penuh kebencian."bukankah, tambah Satloff, ini "perang kita juga.
Penyebaran wacana dan opini oleh kalangan orientalis konfrontasionalis Barat tentang kekejaman, kekerasan, kebodohan Islam, serta sebagai sang musuh baru membentuk cara berfikir masyarakat barat dan kebijakan politik pemerintah eksekutif AS. Sehingga tidak heran jika mendengar Islam dan Islam politik seolah hal yang memokan dan sangat menakutan. Di inggris dan di Negara-negara barat lain misalnya muncul berbagaimacam istilah seperti, Islamofobia, teroris Islam, ekstrimis Islam dan lain. Yangmnama seluruh definisi istilah yang di munculkan bermuara pada intimidasi terhadap islam dan gerakan Islam itu sendiri.
Istilah "fundamentalis Islam" misalnya mengarah kepada geraka-gerakan dan aktivis-aktivis Islam yang ingin menjalankan Syariat Islam yang benar dan murni, serta menjadikan Islam sebagai jalan hidup sekaligus dijadikan undang-undang dalam kehidupan ketatanegaraan. Adapun kelompok yang tuduhnya seperti, Hamas, Hizbullah, Al-Ikhwanul Muslimin, Jemaat Islami, dan Hizbut Tahrir Al-Islamy. Semua geraka-geraka ini dan para aktivis-aktivisnya dikleim sebagai musuh baru yang perlu diperangi dan di hancurkan sejak dini.
Islam dalam pandangan Orientalis Akomodasionis : “tantangan” baru"
Kubu orientalis akomodasinis berbeda cara pandangnya dengan orintalis konfrontasionalis yang menganggap Islam sebagai “musuh” baru. Akomodsionis lebih lebih memilih Islam hanya sebagai “tantangan” baru, bukan sebagi musuh yang harus di musnahkan dan di musuhi.
Jhon Esposito dan Leon T. Hadar dua pelopor akomodasionis berargumen bahwa, sudah terlalu sering para akademisi dan pemerintah, bahkan media menonjolkan tindakan-tindakan kelompok keras yang kecil-kecil, dan mengecilkan peran gerakan non politis maupun politis moderat. Pembentukan gambaran yang monolitik menurut Esposito, mengarah ke suatu peyederhanaan Agama yan melihat konflik-konflik politik di dunia
Islam dalam ungkapan religius – yaitu sebagai pertikaian Islam keristen.
Sekilas pandangan akomodasionis ini seolah mendukung Islam dalam kompetisi perpolitikan global. Sehingga terkesan bahwa sebagian dari sikap orientalis toleran terhadap Islam Politik dan aktivis Islam. maka tidak heran banyak dari kalangan intelektual dan politiku Muslim yang terbawa arus dengan sikap orientalis yang sok akrab dengan Islam. Padahal sikap Orientalis akomodasionis yang di rekomendasikan kepada pemerintah AS tujuannya demi untuk ke langgengan dan kepentingan masa depan AS, mereka tidak ingin Amerika dan Barat bermusushan denag Islam, karena hal itu akan menghancurkan masadepan AS dan Barat itu sendiri. Sebab itu hadapi Islam politik dengan bermain cantik, tidak perlu dengan kekerasn dan permusushan.
Dalam bukunya Fawaz, Akomodsionis mengnjurkan agar AS tidak menentang hukum Islam, atau aktivitas gerakan-gerakan Islam, “jika” pergrogram tersebut tidak mengancam kepentingan vital AS.
Langkah orientalis akomodasionis dalam merekomendsikan kebijakan kepada Islam politik terkesan lembut, pelan tapi pasti. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Fawaz : “akan keliru jika kita mebayangkan akomodasionis sebagai orang-orang idealis yang radikal. Keritik mereka terhadap Wacana dominan mengenai Islam Politik lebih di dasarkan pada perhitungan serta kekhawatiran yang pragmatis dan bukannya di sebabkan kekaguman romantis atau rasa mengahargai terhadap kaum Muslimin. Pelan tapi pasti, terkikisnya tatanan politik yang berlaku membuat para akomodasionis merekomendasikan pendekatan inklusif bukan eksklusif, yang bisa mengamankan kepentingan Ameriak Serikat untuk jangka panjang. Dalam konteks ini, saran-saran kebijakan akomodsiaonis berakar dari realitas politik dan bukannya sentimentalitas. Menurut Richard Bulliet dari universitas Columbia , akomodasionis justru tidak mengabaikan politik riil, mereka tergerak untuk menjaga kepentingan nasional Amerika dan menghindari pertikain dengan Muslim.
Dalam nada serupa Esposito dan Wright berpendapat bahwa, kepentingan kepentingan Barat akan jauh lebih mudah dijaga dengan mengembil kebijakan-kebijakan kerjasama dengan pemerintah Muslim Yang bersahabat.
Orientalis akomodasionis lebih bersikap hati-hati, kekhawatiran, dan rasa takut dengan melihat realitas Islam politik yang tidak bisa di bendung lagi dengan sikap kasar dan keras. Sebab itu sikap inklusif dan sok bersahabat dengan Negara-negara Islam yang se- ide dengan Ameriak harus dirangkul dan diayomi. Sehingga tidak terkesan bahwa AS bermusuhan secara langsung dengan aktivis gerakan-gerakan Islam. Biarkan gerakan gerakan Islam poltik itu berhadapan dengan pemerintah eksekutif negara Islam itu sendiri.
Kesimpulan
Rekomendasi dari kedua kubu diatas membuat pemerintah Ekskutif AS semakin mudah mengambil kebijakan tapi terkesan ambigu dalam menghadapi Islam Politik di Negara-negar Islam. Jika Negara-negara Islam yang mau mengikuti keinginan dan sesuai dengan kepentingan Amerika seperti Mesir, Indoneisia, Arab Saudi, Afganistan, Turki, Malaysia dan lainnya. Maka AS mengikuti rekomendasi orientalis akomodasionis. Akan tetapi, jika gerakan Islam politik di negara- Negara Islam yang tidak sesuai dengan keinginan dan kebijakan politik Amerika dan sekutunya, maka rekomendasi orintalis konfrontasionalis sebagai penentu kebijakan terhadap Islam politik. Seperti yang
terjadi pada Palestina, Irak, Afganistan, Iran, Syiria dan lain-lain.
Jadi apapun rekomendasi dari orientalis Barat, baik konfrontasionalis maupun akomodsionis, keduanya mengarah kepada kepentingan dan kestabilan masa depan peradaban Barat. Sekaligus permusushan terhadap islam sebagai Rival politik, ekonomi, ideology, dan peradaban masa depan.
Fawaz A. Gerges yang menilai bahwa Konfrontasionalis adalah “idealis Radikal” dan akomodasionis disebut sebagai “Idealis toleran” “lambat tapi pasti”. Tapi perlu disadari bahwa sebab munculnya rekomendasi dari kedua kubu tersebut karena kebimbangan, rasa takut, dan kekhawatiran terhadap perkembangan Islam dan gerakan Islam politik di negara yang bermayoritas Muslim.
Hal yang senada juga di ungkapkan oleh Dr. Yusuf Al qordhowi dalam bukunya A`dau Al Hally Al Islamy, bahwa anti-tesa Barat terhadap Gerakan Islam, Undanga-undang Islam, aktivis-aktivis Islam di dilumpuhkannya dengan berbagaimacam cara, baik secara konfrontatif maupun akomodatif.
Konspirasi Barat bukanlah tidak beralasan. Beberapa alasan munculnya konspirasi itu diantaranya. Pertama, islam politik sebagai tantangan sekaligus pengahlang ruang gerak demokrasi Barat. Pijkan studi kasus revolusi Iran 1979 adalah sebuah gerakan islam politik yang menakutkan Barat. Kedua, peradaban masa depan yang di khawtirkan berada di tangan Islam. Sebagaimana hasil hipotesa tesis Samuuel P. Huntington dalam bukunya, The clahs of civilization Maka perlunya tindakan praktis untuk menghancurkan gerakan Islam secara dini. Ketiga, doktrinitas Islam yang dianggapnya bertentangan dengan logika Barat. Bahakn semenjak munculnya Islam, sudah dianggap musuh baru baru agama yahudi dan Kristen. Perang salib merupakan bukti nyata dari permusuhan itu.
Interpretasi orientalis konfrontasionalis tentang Islam: sang "musuh baru"
Sikap orientalis konfrontasionalis sangat keras terhadap Islam dan Islam politik. mereka lebih melihat bahwa Islam adalah musuh baru yang perlu di musnakan. Sikap toleransi dan demokrasi justru tidak terwujud pada pejabat elitis Barat dalam memberikan kebijakan poltik luar negerinya, khususnya kepada negara-negara Islam yang dianggapnya tidak bersahabat dan mengancam masa depana Amerika dan sekutunya. Pengambilan kebijakan para pejabat elitis Barat khusunya AS atas desakan wacana dan opini yang dibentuk oleh orientalis konfrontasionalis. Mereka senantiasa mendiskripsikan Islam dalam bentuk kejahatan kekerasan, anti demokrsi dan Barat.
Kebanyakan orientalis konfrontasionalis yang sering melabel semua aktivis Islam dengan sebutan "fundamentalis Islam" menganggap bahwa dalam prakteknya, Islam dan demokrasi itu berlawanan.
Para konfrontasionalis berpendapat "kaum fundamentalis Islam" seperti halnya totalirian komunis, sudah terlahir anti demokratis dan sangat anti Barat, dan dalam berbagai hal menjadi Barat sebagai sasaran. Sebagai contoh, Berlard Lewis dan Gilles Kepel menyimpulkan sikap fundamentalis Islam. Bahwa demokrasi liberal tidak selaras dengan fundamentalisme Islam maupun dengan Islam itu seniri.
Samuel P. Huntington dari Universitas Harvard menyatakan: tradisi-tradisi budaya yang mengakar amat dalam membatasi perkembangan demokrasi. Huntington menyinggung Bahwa Islam secara instrinsik tidak demokratis. dan lebih keras lagi Amos Perlmutter mengatakan, watak sejati Islam bukan hanya menolak demokrasi tapi sepenuhnya membenci dan memusushi seluruh budaya politik demokratis; Islam merupana sebuah gerakan revolusioner yang agresif, sama militan dan kejamnya dengan gerakan Bolshevik, Fasis dan Nazi di masa lalu;Islam tidak bisa di damaikan dengan Barat yang kristen dan sekular dan karenya Amerika serikat harus memastikan gerakan ini "dilumpuhkan sejak lahir.
Daniel Pipes terang-terngan menyatakan bahwa "Fundamentalis Islam menentang Barat lebih keras dibanding yang pernah dan sedang dilakukan komonisme. komonisme tidak sepaham dengan kebijakan-kebijakn kita, tapi tidak ada masalah dengan seluruh pandangan kita tentang dunia, termasuk cara kita berpakaian, kawin dan berdo`a. Dan lebih jauh lagi dengan menyerukan bukan hanya penghentian Islamis tapi juga penumpasan dan pembasmian. Ia menuangkannya dalam ungkapan lugas "Islam harus di perangi dan dikalahkan.”
Robert Satloff dari Washington Institute for near east policy, menganjurkan AS untuk mengambil langkah-langkah aktif guna bergabung dalam pertempuran yang dilakukan pemerintah-pemerintah timur tengah melawan kaum Islamis. AS harus selalu dalam posisi menyerang, walaupun hal ini menjadikan kita mendekati prilaku-prilaku kotor seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang penuh kebencian."bukankah, tambah Satloff, ini "perang kita juga.
Penyebaran wacana dan opini oleh kalangan orientalis konfrontasionalis Barat tentang kekejaman, kekerasan, kebodohan Islam, serta sebagai sang musuh baru membentuk cara berfikir masyarakat barat dan kebijakan politik pemerintah eksekutif AS. Sehingga tidak heran jika mendengar Islam dan Islam politik seolah hal yang memokan dan sangat menakutan. Di inggris dan di Negara-negara barat lain misalnya muncul berbagaimacam istilah seperti, Islamofobia, teroris Islam, ekstrimis Islam dan lain. Yangmnama seluruh definisi istilah yang di munculkan bermuara pada intimidasi terhadap islam dan gerakan Islam itu sendiri.
Istilah "fundamentalis Islam" misalnya mengarah kepada geraka-gerakan dan aktivis-aktivis Islam yang ingin menjalankan Syariat Islam yang benar dan murni, serta menjadikan Islam sebagai jalan hidup sekaligus dijadikan undang-undang dalam kehidupan ketatanegaraan. Adapun kelompok yang tuduhnya seperti, Hamas, Hizbullah, Al-Ikhwanul Muslimin, Jemaat Islami, dan Hizbut Tahrir Al-Islamy. Semua geraka-geraka ini dan para aktivis-aktivisnya dikleim sebagai musuh baru yang perlu diperangi dan di hancurkan sejak dini.
Islam dalam pandangan Orientalis Akomodasionis : “tantangan” baru"
Kubu orientalis akomodasinis berbeda cara pandangnya dengan orintalis konfrontasionalis yang menganggap Islam sebagai “musuh” baru. Akomodsionis lebih lebih memilih Islam hanya sebagai “tantangan” baru, bukan sebagi musuh yang harus di musnahkan dan di musuhi.
Jhon Esposito dan Leon T. Hadar dua pelopor akomodasionis berargumen bahwa, sudah terlalu sering para akademisi dan pemerintah, bahkan media menonjolkan tindakan-tindakan kelompok keras yang kecil-kecil, dan mengecilkan peran gerakan non politis maupun politis moderat. Pembentukan gambaran yang monolitik menurut Esposito, mengarah ke suatu peyederhanaan Agama yan melihat konflik-konflik politik di dunia
Islam dalam ungkapan religius – yaitu sebagai pertikaian Islam keristen.
Sekilas pandangan akomodasionis ini seolah mendukung Islam dalam kompetisi perpolitikan global. Sehingga terkesan bahwa sebagian dari sikap orientalis toleran terhadap Islam Politik dan aktivis Islam. maka tidak heran banyak dari kalangan intelektual dan politiku Muslim yang terbawa arus dengan sikap orientalis yang sok akrab dengan Islam. Padahal sikap Orientalis akomodasionis yang di rekomendasikan kepada pemerintah AS tujuannya demi untuk ke langgengan dan kepentingan masa depan AS, mereka tidak ingin Amerika dan Barat bermusushan denag Islam, karena hal itu akan menghancurkan masadepan AS dan Barat itu sendiri. Sebab itu hadapi Islam politik dengan bermain cantik, tidak perlu dengan kekerasn dan permusushan.
Dalam bukunya Fawaz, Akomodsionis mengnjurkan agar AS tidak menentang hukum Islam, atau aktivitas gerakan-gerakan Islam, “jika” pergrogram tersebut tidak mengancam kepentingan vital AS.
Langkah orientalis akomodasionis dalam merekomendsikan kebijakan kepada Islam politik terkesan lembut, pelan tapi pasti. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Fawaz : “akan keliru jika kita mebayangkan akomodasionis sebagai orang-orang idealis yang radikal. Keritik mereka terhadap Wacana dominan mengenai Islam Politik lebih di dasarkan pada perhitungan serta kekhawatiran yang pragmatis dan bukannya di sebabkan kekaguman romantis atau rasa mengahargai terhadap kaum Muslimin. Pelan tapi pasti, terkikisnya tatanan politik yang berlaku membuat para akomodasionis merekomendasikan pendekatan inklusif bukan eksklusif, yang bisa mengamankan kepentingan Ameriak Serikat untuk jangka panjang. Dalam konteks ini, saran-saran kebijakan akomodsiaonis berakar dari realitas politik dan bukannya sentimentalitas. Menurut Richard Bulliet dari universitas Columbia , akomodasionis justru tidak mengabaikan politik riil, mereka tergerak untuk menjaga kepentingan nasional Amerika dan menghindari pertikain dengan Muslim.
Dalam nada serupa Esposito dan Wright berpendapat bahwa, kepentingan kepentingan Barat akan jauh lebih mudah dijaga dengan mengembil kebijakan-kebijakan kerjasama dengan pemerintah Muslim Yang bersahabat.
Orientalis akomodasionis lebih bersikap hati-hati, kekhawatiran, dan rasa takut dengan melihat realitas Islam politik yang tidak bisa di bendung lagi dengan sikap kasar dan keras. Sebab itu sikap inklusif dan sok bersahabat dengan Negara-negara Islam yang se- ide dengan Ameriak harus dirangkul dan diayomi. Sehingga tidak terkesan bahwa AS bermusuhan secara langsung dengan aktivis gerakan-gerakan Islam. Biarkan gerakan gerakan Islam poltik itu berhadapan dengan pemerintah eksekutif negara Islam itu sendiri.
Kesimpulan
Rekomendasi dari kedua kubu diatas membuat pemerintah Ekskutif AS semakin mudah mengambil kebijakan tapi terkesan ambigu dalam menghadapi Islam Politik di Negara-negar Islam. Jika Negara-negara Islam yang mau mengikuti keinginan dan sesuai dengan kepentingan Amerika seperti Mesir, Indoneisia, Arab Saudi, Afganistan, Turki, Malaysia dan lainnya. Maka AS mengikuti rekomendasi orientalis akomodasionis. Akan tetapi, jika gerakan Islam politik di negara- Negara Islam yang tidak sesuai dengan keinginan dan kebijakan politik Amerika dan sekutunya, maka rekomendasi orintalis konfrontasionalis sebagai penentu kebijakan terhadap Islam politik. Seperti yang
terjadi pada Palestina, Irak, Afganistan, Iran, Syiria dan lain-lain.
Jadi apapun rekomendasi dari orientalis Barat, baik konfrontasionalis maupun akomodsionis, keduanya mengarah kepada kepentingan dan kestabilan masa depan peradaban Barat. Sekaligus permusushan terhadap islam sebagai Rival politik, ekonomi, ideology, dan peradaban masa depan.
Fawaz A. Gerges yang menilai bahwa Konfrontasionalis adalah “idealis Radikal” dan akomodasionis disebut sebagai “Idealis toleran” “lambat tapi pasti”. Tapi perlu disadari bahwa sebab munculnya rekomendasi dari kedua kubu tersebut karena kebimbangan, rasa takut, dan kekhawatiran terhadap perkembangan Islam dan gerakan Islam politik di negara yang bermayoritas Muslim.
Hal yang senada juga di ungkapkan oleh Dr. Yusuf Al qordhowi dalam bukunya A`dau Al Hally Al Islamy, bahwa anti-tesa Barat terhadap Gerakan Islam, Undanga-undang Islam, aktivis-aktivis Islam di dilumpuhkannya dengan berbagaimacam cara, baik secara konfrontatif maupun akomodatif.
Obyektivitas Dan Ilmiyah Dalam Pemikiran Islami (2)
Islam mengajarkan framework berfikir yang ilmiyah dalam memandang dan menilai sesuatu dengan epistemologi yang jelas. Natijah (nilai) berfikir dalam Islam menghasilkan kepuasan intelektual dan spiritual, sehingga tidak ada keraguan dalam mencapai sebuah kebenaran yang hakiki. Secara ringkas Dr. Abdul Karim Hamidi al-Jazairy Menjelaskan diskripsi fremawork berfikir ilmiyah menurut Islam sebagai Berikut : (lihat majalah Al Wa`yul Islamy, edisi 489, jumadil Ula 1427 H/Juni 2006)
1.Dalam mebangun landasan berfikir hendaklah didasari dengan Argumentasi (dalil) yang benar, sehingga mencapai kepuasan intelektul dan spiritual (ketenangan Hati).
Larangan Al quran untuk berfikir tanpa dalil terdapat didalam firman Allh Awt. “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak ketahui, karena pendengaran, pengelihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”. (al-Isra` 36)
Sayyid Qutb berkata “ayat yang pendek ini memiliki nilai serta methode (kajian) yang sempurna, meliputi hati dan akal, mencakup framework ilmiyah seperti slogan manusia modern saat ini.
Ia bersandar kepada keteguhan hati serta pendekatan diri kepada Allah swt, yang merupakan keistimewaan dan nilai Plus dalam metode kajian yang digunakan Islam dibanding hanya bersandarkan kepada Akal gersang. Untuk mengkaji segala bentuk informasi, relaitas, atau penelitian perlu memiliki epistemologi pemikiran yang jelas dan valid.
Al-Qur`an adalah landasan dasar utama sebelum menentukan dan menetapkan sebuah kesimpulan (dari penelitian). Jika tetap komitment dengan metode ini (al-Qur`an sebagai landasan dasar dalam kerangka berfikir), maka tidak ada tempat bagi keraguan didalam Aqidah, tidak ada tempat bagi prasngaka dan syubhat dalam dunia hukum, undang-undang serta muaamalah dan tidak akan mengahsilkan kesimpulan subyektif (dangkal) dalam metode penelitian dan kajian ilmiyah. (lihat Tafsir Fi Zilâlil Qur`an, Surat Al-Isra` ayat 36)
2.Menghindari prejudice dan dugaan. Munculnya pemikiran yang berlandaskan pada dugaan disebabkan karena pengetahuannya yang terbatas terhadap kebenaran yang hakiki tentang sesuatu. Sedangkan arti dari dugaan itu sendiri adalah prangsangka yang dibangun dalam diri seseorang yang bersandarkan pada sebuah kesimpulan tanpa adanya dalil yang pasti dan jelas untuk menguatkan argumentasi pemikiran yang di bangun.
Landasan pemikiran dugaan ini telah di jelaskan didalam Qs.6:116, 43:20, yang menegaskan bahwa landasan pemikiran itu tidak bisa dibanguan hanya dengan mengikuti akal pikiran manusia yang terbatas. Selain itu, dugaan adalah bangunan pemikiran yang tidak berlandaskan kepada ilmu, melainkan hanya berpegang pada sangkaan.
Para ulama bersepakat, bahwa landasan dasar sebuah keyakinan dan keimanan dengan menduga-duga adalah mazmum (tercela), karena iman hanya dapat dibangun dengan keyakinan bukan dengan dugaan.
Prasangka adalah landasan yang lemah jika hal itu dikaitkan dengan keimanan terhadap pengetahuan yang ghoib. Allah Swt, menjelaskan didalam Qs.2:46. Ayat ini menjelaskan, prasangka bersandarkan kepada akal yang lemah yang tidak meliliki dalil yang shohih. Hal itu akan menyebakan adanya kesimpulan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiyah, jika hal itu dikaitkan dengan penelitian. Kesimpulan berlandaskan pada dugaan dan prasangka tidak akan sampai pada kebenaran sejati, Lihat Qs.10:36.
3.Jauh dari keinginan hawa nafsu. Dalam pandangan dan pemikiran Islami, orientasi dari semua pemikiran dan penelitian mencapai pada suatu titik kebenaran (al-Haq), baik hal-hal yang berhubungan dengan Agama ataupun urusan duniawi. Begitu juga hal-hal yang berkaitan dengan cara pandang dan methodologi berfikir.
Seorang mujtahid hendaklah terlebih dahulu membangun orientasi berfikir dan berijtihad untuk mencapai sebuah kebenaran. Karena dengan niat tulus dan orientasi yang baik akan memperoleh hasil yang baik tentunya, dan ia akan memperoleh ganjaran dari Allah Swt, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw ,
من حكم فاجتهد فأصاب فله أجران ومن حكم فاجتهد فأخطأ فله أجر
Artinya "Barang siapa yang ingin menghukumi lalu ia berijtihad dan benar maka ia memperoleh dua ganjaran pahala dan barang siapa yang ingin menghukumi lalu ia berijtihad dan salah maka ia memperoleh satu ganjaran pahala." (HR. Bukhari.
4.Menyatukan antara Wahyu dan akal. Dalam pemikiran Islami akal tidak boleh lepas dari wahyu, karena wahyu adalah pentunjuk bagi akal menuju titik kesempurnaan berfikir yang hakiki, karena titik klimak hasil pemikiran dalam islam adalah ketundukan dan ketaatan kepada Allah sebagai pencipta dalam bentuk amal perbuatan. Akal dan pemikaran didalam Islam harus tetap relevan dengan wahyu yang diturunkan Allah Swt.
Kebenaran dalam pandangan Islam sangat mahal, menjaga kemurnian ilmu pengetahuan serta tujuan penelitian dalam kacamata Islam adalah sesuatu yang telah lama dianjurkan, ilmiyah dan obyektifitas adalah methodologi yang telah dibangun oleh Islam semenjak diturunkannya Al Qur`an. kemudian kerangka-kerangka obyektifitas dan ilmiyah itu dibentuk oleh para ulama salaf agar memudahkan generasi selanjutnya memahami ilmu-ilmu Islam secara benar.
Mengambil methode ilmiyah yang telah dibangun Islam dalam penelitian adalah–wajib–sesui dengan keyakinan kita, dan mengakui bahwa ia merupaka suatu keharusan yang tidak bisa ditolak. Hal itu karena serluruh obyek riseaarch manusia dibumi ini adalah ciptaan Allah Swt. maka interaksi dengan pencipta Alam raya sebagai obyek risearch adalah suatu keharusan bagi seorang peneliti dan pemikir. Sebab itu awal mula yang mesti dibangun oleh seorang peneliti menurut Dr.Muhammad Fuadi- Bast dalam bukunya silsilatul Fikri Fi Al Tanwiril Ilmi, maktabah Usrah 2006 kairo, hlm 55-57
pertama, keimanan kepada pencipta adalah asas untuk benar-benar memahami alam raya dan kehidupan yang merupakan hasil ciptaan Allah Swt. Dengan iman itu juga sebagai titik tolak benar tidaknya pemikiran manusia.
Kedua, kaitan antara ilmu, pemikiran ilmiyah dengan membangun kesadaran masyarakat untuk memahami adanya pertautan pengetahuan asasi dari satu sisi serta fenomena realitas hidup pada sisi lain, Sehingga keduanya terus saling berhubungan. Dimana antara ilmu dan realitas-hidup tidak saling bertentangan, antara teori dan praktek adalah satu kesatuan. Pepatah mengatakan, ilmu tanpa amal laksana pohon tanpa buah. Pepatah ini menggambarkan, betapa tidak bergunanya orang yang memiliki ilmu penegtahuan tanpa mengamalkannya baik untuk dirinya sendiri, orang lain maupun tanggung jawab dirinya dengan Allah Swt.
Didalam konsep Islam, ilmu merupkan amanat yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, sebab itu tanggung jawab ilmiyah dan obyektivitas menurut pemikiran Islami hendaklah di penuhi. Didalam hadist rasulullah Saw menjelaskan, ada empat hal yang akan dipertnggungjawabkan dihadapan Allah swt, pertama, tentang umurnya kemana dihabiskan, kedua, tentang ilmu kenama ia manfaatkan, ketiga, tentang harta darimana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan, keempat, tentang masa mudanya kemana ia pergunakan.
Jadi, pertanggungawaban ilmiyah dan obyektifitas dalam konsep pemikiran Islami, bukan sekedar pertanggung jawaban di dunia bersama manusia, akan tetapi pertanggunjawaban yang meliputi dirinya, manusia dan Allah Swt.
Wallahu` a`lam
1.Dalam mebangun landasan berfikir hendaklah didasari dengan Argumentasi (dalil) yang benar, sehingga mencapai kepuasan intelektul dan spiritual (ketenangan Hati).
Larangan Al quran untuk berfikir tanpa dalil terdapat didalam firman Allh Awt. “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak ketahui, karena pendengaran, pengelihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”. (al-Isra` 36)
Sayyid Qutb berkata “ayat yang pendek ini memiliki nilai serta methode (kajian) yang sempurna, meliputi hati dan akal, mencakup framework ilmiyah seperti slogan manusia modern saat ini.
Ia bersandar kepada keteguhan hati serta pendekatan diri kepada Allah swt, yang merupakan keistimewaan dan nilai Plus dalam metode kajian yang digunakan Islam dibanding hanya bersandarkan kepada Akal gersang. Untuk mengkaji segala bentuk informasi, relaitas, atau penelitian perlu memiliki epistemologi pemikiran yang jelas dan valid.
Al-Qur`an adalah landasan dasar utama sebelum menentukan dan menetapkan sebuah kesimpulan (dari penelitian). Jika tetap komitment dengan metode ini (al-Qur`an sebagai landasan dasar dalam kerangka berfikir), maka tidak ada tempat bagi keraguan didalam Aqidah, tidak ada tempat bagi prasngaka dan syubhat dalam dunia hukum, undang-undang serta muaamalah dan tidak akan mengahsilkan kesimpulan subyektif (dangkal) dalam metode penelitian dan kajian ilmiyah. (lihat Tafsir Fi Zilâlil Qur`an, Surat Al-Isra` ayat 36)
2.Menghindari prejudice dan dugaan. Munculnya pemikiran yang berlandaskan pada dugaan disebabkan karena pengetahuannya yang terbatas terhadap kebenaran yang hakiki tentang sesuatu. Sedangkan arti dari dugaan itu sendiri adalah prangsangka yang dibangun dalam diri seseorang yang bersandarkan pada sebuah kesimpulan tanpa adanya dalil yang pasti dan jelas untuk menguatkan argumentasi pemikiran yang di bangun.
Landasan pemikiran dugaan ini telah di jelaskan didalam Qs.6:116, 43:20, yang menegaskan bahwa landasan pemikiran itu tidak bisa dibanguan hanya dengan mengikuti akal pikiran manusia yang terbatas. Selain itu, dugaan adalah bangunan pemikiran yang tidak berlandaskan kepada ilmu, melainkan hanya berpegang pada sangkaan.
Para ulama bersepakat, bahwa landasan dasar sebuah keyakinan dan keimanan dengan menduga-duga adalah mazmum (tercela), karena iman hanya dapat dibangun dengan keyakinan bukan dengan dugaan.
Prasangka adalah landasan yang lemah jika hal itu dikaitkan dengan keimanan terhadap pengetahuan yang ghoib. Allah Swt, menjelaskan didalam Qs.2:46. Ayat ini menjelaskan, prasangka bersandarkan kepada akal yang lemah yang tidak meliliki dalil yang shohih. Hal itu akan menyebakan adanya kesimpulan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiyah, jika hal itu dikaitkan dengan penelitian. Kesimpulan berlandaskan pada dugaan dan prasangka tidak akan sampai pada kebenaran sejati, Lihat Qs.10:36.
3.Jauh dari keinginan hawa nafsu. Dalam pandangan dan pemikiran Islami, orientasi dari semua pemikiran dan penelitian mencapai pada suatu titik kebenaran (al-Haq), baik hal-hal yang berhubungan dengan Agama ataupun urusan duniawi. Begitu juga hal-hal yang berkaitan dengan cara pandang dan methodologi berfikir.
Seorang mujtahid hendaklah terlebih dahulu membangun orientasi berfikir dan berijtihad untuk mencapai sebuah kebenaran. Karena dengan niat tulus dan orientasi yang baik akan memperoleh hasil yang baik tentunya, dan ia akan memperoleh ganjaran dari Allah Swt, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw ,
من حكم فاجتهد فأصاب فله أجران ومن حكم فاجتهد فأخطأ فله أجر
Artinya "Barang siapa yang ingin menghukumi lalu ia berijtihad dan benar maka ia memperoleh dua ganjaran pahala dan barang siapa yang ingin menghukumi lalu ia berijtihad dan salah maka ia memperoleh satu ganjaran pahala." (HR. Bukhari.
4.Menyatukan antara Wahyu dan akal. Dalam pemikiran Islami akal tidak boleh lepas dari wahyu, karena wahyu adalah pentunjuk bagi akal menuju titik kesempurnaan berfikir yang hakiki, karena titik klimak hasil pemikiran dalam islam adalah ketundukan dan ketaatan kepada Allah sebagai pencipta dalam bentuk amal perbuatan. Akal dan pemikaran didalam Islam harus tetap relevan dengan wahyu yang diturunkan Allah Swt.
Kebenaran dalam pandangan Islam sangat mahal, menjaga kemurnian ilmu pengetahuan serta tujuan penelitian dalam kacamata Islam adalah sesuatu yang telah lama dianjurkan, ilmiyah dan obyektifitas adalah methodologi yang telah dibangun oleh Islam semenjak diturunkannya Al Qur`an. kemudian kerangka-kerangka obyektifitas dan ilmiyah itu dibentuk oleh para ulama salaf agar memudahkan generasi selanjutnya memahami ilmu-ilmu Islam secara benar.
Mengambil methode ilmiyah yang telah dibangun Islam dalam penelitian adalah–wajib–sesui dengan keyakinan kita, dan mengakui bahwa ia merupaka suatu keharusan yang tidak bisa ditolak. Hal itu karena serluruh obyek riseaarch manusia dibumi ini adalah ciptaan Allah Swt. maka interaksi dengan pencipta Alam raya sebagai obyek risearch adalah suatu keharusan bagi seorang peneliti dan pemikir. Sebab itu awal mula yang mesti dibangun oleh seorang peneliti menurut Dr.Muhammad Fuadi- Bast dalam bukunya silsilatul Fikri Fi Al Tanwiril Ilmi, maktabah Usrah 2006 kairo, hlm 55-57
pertama, keimanan kepada pencipta adalah asas untuk benar-benar memahami alam raya dan kehidupan yang merupakan hasil ciptaan Allah Swt. Dengan iman itu juga sebagai titik tolak benar tidaknya pemikiran manusia.
Kedua, kaitan antara ilmu, pemikiran ilmiyah dengan membangun kesadaran masyarakat untuk memahami adanya pertautan pengetahuan asasi dari satu sisi serta fenomena realitas hidup pada sisi lain, Sehingga keduanya terus saling berhubungan. Dimana antara ilmu dan realitas-hidup tidak saling bertentangan, antara teori dan praktek adalah satu kesatuan. Pepatah mengatakan, ilmu tanpa amal laksana pohon tanpa buah. Pepatah ini menggambarkan, betapa tidak bergunanya orang yang memiliki ilmu penegtahuan tanpa mengamalkannya baik untuk dirinya sendiri, orang lain maupun tanggung jawab dirinya dengan Allah Swt.
Didalam konsep Islam, ilmu merupkan amanat yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, sebab itu tanggung jawab ilmiyah dan obyektivitas menurut pemikiran Islami hendaklah di penuhi. Didalam hadist rasulullah Saw menjelaskan, ada empat hal yang akan dipertnggungjawabkan dihadapan Allah swt, pertama, tentang umurnya kemana dihabiskan, kedua, tentang ilmu kenama ia manfaatkan, ketiga, tentang harta darimana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan, keempat, tentang masa mudanya kemana ia pergunakan.
Jadi, pertanggungawaban ilmiyah dan obyektifitas dalam konsep pemikiran Islami, bukan sekedar pertanggung jawaban di dunia bersama manusia, akan tetapi pertanggunjawaban yang meliputi dirinya, manusia dan Allah Swt.
Wallahu` a`lam
Obyektifitas Dan Ilmiyah Dalam Pemikiran Islami (I)
Terdapat beberapa alasan pentingnya mengetahui kerangka memahami islam secara obyektif dan benar pada era globalisasi saat ini. Pertama, terbukanya masyarakat global untuk mempelajari agama-agama, dengan tujuan studi perbandingan, pengkaburan terhadap nilai-nilai agama, tujuan ekonomi, politik, bahkan juga tujuan permusushan, mencari kekurangan-kekuaranganya dengan berbagai metode untuk melumpuhkannya. Kedua, menjaga agar pemahaman tehadap Islam tetap murni dan terjaga dari pemikiran yang menyelewngkan pemahaman agama yang sebenaranya atas nama obyektivitas dan ilmiyah. Ketiga, ditengah pluralitas pemikran dan pemahaman masayarakat global tentang islam, maka perlunya mecari indentitas diri dan posisi dalam mengahdapi semua itu. Sebab jika seorang Muslim tidak memiliki sikap dan posisi terhadap Islam, maka saat itulah mulai sebuah pengkaburan (tasywih) pemahaman terhadap Islam karena adanya pengaruh-pengaruh lingkungan dan wacan pemikiran yang berkembang.
Obyektivitas dan Ilmiyah versi Barat dan Islam
Untuk memehami Islam sabagai sebuah Agama yang benar dan mengahasilkan nilai yang obyektif terhadapnya, adalah tidak terlepas dari kerangka berfikir yang berlandaskan pada epistemologi. Landasan pemikiran adalah sangat menentukan nilai obyektivitas terhadap sebuah keyakinan atau agama. Hal ini karena agama bukan saja mengajarkan hal-hal yang rasionil, pihsik, materil, tapi juga sebuah dogma, doktrinitas, metafisis, yang perlu diyakini dan dijalankan tanpa di rasionalkan. Karena jika semua kajian dan pemahaman terhadap Islam dirasionalkan dengan tujuan untuk menghasilkan sebuah kajian dan pemahaman yang obyektif dan ilmiyah, maka justru metode, fremawork kajian itu tidak mengandung obyektifitas dan ilmiyah. Dengan demikian secara otomatis hasilnyapun menyimpan subyektifitas.
Jika seseorang ingin memahami agama Kristen, Budha, Hindu, Islam, maka perlunya melihat dan memahami landasan pemikiran dan pandangan hidup (Woldview) dari masing-masing agama. pandangan hidup Islam berbeda dengan pangan hidup Kristen, buda, hindu, Barat dan agama yang lainnya. Tentu akan menjadi subyektif bahkan rancuh apabila cara sudut pandang Kristen terhadap agamanya dipakai untuk memahami Islam, begitupun sebaliknya.
Barat–orientalis biasanya menilai dan memandang segala sesuatu termasuk Islam dengan berkdok akademik dan ilmiyah, hal itu juga sebagai syarat obyektivitas dalam cara sudut pandang. Padahal dalam jubah obyektivitas itu penuh dengan prasangka, sarat nilai dan segudang kepentingan, yang bersifat ekonomis maupun politis. Hal ini seperti yang di katakana oleh Dr. Musthafa Adumairi, Dosen Universitas Al-Azahar Zakazik, setidaknya ada empat motif mengapa barat-orientalis mengkaji dunia timur (islam), pertama, motif keagamaan, Barat yang pada satu sisi mewakli Kristen menganggap Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrinitas-doktrinitas mereka. Kedua, motif imperialisme, setelah kekalahan perang salib, rasanya Barat tidak mampu lagi untuk menghadapi Islam dengan jajahan fisik, kemudian merubah strategi melalui penjajahan politik dan ekonomi, ketiga, motif ilmiyah, mengkaji Islam dengan berlabel akademik untuk tujuan yang sama, yaitu mencari titik kelemahan Islam untuk dimusuhinya. Diantara kajian islam yang digeluti kalangan oreintalis barat adalah,
1. Al-qu`ran. Diamana melakukan kritik terhadap Al-qur`an, dari sisi teks dan historisitasnya. Semua kajian bermuara pada keraguan terhadap otentisitas al-Qur`an sebagai wahyu Allah.
2. Kajian pada bidang Hadist. Dimana kritikan terhadap hadist dimulai dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw, kemudian Matan, sanad Hadist. Kritikan yang dilakukan semuanya mengarah kepada pandangan yang tidak obyektif, mereka menganggap bahwa hadist-hadist itu semuanya palsu dan tidak otentik karena bukan berasal dari Nabi Muhammad, dan menuduh Ummat Islam mengatakan Bahwa semua hadist itu asli dan Shoheh. Padahal Islam tidah memandang demikian.
3. Kajian orientalis spealisasi di bidang sejarah Islam. Biasanya metode yang yang digunakan adalah cendrung menghidupkan kembali konflik yang terjadi pada masa lampau, seperti konflik antara pendukung Ali RA dan Muawiyah, serta sejarah tumbuhnya aliran-aliran dalam Islam seperti, syiah, Khawrij, Sunni, yang mengarah pada perbedaan pemikiran dan Idiologi. Dari sisi spiritual melalalui pendeketan Falsafah sufistik dan pendekatan intelektual melalu pemikiran Muktazilah.
Sebagai kesimpulan dari apapun yang mereka kaji tentang Islam melalalui multi sarana, seperti Ilmiyah, obyektivitas, akademik, semuanya berhilir pada apa yang telah di catatat al-Qur`an “mereka ingin memadam cahaya Ilahi”Allah Swt, menjelaskan hal ini di dalam QS.61:8. Aktivitas ini tidak akan pernah behenti hingga ummat Islam mengikuti jalan (millah) mereka, hal ini dijelaskan Allah Swt, didalam QS.2:120.
Dr. Zaglul Najjar, pemkir Islam Mesir kontemporer dalam bukunya, al-Islam Wal Ghorb (Islam dan Barat hal. 6) sampai pada sebuah kesimpulan berdasarkan pada analisa fenamenologis, Bahwa “ realitas hubungan antara Islam dan barat senantiasa bertentangan dan menegangkan dari 14 abad yang silam, semenjak diutusnya Nabi Muhammad, hingga Sekarang bahkan sampai Hari Kiamat”. Resistensi antara Islam dan Barat menurut Dr. Yusuf Al Qordhowi dalan bukunya al-Islam wal ilmaniyah (Islam dan sekularisme) adalah bukan sekedar benturan peradaban seperti yang dikatakan oleh Samuel P. Huntington dalam Bukunya Clash Of civilization, atau benturan kepentingan seperti analisa Fawazh A. Gerges dalam bukunya, America and political Islam, akan tetapi lebih kepada benturan yang mendasar yaitu benturan persepsi (al mafahim) serta perbedaan pandanga hidup. (Lihat Dr. Yusuf Al Qordhowi, Al Islam Wal Ilmaniyah, hlm.22)
Berdasarkan argumentasi diatas dapatlah kita ketahui, bahwa tidak mungkin (mustahil) kajian barat terhadap Islam akan menghasilkan obyektivitas dan ilmiyah, Sebab untuk mendapatkan definisi dan makna islam yang sebanarnya secara obeyektif dan ilmiyah hanya dengan menggunakan Pandanngan Hidup Islami. Kajian orientalis barat terahdap Islam tidak menghubungkan Islam yang spesifik dengan prinsip yang umum dan universal. Kajian mereka tentang hal-hal yang speasifik seperti tentang sejarah al-Qur`an, etika dalam Islam, politik dalam Islam dan lain-lain tidak di kaitkan dengan makna islam sebagai suatu agama dan pandangan hidup yang memiliki prinsip dan tradisinya sendiri. Prinsip bahwa ilmu mendorong kepada iman, misalnya, tidak tercermin dalam tulisan-tulisan mereka. Ilmu-ilmu keislaman yang mereka miliki tidak mendorong para pembacanya untuk beriman kepada Allah Swt, tidak juga membuat mereka sendiri yakin dengan kebenaran Islam. lantas apa motivasi yang mendorong mereka untuk bersikap empati terhadap Islam dan ingin mempelajarinya?
Pendekatan untuk memahami Islam yang di lakukan para-orientalis adalah pendekatan filsafat (phyloshopy aproche), sehingga tidak mungkin akan menemukan obyektivitas dan ilmiyah, (yang mereka katakan ilmiyah dan obyektif). Pendekatan itu adalah, latar belakang histories, atau sejarah, pendekatan metodologis, pendekatan analitis, dan pendekatan eksistensial. pendekatan semuanya berlandaskan pada nalar filsafat. Dimana Nalar memungkinkan untuk membedakan yang baik dari yang buruk, tetapi tanpa perlu menghujat. Yang pada akhirnya menuju pada sebuah titik pemahaman “relativitas kebenaran” tidak adanya claim kebenaran (trust-clame). Selain itu methodologi yang digunkan orientalis dalam menganalisa dan mengakaji Islam beralandaskan pada pandangan hidup (worldview) yang tidak jelas dan semuanya bermula dengan keraguan (hesitancy), dimana segala sesuatu harus berdiri diatas keraguan, kemudian dengan pendekatan kritik (criticsm), dimana semuanya harus letak dalam diskursus kritis (critical discourses).
Orientalis-barat dalam mengkaji Islam biasanya selalu menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu dengan membangun teori dan hipotesa terlebih dahulu lalu kemudian mencari dalil untuk memebenarkan dan menguatkan teori dan hipotesa yang dibangun. Hasilnya tentu akan menjadi subyektif dari perspektif Islam dan dianggap obyektif dari kacamata orientalis. Pada posisi seperti inilah seorang muslim harus memilih antara dua pandangan yang berbeda, melata obyektivitas ala orientalis ataukah memilih bahwa itu adalah subyektif menurut pemikiran Islami?
Islam memiliki pandangan hidupnya sendiri dalam memaknai dan mendefinisikan obyektivitas dan ilmiyah menurut cara pandang dan pemikiran Islami. Hal ini akan penulis jelaskan pada obyektifitas dan Ilmiah ( 2 )
Wallahu a`lam
Obyektivitas dan Ilmiyah versi Barat dan Islam
Untuk memehami Islam sabagai sebuah Agama yang benar dan mengahasilkan nilai yang obyektif terhadapnya, adalah tidak terlepas dari kerangka berfikir yang berlandaskan pada epistemologi. Landasan pemikiran adalah sangat menentukan nilai obyektivitas terhadap sebuah keyakinan atau agama. Hal ini karena agama bukan saja mengajarkan hal-hal yang rasionil, pihsik, materil, tapi juga sebuah dogma, doktrinitas, metafisis, yang perlu diyakini dan dijalankan tanpa di rasionalkan. Karena jika semua kajian dan pemahaman terhadap Islam dirasionalkan dengan tujuan untuk menghasilkan sebuah kajian dan pemahaman yang obyektif dan ilmiyah, maka justru metode, fremawork kajian itu tidak mengandung obyektifitas dan ilmiyah. Dengan demikian secara otomatis hasilnyapun menyimpan subyektifitas.
Jika seseorang ingin memahami agama Kristen, Budha, Hindu, Islam, maka perlunya melihat dan memahami landasan pemikiran dan pandangan hidup (Woldview) dari masing-masing agama. pandangan hidup Islam berbeda dengan pangan hidup Kristen, buda, hindu, Barat dan agama yang lainnya. Tentu akan menjadi subyektif bahkan rancuh apabila cara sudut pandang Kristen terhadap agamanya dipakai untuk memahami Islam, begitupun sebaliknya.
Barat–orientalis biasanya menilai dan memandang segala sesuatu termasuk Islam dengan berkdok akademik dan ilmiyah, hal itu juga sebagai syarat obyektivitas dalam cara sudut pandang. Padahal dalam jubah obyektivitas itu penuh dengan prasangka, sarat nilai dan segudang kepentingan, yang bersifat ekonomis maupun politis. Hal ini seperti yang di katakana oleh Dr. Musthafa Adumairi, Dosen Universitas Al-Azahar Zakazik, setidaknya ada empat motif mengapa barat-orientalis mengkaji dunia timur (islam), pertama, motif keagamaan, Barat yang pada satu sisi mewakli Kristen menganggap Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrinitas-doktrinitas mereka. Kedua, motif imperialisme, setelah kekalahan perang salib, rasanya Barat tidak mampu lagi untuk menghadapi Islam dengan jajahan fisik, kemudian merubah strategi melalui penjajahan politik dan ekonomi, ketiga, motif ilmiyah, mengkaji Islam dengan berlabel akademik untuk tujuan yang sama, yaitu mencari titik kelemahan Islam untuk dimusuhinya. Diantara kajian islam yang digeluti kalangan oreintalis barat adalah,
1. Al-qu`ran. Diamana melakukan kritik terhadap Al-qur`an, dari sisi teks dan historisitasnya. Semua kajian bermuara pada keraguan terhadap otentisitas al-Qur`an sebagai wahyu Allah.
2. Kajian pada bidang Hadist. Dimana kritikan terhadap hadist dimulai dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw, kemudian Matan, sanad Hadist. Kritikan yang dilakukan semuanya mengarah kepada pandangan yang tidak obyektif, mereka menganggap bahwa hadist-hadist itu semuanya palsu dan tidak otentik karena bukan berasal dari Nabi Muhammad, dan menuduh Ummat Islam mengatakan Bahwa semua hadist itu asli dan Shoheh. Padahal Islam tidah memandang demikian.
3. Kajian orientalis spealisasi di bidang sejarah Islam. Biasanya metode yang yang digunakan adalah cendrung menghidupkan kembali konflik yang terjadi pada masa lampau, seperti konflik antara pendukung Ali RA dan Muawiyah, serta sejarah tumbuhnya aliran-aliran dalam Islam seperti, syiah, Khawrij, Sunni, yang mengarah pada perbedaan pemikiran dan Idiologi. Dari sisi spiritual melalalui pendeketan Falsafah sufistik dan pendekatan intelektual melalu pemikiran Muktazilah.
Sebagai kesimpulan dari apapun yang mereka kaji tentang Islam melalalui multi sarana, seperti Ilmiyah, obyektivitas, akademik, semuanya berhilir pada apa yang telah di catatat al-Qur`an “mereka ingin memadam cahaya Ilahi”Allah Swt, menjelaskan hal ini di dalam QS.61:8. Aktivitas ini tidak akan pernah behenti hingga ummat Islam mengikuti jalan (millah) mereka, hal ini dijelaskan Allah Swt, didalam QS.2:120.
Dr. Zaglul Najjar, pemkir Islam Mesir kontemporer dalam bukunya, al-Islam Wal Ghorb (Islam dan Barat hal. 6) sampai pada sebuah kesimpulan berdasarkan pada analisa fenamenologis, Bahwa “ realitas hubungan antara Islam dan barat senantiasa bertentangan dan menegangkan dari 14 abad yang silam, semenjak diutusnya Nabi Muhammad, hingga Sekarang bahkan sampai Hari Kiamat”. Resistensi antara Islam dan Barat menurut Dr. Yusuf Al Qordhowi dalan bukunya al-Islam wal ilmaniyah (Islam dan sekularisme) adalah bukan sekedar benturan peradaban seperti yang dikatakan oleh Samuel P. Huntington dalam Bukunya Clash Of civilization, atau benturan kepentingan seperti analisa Fawazh A. Gerges dalam bukunya, America and political Islam, akan tetapi lebih kepada benturan yang mendasar yaitu benturan persepsi (al mafahim) serta perbedaan pandanga hidup. (Lihat Dr. Yusuf Al Qordhowi, Al Islam Wal Ilmaniyah, hlm.22)
Berdasarkan argumentasi diatas dapatlah kita ketahui, bahwa tidak mungkin (mustahil) kajian barat terhadap Islam akan menghasilkan obyektivitas dan ilmiyah, Sebab untuk mendapatkan definisi dan makna islam yang sebanarnya secara obeyektif dan ilmiyah hanya dengan menggunakan Pandanngan Hidup Islami. Kajian orientalis barat terahdap Islam tidak menghubungkan Islam yang spesifik dengan prinsip yang umum dan universal. Kajian mereka tentang hal-hal yang speasifik seperti tentang sejarah al-Qur`an, etika dalam Islam, politik dalam Islam dan lain-lain tidak di kaitkan dengan makna islam sebagai suatu agama dan pandangan hidup yang memiliki prinsip dan tradisinya sendiri. Prinsip bahwa ilmu mendorong kepada iman, misalnya, tidak tercermin dalam tulisan-tulisan mereka. Ilmu-ilmu keislaman yang mereka miliki tidak mendorong para pembacanya untuk beriman kepada Allah Swt, tidak juga membuat mereka sendiri yakin dengan kebenaran Islam. lantas apa motivasi yang mendorong mereka untuk bersikap empati terhadap Islam dan ingin mempelajarinya?
Pendekatan untuk memahami Islam yang di lakukan para-orientalis adalah pendekatan filsafat (phyloshopy aproche), sehingga tidak mungkin akan menemukan obyektivitas dan ilmiyah, (yang mereka katakan ilmiyah dan obyektif). Pendekatan itu adalah, latar belakang histories, atau sejarah, pendekatan metodologis, pendekatan analitis, dan pendekatan eksistensial. pendekatan semuanya berlandaskan pada nalar filsafat. Dimana Nalar memungkinkan untuk membedakan yang baik dari yang buruk, tetapi tanpa perlu menghujat. Yang pada akhirnya menuju pada sebuah titik pemahaman “relativitas kebenaran” tidak adanya claim kebenaran (trust-clame). Selain itu methodologi yang digunkan orientalis dalam menganalisa dan mengakaji Islam beralandaskan pada pandangan hidup (worldview) yang tidak jelas dan semuanya bermula dengan keraguan (hesitancy), dimana segala sesuatu harus berdiri diatas keraguan, kemudian dengan pendekatan kritik (criticsm), dimana semuanya harus letak dalam diskursus kritis (critical discourses).
Orientalis-barat dalam mengkaji Islam biasanya selalu menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu dengan membangun teori dan hipotesa terlebih dahulu lalu kemudian mencari dalil untuk memebenarkan dan menguatkan teori dan hipotesa yang dibangun. Hasilnya tentu akan menjadi subyektif dari perspektif Islam dan dianggap obyektif dari kacamata orientalis. Pada posisi seperti inilah seorang muslim harus memilih antara dua pandangan yang berbeda, melata obyektivitas ala orientalis ataukah memilih bahwa itu adalah subyektif menurut pemikiran Islami?
Islam memiliki pandangan hidupnya sendiri dalam memaknai dan mendefinisikan obyektivitas dan ilmiyah menurut cara pandang dan pemikiran Islami. Hal ini akan penulis jelaskan pada obyektifitas dan Ilmiah ( 2 )
Wallahu a`lam
Subscribe to:
Posts (Atom)