KRITIK METHODOLOGI KAJIAN HADIST ORIENTALIS
Sketsa awal
Muh. jamaluddin
Sketsa awal
Muh. jamaluddin
Abstract
Ada beberapa hal kenapa kita mengkiriktik kajin Islamic studies orientalis, pertama, orientalis mempelajari Islamic studies tidak murni ilmiyah, tapi memiliki motiv-motiv, seperti motiv agama, politik, ekonomi, yang semuanya bermuara pada kolonialisme. Kedua, methodologi yang digunkan orientalis dalam menganalisa dan mengakaji Islamic studies beralandaskan pada pandangan hidup (worldview) yang tidak jelas. Ketiga, pendekatan yang digunakan orientalis secara umum dimulai dengan keraguan (hesitancy). Dimana segala sesuatu harus berdiri diatas keraguan kemudian dengan pendekatan kritik (criticsm). Dimana semuanya harus letak dalam diskursus kritis (critical discourses). Dan dengan pendekatan nalar filsafat (natural existence philosophy). dari ketiga pendektan ini tentu hasilnya akan melahirkan keraguan pula.
Salahsatu bidang Islamic studies yang ditekuni orientalis adalah hadist. Hal itu karena mereka menyadari bahwa hadist adalah pondasi penting dalam Islam setelah al-Quran, sehingga pentingnya menguasai bidang ini dengan tujuan memporakporandakan ummat Islam dengan cara pengingakaran terhadap Sunnah.
Sejarah kajian orientalis seputar Hadist
Gugatan orientalis seputar hadist bermula pada pertengahan abad ke-19 M, tatkala hampir seluruh bagian dunia Islam telah masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Adalah Alois sprenger, yang pertma kali mempersoalkan status hadist didalam Islam. Missionaris asal jerman yang pernah tinggal lama di India dalam bukunya Das leben und die lehre des Muhammad mengklaim bahwa hadist merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong) tapi menarik. Pendapat ini diamini oleh William Muir, orientalis asal inggris yang juga mengakaji biogafi Nabi Muhammad saw. dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam litelatur Hadist, nama Nabi Muhammad sengaja di catat untuk menutupi segalama macam kebohongan dan keganjilan. Oleh sebab itu, katanya lebih lanjut, dari 4000 hadist yang dianggap shohih oleh Imam Bukhari paling tidak separuhnya harus ditolak. Ini dari sumber isnadnya. Adapun dari sumber matannya harus sesuai dengan kepantasan hadist tersebut “must stand or fall upon its own merit”. Lebih negatif lagi Ignaz goldziher dalam memandang hadist. Orientalis yahudi kelahiran Hungoria yang sempat nyantri di Universitas al-Azhar ini mengatakan bahwa, dari sekian hadist yang ada sebahagian besarnya tidak dapat dijamin keasliannya alias palsu. untuk itu tidak bisa dijadikan sumber sejarah awal Islam. Menurut Goldziher hadist lebih merupakan refleksi interaksi dari konflik berbagai aliran dan kecendrungan yang muncul pada masyarakat Muslim. hal ini berarti menurut Goldziher bahwa hadist adalah bikinan masyarakat Islam beberapa abad setalah Nabi Muhammad wafat.
Pendapat Goldziher oleh konco-konconya didukung seratus persen, salahsatunya adalah David Samuel Margoliouth misalnya turut meragukan otentisitas hadist, alasanya pertama, karena tidak ada bukti yang menunjukan bahwa hadist telah dicatat semenjak zaman Nabi Saw. Kedua, karena alasan lemahnya ingatan para perawinya.
Henri Lammes missionaries Belgia dan Leone Caetani missionaris Italia menganggap isnad muncul jauh setelah matan hadist ada dan merupakan fenomena internal dalam perkembangan Islam. Jauh dari itu, Josef Horovitz orientalis Jerman berdarah Yahudi ini mengatakan, bahwa system periwayatan hadist secara berantai (Isnad) baru diperkenalkan dan diterapkan pada akhir abad pertama hijriah. Lebih lanjut ia berkata, bahwa besar kemungkinan praktek isnad berasal dari dan dipengaruhi oleh tradisi oral, sebagaimana yang dikenal dalam litelatur yahudi.
Diantara yang turut mengamini pendapat Goldziher adalah orientalis Inggris yang bernama Alfred Guillaume. Dia berkata bahwa sangat sulit untuk mempercayai litelatur hadist secara keseluruhannya sebagai rekaman otentik dari semua perkataan dan perbuatan Nabi Saw.
Perkataan yang tidak berlandaskan pada argumentasi yang valid dari Goldziher dan rekan-rekannya diolah lagi oleh joseph Schacht orientelis berdarah Yahudi jerman. Dalam bukunya yang controversial The origins of Muhammadan jurisprudence, dia berkata bahwa tidak ada hadist yang benar-bernar asli dari Nabi Saw. Dan kalaupun ada dan bisa dibuktikan, maka jumlahnya amat sangat sedikit sekali. Senada dengan Goldziher ia berkata bahwa hadist baru muncul pada abad kedua hijriah dan baru beredar luas setelah zaman Imam Syafi`i, yaitu pada abad ketiga hijriah. Lebih lanjut Schacht mengatakan seenaknya bahwa bahkan hadist-hadist yang terdapat dalam al-Kutb as-Sittah sekalipun tidak dapat dijamin keasliannya.
Teori Schacht dikembangkan oleh Gauthier Juynboll, orientalis asal Belanda. Menurut dia, bahwa suatu hadist yang dimuat dalam kitab Shahih Bukhâri atau Muslim, misalnya belum tentu hadist itu otentik dan punya landasan sejarah yang pasti. dan menurutnya bahwa tidak ada methode yang layak dipegang dan diterapkan untuk menentukan secara pasti apakah hadist otentik atau tidak. Ia memang mengakaui bahwa hadist telah ada semenjak abad pertama Hijriah, namun keontentikan hadist tetap saja diragukannya. Disamping itu Juynboll sependapaat dengan Schacht, menuduh perawi yang dinamakan “common link” sebagai orang yang pertama kali mamalsukan suatu hadist; bahwa hadist yang diriwayaatkan olehnya sebanarnya bukan berasal dari Nabi Saw., akan tetapi perkataannya sendiri atau perkataan orang lain yang disandarkan kepada Nabi Saw. Juynboll meragukan silsilah Sanad dalam hadist.
Kritik atas hadist bukan hanya berkembang di dunia barat akan tetapi juga diusung oleh sebahagian pemikir Muslim, seperti Muhammad Taufiq Sidik yang menyebarkan wacana bahwa cukup hanya berpegang kepada al-Quran tanpa Sunnah. Begitu juga pengekor orientalis lainya seperti, Ahmad Amin, Muhammad Husain Haikal, Thaha Husain, Abu Rayyah dan lain-lain.
Pandangan-pandangn oreintalais dan pengikutnya diatas tidak saja terkesan adanya tendesi dendam terhadap Islam tapi juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah baik dari penggunaan methodlogy dan epistemology. Oleh sebab itu banyak ulama-ulama kita yang mengkritik methodology dan epistemology yang digunakan oleh kalangan orientalis dalam mengkaji hadist. Diantaranya seperti, Sayyid Ahmad Khan, Musthafa as-siba`i, Muhammad abu Shubhah, Abdul Ghoni Abdul kholik, Muhammad Hamidullah, Fuat Sezgin, Nabia Abbot, Musthafa al-Azami, Muhammad Abu Zahrah dan lain-lain. Mereka telah menguras tenaga untuk menjawab dengan landasan ilmiyah dan mengkitik motede kajian aoreintalis yang terkesan ambigu.
Kritik methodology kajian hadist orietalis
Mempertanyakan methodology kajian hadist orientalis adalah sangat penting, hal itu karena hadist telah lama dibahas dan dikaji oleh para ulama salaf bahkan semenjak zaman sahabat, kritik matan telah dilakuakn oleh para sahabat, hal itu karena mereka sangat hati-hati dalam menerima informasi yang dinisbahkan kepada Rasulullah Swt. Para Sahabat melakukan itu karena takut kalau apa yang dismpaikanknya itu tidak bersumber dari Rasullah Saw. Sebab itu Pada masa khalifah Abu bakar dan Umar ra periwayatan hadist diawasi secara ketat. Seseorang dilarang meriwayatkan hadis tanpa mendatangkan saksi, kecuali jika hadis yang diriwayatkan adalah hadis yang masyhur dikalangan mereka. Sebagai salahsatu contoh, Imam Malik meriwayatkan dalam kitab Muwaththo'nya, bahwa Ibnu Syihâb meriwayatkan dari Qubaishah bin Dzu'aib bahwasanya seorang nenek mengadu kepada Abu bakr ra untuk menuntut hak warisnya. Beliau berkata: 'Saya tidak menemukan bagian warisan untukmu di dalam Kitab Allah, dan saya tidak tahu kalau Rasulullah Saw pernah menetapkannya untukmu.' Lalu beliau bertanya kepada para sahabat yang lain. Al-Mughîrah bin Syu'bah ra kemudian berdiri dan berkata: 'Saya pernah hadir di majelis Rasulullah Saw, beliau memberikan bagian untuk nenek seperenam.' Abu bakr berkata: 'Apakah kamu mempunyai saksi?' Maka Muhammad bin Maslamah kemudian bersaksi dengan pernyataan yang sama. (lihat Muwaththo', juz 2, hal. 45 cet. Al-Maktabah Al-Taufîqiyyah, Kairo)
Kritik atas hadist sebenarnya telah lama muncul, bahkan jauh sebelum kalangan orientalis melontarakan syubhat. para pegiat mazhab aqliyah terutama dari kalangan Muktazilah juga pernah melontarkan penialaian yang serupa bahkan lebih parah dari mereka orientalis, terhadap para ulama terutama para muhadditsîn yang berpegng teguh pada manhaj salaf dan menghabiskan umur mereka untuk membela sunnah Rasulullah Saw.
Tokoh-tokoh Muktazilah sepeti Abu Huzail al-'Allâf, Al-Nazhzhâm, Al-Jâhizh dll rata-rata sangat membenci Ahlu al-Hadîts. Tidak hanya sampai disitu, bahkan mereka mencela dan menuduh sahabat berdusta. Imam ibnu Qutaibah di awal-awal bukunya Ta'wîl Mukhtalaf al-Hadîts, menceritakan panjang lebar tuduhan-tuduhan Al-Nazhzhâm yang tidak segan-segan mencela sahabat, menuduh mereka berdusta, mutanâqidh, karena riwayat-riwayat mereka yang menurutnya tidak masuk akal. Oleh karena itu imam Ibnu Qutaibah sedikit kasar mengkritik mereka, beliau berkata:
وقد تدبرتُ -رحمك الله- مقالة أهل الكلام، فوجدتهم يقولون على الله ما لا يعلمون، ويعيبون الناس بما يأتون، ويبصرون القذى في عيون الناس، وعيونهم تُطرف على الأجذاع، ويتهمون غيرهم في النقل، ولا يتهمون آراءهم في التأويل...
Kritik model Muktazilah inilah yang kemudian diwarisi dan dikembangkan oleh para pengkaji hadis di Barat.
Kalau Ibnu Qutaibah membantah dan mengkritik kajian hadist Mu`tazilah pada zamanya, maka Prof. Muhammad Musthafa al-Azami mengkritik methodology kajian oreintalis hari ini. Beliau mengkritik methodology dan epistemology yang digunkan oreintalis khususnya karya Joseph Schacht dalam mengakaji hadist. Beliau melihat kekeliruan dan kesesatan Schacht dalam karayanya itu disebabkan oleh lima perkara. (1) sikapnya yang tidak konsisten dalam berteori dan menggunkan sumber rujukan, (2) Bertolak dari asumsi-asumsi yang keliru dan methodology yang tidak ilmiah, (3) salah dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta, (4) ketidaktahuannya akan kondisi politik dan geografis yang dikaji, (5) salah faham dengan istilah-istilah yangdigunakan oleh ulama-ualama Islam.
Kerapuhan methodology ini tidaklah terlalu mengejutkan, karena Schacht dan orang semacam dia memang berangkat dari niat buruk untuk merobohkan pilar-pilar Islam. Sebab itu musthafa as-Siba`i telah lama mewanti-wanti agar generasi muda Islam mempelajari Islam dari ulama-ulama Muslim kita sendiri.
Penutup
Kajian orientalis tentang hadist cukup berpengaruh meracuni pemikiran sebahagain kalangan ummat Islam, bukan saja dalam tataran wacana tapi sudah dalam bentuk wadah dan gerakan, sebagai contoh, munculnya gerakan ati-hadist di India, Pakistan, Mesir dan Asia tenggara.
Penulis hanya dapat menjelaskan secara global tentang gerakan orientalis dibidang Hadist, dan untuk mendalaminya silakan baca buku-buku karangan yang telah penulis sebutkan diatas. Wallahu a`lam
Dâr Ramsês
15 maret 2008-
Ada beberapa hal kenapa kita mengkiriktik kajin Islamic studies orientalis, pertama, orientalis mempelajari Islamic studies tidak murni ilmiyah, tapi memiliki motiv-motiv, seperti motiv agama, politik, ekonomi, yang semuanya bermuara pada kolonialisme. Kedua, methodologi yang digunkan orientalis dalam menganalisa dan mengakaji Islamic studies beralandaskan pada pandangan hidup (worldview) yang tidak jelas. Ketiga, pendekatan yang digunakan orientalis secara umum dimulai dengan keraguan (hesitancy). Dimana segala sesuatu harus berdiri diatas keraguan kemudian dengan pendekatan kritik (criticsm). Dimana semuanya harus letak dalam diskursus kritis (critical discourses). Dan dengan pendekatan nalar filsafat (natural existence philosophy). dari ketiga pendektan ini tentu hasilnya akan melahirkan keraguan pula.
Salahsatu bidang Islamic studies yang ditekuni orientalis adalah hadist. Hal itu karena mereka menyadari bahwa hadist adalah pondasi penting dalam Islam setelah al-Quran, sehingga pentingnya menguasai bidang ini dengan tujuan memporakporandakan ummat Islam dengan cara pengingakaran terhadap Sunnah.
Sejarah kajian orientalis seputar Hadist
Gugatan orientalis seputar hadist bermula pada pertengahan abad ke-19 M, tatkala hampir seluruh bagian dunia Islam telah masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Adalah Alois sprenger, yang pertma kali mempersoalkan status hadist didalam Islam. Missionaris asal jerman yang pernah tinggal lama di India dalam bukunya Das leben und die lehre des Muhammad mengklaim bahwa hadist merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong) tapi menarik. Pendapat ini diamini oleh William Muir, orientalis asal inggris yang juga mengakaji biogafi Nabi Muhammad saw. dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam litelatur Hadist, nama Nabi Muhammad sengaja di catat untuk menutupi segalama macam kebohongan dan keganjilan. Oleh sebab itu, katanya lebih lanjut, dari 4000 hadist yang dianggap shohih oleh Imam Bukhari paling tidak separuhnya harus ditolak. Ini dari sumber isnadnya. Adapun dari sumber matannya harus sesuai dengan kepantasan hadist tersebut “must stand or fall upon its own merit”. Lebih negatif lagi Ignaz goldziher dalam memandang hadist. Orientalis yahudi kelahiran Hungoria yang sempat nyantri di Universitas al-Azhar ini mengatakan bahwa, dari sekian hadist yang ada sebahagian besarnya tidak dapat dijamin keasliannya alias palsu. untuk itu tidak bisa dijadikan sumber sejarah awal Islam. Menurut Goldziher hadist lebih merupakan refleksi interaksi dari konflik berbagai aliran dan kecendrungan yang muncul pada masyarakat Muslim. hal ini berarti menurut Goldziher bahwa hadist adalah bikinan masyarakat Islam beberapa abad setalah Nabi Muhammad wafat.
Pendapat Goldziher oleh konco-konconya didukung seratus persen, salahsatunya adalah David Samuel Margoliouth misalnya turut meragukan otentisitas hadist, alasanya pertama, karena tidak ada bukti yang menunjukan bahwa hadist telah dicatat semenjak zaman Nabi Saw. Kedua, karena alasan lemahnya ingatan para perawinya.
Henri Lammes missionaries Belgia dan Leone Caetani missionaris Italia menganggap isnad muncul jauh setelah matan hadist ada dan merupakan fenomena internal dalam perkembangan Islam. Jauh dari itu, Josef Horovitz orientalis Jerman berdarah Yahudi ini mengatakan, bahwa system periwayatan hadist secara berantai (Isnad) baru diperkenalkan dan diterapkan pada akhir abad pertama hijriah. Lebih lanjut ia berkata, bahwa besar kemungkinan praktek isnad berasal dari dan dipengaruhi oleh tradisi oral, sebagaimana yang dikenal dalam litelatur yahudi.
Diantara yang turut mengamini pendapat Goldziher adalah orientalis Inggris yang bernama Alfred Guillaume. Dia berkata bahwa sangat sulit untuk mempercayai litelatur hadist secara keseluruhannya sebagai rekaman otentik dari semua perkataan dan perbuatan Nabi Saw.
Perkataan yang tidak berlandaskan pada argumentasi yang valid dari Goldziher dan rekan-rekannya diolah lagi oleh joseph Schacht orientelis berdarah Yahudi jerman. Dalam bukunya yang controversial The origins of Muhammadan jurisprudence, dia berkata bahwa tidak ada hadist yang benar-bernar asli dari Nabi Saw. Dan kalaupun ada dan bisa dibuktikan, maka jumlahnya amat sangat sedikit sekali. Senada dengan Goldziher ia berkata bahwa hadist baru muncul pada abad kedua hijriah dan baru beredar luas setelah zaman Imam Syafi`i, yaitu pada abad ketiga hijriah. Lebih lanjut Schacht mengatakan seenaknya bahwa bahkan hadist-hadist yang terdapat dalam al-Kutb as-Sittah sekalipun tidak dapat dijamin keasliannya.
Teori Schacht dikembangkan oleh Gauthier Juynboll, orientalis asal Belanda. Menurut dia, bahwa suatu hadist yang dimuat dalam kitab Shahih Bukhâri atau Muslim, misalnya belum tentu hadist itu otentik dan punya landasan sejarah yang pasti. dan menurutnya bahwa tidak ada methode yang layak dipegang dan diterapkan untuk menentukan secara pasti apakah hadist otentik atau tidak. Ia memang mengakaui bahwa hadist telah ada semenjak abad pertama Hijriah, namun keontentikan hadist tetap saja diragukannya. Disamping itu Juynboll sependapaat dengan Schacht, menuduh perawi yang dinamakan “common link” sebagai orang yang pertama kali mamalsukan suatu hadist; bahwa hadist yang diriwayaatkan olehnya sebanarnya bukan berasal dari Nabi Saw., akan tetapi perkataannya sendiri atau perkataan orang lain yang disandarkan kepada Nabi Saw. Juynboll meragukan silsilah Sanad dalam hadist.
Kritik atas hadist bukan hanya berkembang di dunia barat akan tetapi juga diusung oleh sebahagian pemikir Muslim, seperti Muhammad Taufiq Sidik yang menyebarkan wacana bahwa cukup hanya berpegang kepada al-Quran tanpa Sunnah. Begitu juga pengekor orientalis lainya seperti, Ahmad Amin, Muhammad Husain Haikal, Thaha Husain, Abu Rayyah dan lain-lain.
Pandangan-pandangn oreintalais dan pengikutnya diatas tidak saja terkesan adanya tendesi dendam terhadap Islam tapi juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah baik dari penggunaan methodlogy dan epistemology. Oleh sebab itu banyak ulama-ulama kita yang mengkritik methodology dan epistemology yang digunakan oleh kalangan orientalis dalam mengkaji hadist. Diantaranya seperti, Sayyid Ahmad Khan, Musthafa as-siba`i, Muhammad abu Shubhah, Abdul Ghoni Abdul kholik, Muhammad Hamidullah, Fuat Sezgin, Nabia Abbot, Musthafa al-Azami, Muhammad Abu Zahrah dan lain-lain. Mereka telah menguras tenaga untuk menjawab dengan landasan ilmiyah dan mengkitik motede kajian aoreintalis yang terkesan ambigu.
Kritik methodology kajian hadist orietalis
Mempertanyakan methodology kajian hadist orientalis adalah sangat penting, hal itu karena hadist telah lama dibahas dan dikaji oleh para ulama salaf bahkan semenjak zaman sahabat, kritik matan telah dilakuakn oleh para sahabat, hal itu karena mereka sangat hati-hati dalam menerima informasi yang dinisbahkan kepada Rasulullah Swt. Para Sahabat melakukan itu karena takut kalau apa yang dismpaikanknya itu tidak bersumber dari Rasullah Saw. Sebab itu Pada masa khalifah Abu bakar dan Umar ra periwayatan hadist diawasi secara ketat. Seseorang dilarang meriwayatkan hadis tanpa mendatangkan saksi, kecuali jika hadis yang diriwayatkan adalah hadis yang masyhur dikalangan mereka. Sebagai salahsatu contoh, Imam Malik meriwayatkan dalam kitab Muwaththo'nya, bahwa Ibnu Syihâb meriwayatkan dari Qubaishah bin Dzu'aib bahwasanya seorang nenek mengadu kepada Abu bakr ra untuk menuntut hak warisnya. Beliau berkata: 'Saya tidak menemukan bagian warisan untukmu di dalam Kitab Allah, dan saya tidak tahu kalau Rasulullah Saw pernah menetapkannya untukmu.' Lalu beliau bertanya kepada para sahabat yang lain. Al-Mughîrah bin Syu'bah ra kemudian berdiri dan berkata: 'Saya pernah hadir di majelis Rasulullah Saw, beliau memberikan bagian untuk nenek seperenam.' Abu bakr berkata: 'Apakah kamu mempunyai saksi?' Maka Muhammad bin Maslamah kemudian bersaksi dengan pernyataan yang sama. (lihat Muwaththo', juz 2, hal. 45 cet. Al-Maktabah Al-Taufîqiyyah, Kairo)
Kritik atas hadist sebenarnya telah lama muncul, bahkan jauh sebelum kalangan orientalis melontarakan syubhat. para pegiat mazhab aqliyah terutama dari kalangan Muktazilah juga pernah melontarkan penialaian yang serupa bahkan lebih parah dari mereka orientalis, terhadap para ulama terutama para muhadditsîn yang berpegng teguh pada manhaj salaf dan menghabiskan umur mereka untuk membela sunnah Rasulullah Saw.
Tokoh-tokoh Muktazilah sepeti Abu Huzail al-'Allâf, Al-Nazhzhâm, Al-Jâhizh dll rata-rata sangat membenci Ahlu al-Hadîts. Tidak hanya sampai disitu, bahkan mereka mencela dan menuduh sahabat berdusta. Imam ibnu Qutaibah di awal-awal bukunya Ta'wîl Mukhtalaf al-Hadîts, menceritakan panjang lebar tuduhan-tuduhan Al-Nazhzhâm yang tidak segan-segan mencela sahabat, menuduh mereka berdusta, mutanâqidh, karena riwayat-riwayat mereka yang menurutnya tidak masuk akal. Oleh karena itu imam Ibnu Qutaibah sedikit kasar mengkritik mereka, beliau berkata:
وقد تدبرتُ -رحمك الله- مقالة أهل الكلام، فوجدتهم يقولون على الله ما لا يعلمون، ويعيبون الناس بما يأتون، ويبصرون القذى في عيون الناس، وعيونهم تُطرف على الأجذاع، ويتهمون غيرهم في النقل، ولا يتهمون آراءهم في التأويل...
Kritik model Muktazilah inilah yang kemudian diwarisi dan dikembangkan oleh para pengkaji hadis di Barat.
Kalau Ibnu Qutaibah membantah dan mengkritik kajian hadist Mu`tazilah pada zamanya, maka Prof. Muhammad Musthafa al-Azami mengkritik methodology kajian oreintalis hari ini. Beliau mengkritik methodology dan epistemology yang digunkan oreintalis khususnya karya Joseph Schacht dalam mengakaji hadist. Beliau melihat kekeliruan dan kesesatan Schacht dalam karayanya itu disebabkan oleh lima perkara. (1) sikapnya yang tidak konsisten dalam berteori dan menggunkan sumber rujukan, (2) Bertolak dari asumsi-asumsi yang keliru dan methodology yang tidak ilmiah, (3) salah dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta, (4) ketidaktahuannya akan kondisi politik dan geografis yang dikaji, (5) salah faham dengan istilah-istilah yangdigunakan oleh ulama-ualama Islam.
Kerapuhan methodology ini tidaklah terlalu mengejutkan, karena Schacht dan orang semacam dia memang berangkat dari niat buruk untuk merobohkan pilar-pilar Islam. Sebab itu musthafa as-Siba`i telah lama mewanti-wanti agar generasi muda Islam mempelajari Islam dari ulama-ulama Muslim kita sendiri.
Penutup
Kajian orientalis tentang hadist cukup berpengaruh meracuni pemikiran sebahagain kalangan ummat Islam, bukan saja dalam tataran wacana tapi sudah dalam bentuk wadah dan gerakan, sebagai contoh, munculnya gerakan ati-hadist di India, Pakistan, Mesir dan Asia tenggara.
Penulis hanya dapat menjelaskan secara global tentang gerakan orientalis dibidang Hadist, dan untuk mendalaminya silakan baca buku-buku karangan yang telah penulis sebutkan diatas. Wallahu a`lam
Dâr Ramsês
15 maret 2008-